Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4- Nafas Yang Terkurung Dibalik Ranjang

Pagi di rumah Anjani selalu datang dengan wajah palsu.

Matahari memang menembus jendela kaca, tapi cahayanya redup, pecah di balik tirai renda yang menempel di bingkai kayu kuno. Bau mawar layu masih menempel di karpet koridor lantai dua. Dan di tengah semua itu, ranjang di kamar Anjani tetap berderit seolah tak pernah benar-benar istirahat.

Anjani terjaga, duduk di pinggir ranjang dengan bahu telanjang. Rambutnya acak-acakan, lehernya berbekas merah gigitan Arvino semalam. Bibirnya pecah, tapi sorot matanya justru dingin.

Tirai di sekeliling ranjang sedikit terbuka, menampakkan kusutnya seprai putih yang masih basah keringat, bercampur aroma anyir. Sisa nafas Arvino masih menempel di sana — nafas dingin yang tak sepenuhnya manusia.

Ia menatap kaca rias di depannya. Di sana, wajahnya tampak rapuh. Bukan karena usia, tapi karena beban yang menggumpal di pundaknya.

Di tangannya, kertas kontrak pernikahan kilat dengan tanda tangan Arvino masih terbentang. Selembar kertas yang tampaknya sepele, tapi kini jadi borgol tak kasat mata.

“Cih…” Anjani mendesah, menyeringai getir pada bayangannya sendiri. “Aku menikah lagi. Kali ini dengan iblis yang masih bernapas.”

Suara ketukan pelan memecah lamunannya. Bukan ketukan berat penuh perintah seperti milik Arvino. Ini ragu, seperti orang yang tahu dirinya tak pantas mengetuk pintu ini. Anjani merapikan tali gaun tidurnya seadanya, lalu berbalik.

Rio berdiri di ambang pintu. Dasi biru muda menggantung miring di lehernya, kemejanya setengah kusut. Di tangannya, setumpuk berkas pinjaman perusahaan yang seharusnya ia serahkan ke kantor hukum. Tapi Anjani tahu Rio tak pernah benar-benar datang hanya untuk kertas.

“Masuk…” Anjani mempersilakan. Suaranya pelan, tapi seperti cambuk di punggung Rio. Pemuda itu melangkah hati-hati, menutup pintu di belakangnya.

Tatapan Rio langsung jatuh pada ranjang. Seprei yang kusut. Tirai renda yang masih bergoyang pelan padahal jendela tertutup. Aroma sabun mahal tercampur dengan bau samar parfum pria lain. Semua itu menampar harga dirinya.

“Berkas pinjamannya sudah saya susun…” Rio mencoba terdengar profesional, tapi suaranya pecah. Tangannya gemetar saat meletakkan map di meja rias, nyaris menjatuhkan botol parfum kristal di sampingnya.

Anjani bangkit, berjalan perlahan mendekat. Tumit kakinya menjejak karpet tanpa suara, hanya kain satin tipis gaun tidurnya yang berdesir, membangkitkan kenangan malam-malam terlarang.

“Kau menatap ranjangku lagi?” tanyanya rendah, matanya menembus sorot gelisah Rio. “Apa kau cemburu?”

Rio menelan ludah. “Saya… saya cuma takut Tuan Mahendra tahu. Dia bisa”

“Dia bisa apa?” Anjani memotong. Tubuhnya sudah berdiri begitu dekat hingga dada Rio hampir menyentuh ujung gaun tidurnya. Tangannya terulur, membetulkan dasi Rio, tapi justru menariknya makin rapat ke arahnya. “Arvino hanya ingin hartaku. Kau tahu itu.”

“Tapi ranjang ini” kata Rio terhenti di tenggorokan. Napasnya tercekat. Matanya turun ke belahan dada Anjani yang sengaja terbuka, menantang sekaligus menakutkan. Jantungnya berdetak makin liar.

Anjani mendekatkan bibirnya ke telinga Rio, berbisik, “Ranjang ini lapar, Rio. Dan kau datang lagi ke mulutnya.”

Kakinya bergerak mendorong Rio ke sisi ranjang. Seprei kusut berderit di bawah berat tubuh Rio yang jatuh terduduk. Matanya membesar, antara takut dan candu. Anjani duduk di pangkuannya, menatap lurus ke bola matanya. Jemarinya membuka kancing kemeja satu per satu, setiap kancing jatuh seolah melepaskan sisa logika Rio.

“Aku… Bu… kalau Tuan Mahendra”

“Sst…” Anjani menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Ia menunduk, mencium leher Rio pelan. Bau sabun murah bercampur detak jantung yang berdebar terlalu cepat. Di sela bisikan napasnya, Anjani merasakan hawa dingin menempel di punggungnya — seolah tirai ranjang sedang menonton.

Rio menahan rintihnya. Tangannya terangkat, ragu, lalu mendarat di pinggang Anjani, menariknya lebih dekat. Bibir mereka bertemu. Ciuman Anjani manis tapi pahit seolah menelan racun perlahan. Setiap tarikan napas terasa seperti lilin yang meleleh di dada Rio.

Seprei di bawah mereka berderit makin keras. Tirai renda meriap, padahal tak ada angin. Di sudut kamar, lemari tua menutup rapat, tapi Rio seolah mendengar bunyi kunci diputar. Sejenak, di sela rabun matanya yang terpejam, Rio menangkap bayangan hitam berdiri di tepi ranjang. Mata merah, bibir sobek, senyum bengkok. Raka.

Tubuh Rio merinding. Napasnya pecah di tenggorokan. Anjani menekannya lebih dalam, bibirnya bergerak ke telinga Rio.

“Jangan berhenti. Dia lapar.” Suaranya basah, nyaris tak terdengar. Rio menahan air mata yang terlanjur tumpah. Di antara erangannya, ia tahu, ia bukan lagi hanya milik Anjani ia juga milik sesuatu yang tak kasat mata, terkurung di balik ranjang.

, Tubuh mereka menggeliat. Rio menahan desahnya di bahu Anjani. Nafas mereka berpacu, menembus derit ranjang. Tapi di sela semua itu, Rio mendengar suara berat

bukan suara Anjani. Suara lain. Napas berat di bawah ranjang.

“Jangan lari…”

Rio membeku, bibirnya tercekat di leher Anjani. Tapi Anjani seolah tak peduli, justru menarik rambut Rio, menenggelamkan wajahnya ke dadanya. “Diam. Kau milikku. Milik ranjang ini.”

Rio hanya bisa pasrah. Setiap cumbu, setiap gigitan, terasa seperti mengiris kulitnya lebih dalam. Seprei berkerut di genggamannya, menahan tubuhnya agar tak jatuh ke jurang ketakutan.

Dan di balik pintu kamar yang setengah terbuka, Arvino berdiri di koridor. Jas hitamnya terlipat rapi, dasinya longgar. Ia menatap celah pintu, mendengar rintih Anjani yang setengah histeris. Senyum dingin terbit di bibirnya. Tak ada cemburu di matanya. Hanya rasa puas. Karena semakin ranjang ini menelan nafas laki-laki lain, semakin Anjani terikat pada dirinya.

“Baguslah… biarkan dia kenyang dulu.” Arvino berbisik pada dirinya sendiri. Tangannya menekan gagang pintu pelan, menahannya tetap setengah terbuka. Dari celah tirai, ia melihat bayangan Raka berdiri di tiang ranjang, menatap lurus ke arahnya. Mata merah itu tak gentar. Arvino hanya terkekeh kecil. “Jangan khawatir, Raka. Giliranmu sudah habis. Sekarang giliran kita.”

Ia berbalik, melangkah pergi meninggalkan pintu. Di belakangnya, tirai renda berkibar pelan, seolah melambaikan tangan pada iblis baru yang menunggu gilirannya.

Sore turun perlahan. Anjani tertidur setengah telanjang di atas ranjang. Rio terbaring di sampingnya, wajahnya pucat, bibirnya pecah-pecah. Sisa bisikan Raka masih bergema di telinganya “Jangan pernah lari. Sekali kau rebah di sini, kau rebah selamanya.”

Rio bangkit, menahan kakinya agar tak goyah. Ia meraih pakaiannya pelan, memunguti kancing yang terlepas. Ia menatap Anjani sebentar. Bibir perempuan itu bergerak-gerak, seolah meracau dalam mimpi.

“Aku harus keluar…” gumam Rio. Tapi langkahnya tertahan. Di bawah ranjang, dia mendengar bunyi gerakan halus gesekan kayu, seolah ada ruang rahasia. Rio merunduk, menyingkap tirai sprei. Di sana, lantai kayu sedikit retak celahnya seolah menelan cahaya sore.

Rio menelan ludah. Tangannya terulur, menyentuh celah kayu. Dari dalam, hawa dingin menyembur. Bau anyir menusuk hidungnya. Dan di dasar kegelapan itu, suara bisikan pelan terdengar lagi.

“Tinggal di sini… temani kami…”

Rio terlonjak mundur, hampir menjerit. Tangannya gemetar saat menarik tirai ranjang menutup celah itu lagi. Ia meraih tasnya, merangkak turun dari ranjang. Napasnya pendek-pendek. Matanya menatap Anjani bibirnya bergerak, seolah ingin memanggil, tapi tak ada suara keluar.

Dengan langkah limbung, Rio membuka pintu kamar. Cahaya lorong menyambutnya, tapi di sanalah Arvino berdiri, seolah sudah menunggunya.

“Kau mau kemana, anak magang?” tanya Arvino, suaranya datar, tapi dinginnya membuat Rio tercekik.

Rio mencoba tersenyum kaku. “Sa… saya harus pulang… laporan”

Arvino tertawa pendek. Tangannya menepuk bahu Rio keras. “Bagus. Pulanglah. Tapi ingat… rahasia ranjang Anjani tetap di ranjang Anjani. Kalau lidahmu lepas, ranjang itu akan datang mencarimu.”

Rio menahan napas. Matanya melirik ke dalam kamar tirai ranjang berayun pelan, seolah melambai padanya. Bibir Anjani bergerak dalam tidur, menyebut nama Raka.

Langkah Rio memudar di koridor. Arvino berdiri di ambang pintu, menatap ranjang yang masih hangat. Senyumnya dingin, matanya redup. “Aku sudah katakan… ranjang ini milikku sekarang.”

Dan di dalam kamar, nafas Anjani tertahan di tenggorokan. Tangannya meraih tiang ranjang, jemarinya gemetar. Di balik kelopak matanya yang terpejam, Raka berdiri, menatapnya tapi di belakang bahu Raka, bayangan Arvino sudah menunggu.

Ranjang ini tidak pernah tidur. Dan kini, kutukannya makin lapar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel