Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3 - Bau Darah Di Balik Ranjang

Rumah tua itu tampak tenang di siang hari. Dari luar, orang hanya melihat gerbang besi yang tertutup rapi, taman yang terawat dengan bunga-bunga mawar merah di sepanjang jalan setapak. Tak ada yang menyangka, di balik pintu gading itu, bersemayam rahasia yang tumbuh seperti jamur busuk di balik tirai kamar Anjani.

Rio berdiri di sudut pekarangan belakang. Bajunya sudah berganti rapi, tapi matanya masih liar. Di tangannya, ia menggenggam ponsel dengan jari gemetar. Di layar, rekaman samar-samar muncul: bayangan hitam, tirai bergetar, suara napas berat. Rio merekamnya semalam entah kenapa, jari-jarinya terpancing menyalakan kamera di tengah cumbuan panas. Dan di sela tubuh Anjani, dia melihat sosok itu.

Raka Adinata…

Nama itu berputar di kepalanya. Suami yang mati di ranjang yang sama, di ruangan yang sama. Anjani tak pernah bicara banyak. Yang Rio tahu, hanya gosip murahan dari para ART di rumah ini: Tuan Raka mati tercekik di malam hujan, wajahnya membiru di bawah bantal yang masih berlumur jejak lipstik.

Rio merinding. Tangannya bergerak membuka jendela samping kamar Anjani, celah kecil yang biasa ia pakai untuk kabur diam-diam. Bau mawar bercampur tanah basah menusuk hidungnya. Dari celah itu, ia melihat Anjani. Duduk di pinggir ranjang, menatap tirai renda yang bergoyang pelan seolah ditiup angin padahal semua jendela tertutup rapat.

“Bu Anjani…” bisiknya pelan. Ia tahu tak seharusnya mengintip, tapi rasa takut bercampur penasaran membuat kakinya terpaku.

Anjani memegang kunci kecil di lehernya, menatapnya lama. Lalu ia berdiri, melangkah ke lemari tua di sudut kamar. Rio membelalak. Ia mencondongkan tubuh, jantungnya berdentum di dada. Pintu lemari berderit pelan saat dibuka. Dari celah, Rio melihat bantal tua yang sama. Kali ini, ada pula bingkai foto pecah foto pernikahan Anjani dan Raka. Separuh wajah Raka tergores pisau cukur, coretan merah melintang di matanya.

Anjani meraih bantal itu, mendekatkannya ke wajahnya sendiri. Ia memejamkan mata. Bibirnya bergerak-gerak, seolah berbisik. Rio menajamkan pendengarannya. Di antara isak tertahan, Rio bisa menangkap sepenggal kata: “Aku belum mau mati…”

Rio memundurkan wajahnya cepat-cepat. Napasnya memburu. Ada sesuatu yang menekan ubun-ubunnya perasaan gelap, dingin, seperti sepasang tangan mencengkeram tengkuknya. Ia merasa dilihat. Tapi Anjani tak menoleh ke jendela.

Dari dalam lemari, suara bisik lain menggema. Rio tak tahu itu nyata atau hanya mainan pikirannya. Tapi ia yakin, ranjang itu tak hanya menelan tubuh ia juga menelan jiwa siapa pun yang berani rebah di atasnya.

Anjani duduk di tepi ranjang, menatap foto pecah di tangannya. Di sudut kamar, seolah ada bayangan samar berdiri bahu bidang, senyum miring. Raka. Tangan Anjani gemetar memegang bantal. Di antara napasnya yang naik turun, ia merasakan hembusan napas lain, tepat di belakang lehernya.

“Kau masih di sini, ya…” bisiknya, suaranya basah oleh ketakutan yang membatu jadi kebiasaan.

Tiba-tiba pintu kamar berderit terbuka. Arvino berdiri di ambang pintu, berdiri tanpa mengetuk, seolah seluruh rumah ini sudah miliknya. Jasnya gelap, dasi hitamnya terikat rapat. Tatapannya jatuh ke tangan Anjani yang memeluk bantal berdarah.

“Aku tak pernah tahu kau masih menyimpan barang busuk itu.” Arvino melangkah masuk. Suaranya datar, tapi di balik datarnya ada bara yang menyala dingin.

Anjani meletakkan bantal ke dalam lemari, menutup pintu pelan. “Apa maumu lagi, Vin? Kau sudah memaksaku menandatangani surat pernikahan. Apa belum cukup?”

Arvino mendekat. Tangannya meraih pinggang Anjani kasar, menarik tubuhnya menempel di dada bidangnya. Aroma parfum Arvino menusuk hidungnya aroma mahal, tapi di balik itu ada wangi besi. Wangi darah.

“Kau tahu yang kuinginkan, Anjani. Bukan cuma tandatanganmu. Bukan cuma harta Raka.” Bibirnya bergerak menelusuri garis rahang Anjani. “Aku ingin ranjang ini. Dan semua rahasianya.”

Anjani menahan desahnya, separuh tercekik. Tangannya menekan dada Arvino, tapi tak benar-benar mendorong. Napas mereka bercampur. Di balik punggung Anjani, ranjang berderit lirih, seolah membisikkan restu atau kutukan.

Arvino menatap matanya tajam. “Tiga malam lagi, kita sah di altar. Tapi malam ini…” Bibirnya turun ke leher Anjani, meninggalkan gigitan kecil. Anjani mendesah pelan, bukan karena nikmat tapi karena takut. “Malam ini, aku mau melihat bagaimana ranjang ini menerima tuan barunya.”

Anjani mencoba menarik napas, tapi tangannya lemas. Bayangan Rio berkelebat di kepalanya betapa mudah anak magang itu terjebak. Tapi Arvino… pria ini bukan korban. Dia datang dengan rencana, dengan pisau di balik kata-katanya.

“Vin… jangan di sini…” bisik Anjani, suaranya serak.

Arvino tertawa pelan, dingin. “Kenapa? Takut dia marah?” Tangannya menunjuk lemari. “Biarkan roh suamimu menonton. Biar dia tahu siapa yang sekarang membayar harga rahasiamu.”

Dalam sekejap, punggung Anjani menempel di tiang ranjang. Seprei berderit di bawah berat tubuh mereka. Ciuman Arvino panas tapi kejam, seperti api yang membakar kain basah. Jemarinya menelusup ke rambut Anjani, menariknya makin dekat. Anjani merintih, membiarkan sejenak tubuhnya terseret gelombang panas — tapi di balik matanya yang terpejam, ia tahu: kutukan ranjang ini hanya akan menagih lebih banyak darah.

Di luar jendela, Rio berdiri di balik pohon mawar. Dari celah daun, ia melihat bayangan di ranjang: dua tubuh bertaut, tirai renda bergoyang. Tapi di sudut tirai, ada satu bayangan lain — bayangan Raka. Wajahnya pucat, matanya merah, mulutnya menganga seolah tertawa bisu. Nafas Rio tercekat. Tangannya menggenggam ponsel erat.

Ini gila… aku harus pergi… aku harus bongkar semua…

Tapi langkah Rio membeku. Di kepalanya, suara Anjani berbisik seperti semalam: “Siapa pun yang tidur di ranjang ini… tak pernah bisa lari…”

Rio mundur perlahan, napasnya berembun di udara siang yang seharusnya hangat. Di belakangnya, pintu belakang rumah berderit terbuka — entah siapa yang membuka. Dan di atas ranjang, erangan Anjani terkunci di balik ciuman Arvino yang menuntut. Tirai berayun, dan ranjang itu sekali lagi menelan dosa baru.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel