Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2 - Tuan Baru Di Ambang Pintu

Pagi datang tanpa benar-benar membangunkan rumah itu. Matahari menggeliat malu-malu di balik tirai tebal, menembus kaca jendela yang dipenuhi embun sisa hujan. Di atas ranjang megah, Rio terbangun dalam peluh dingin. Bajunya kusut, rambutnya berantakan, dan jantungnya masih berdebar tak karuan. Malam tadi bukan sekadar mimpi bisikan, bayangan, nafas di tengkuknya. Semua nyata.

Ia menoleh. Anjani berdiri di depan cermin, menyisir rambut panjangnya pelan. Gaun tidurnya sudah berganti satin putih, menempel pas di lekuk pinggang. Mata Anjani bertemu mata Rio di pantulan kaca. Rio menelan ludah rasa takut dan candu bercampur di tenggorokannya.

“Kenapa menatapku begitu?” Anjani bertanya tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi ada senyum sinis di ujung bibirnya.

“Aku… aku harus pergi. Aku nggak bisa begini terus, Bu.” Suara Rio gemetar.

Anjani tertawa pelan. Ia berbalik, berjalan mendekat. Jemarinya menangkup pipi Rio, hangat tapi menakutkan.

“Kau sudah jauh masuk, Rio. Kau pikir kau masih bisa pulang?” Bisiknya menempel di bibir Rio.

Rio terdiam. Tatapannya jatuh pada kunci kecil di leher Anjani rantai tipis keemasan yang menggantung manis di atas belahan dada. Rio ingat betul suara pintu lemari terbuka semalam. Bantal berlumur noda itu. Bisikan yang tidak bisa dia pahami.

“Bu… itu kunci apa?” desaknya pelan.

Anjani mencubit dagu Rio pelan, senyum matanya berubah gelap. “Jangan tanya hal yang tidak perlu, Rio. Fokus saja bagaimana caramu memuaskanku. Malam ini, ranjang ini lapar lagi.”

Jantung Rio mencelos. Tangannya meraih selimut, menutupi tubuhnya yang setengah telanjang. Tapi sebelum Anjani sempat bicara lagi, suara ketukan pintu bergema keras. Bukan ketukan ragu seperti Rio semalam. Ketukan ini berat, berwibawa, seolah menuntut pintu untuk tunduk.

Anjani menoleh ke pintu, matanya berubah dingin. Rio merasakan hawa aneh ruangan yang tadinya penuh nafas panas mendadak dingin.

“Berpakaianlah. Turun lewat pintu belakang. Jangan muncul di ruang tamu,” perintah Anjani singkat.

Rio menatapnya ragu. “Siapa di luar?”

Anjani tak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan mata tajam, seolah ingin menelan rahasianya hidup-hidup. Rio buru-buru meraih celana, bajunya setengah basah, lalu kabur menunduk di sudut koridor.

Anjani menarik nafas panjang, merapikan rambutnya. Sekali lagi, dia menatap bayangannya di cermin. Bibirnya merah merekah, lehernya masih berbekas gigitan Rio. Ia tersenyum dingin lalu melangkah ke pintu.

Arvino Mahendra berdiri di ambang pintu kamar. Setelan jasnya rapi, rambutnya disisir ke belakang, matanya gelap tajam seperti tebasan belati. Aroma parfum mahal menempel di kulitnya, mencampur bau hujan yang masih bertahan di koridor lantai dua.

“Pagi, Anjani.” Suaranya pelan, nyaris tak berintonasi. Tapi setiap katanya terdengar seperti perintah.

Anjani menegakkan bahu, menatapnya datar. “Terlalu pagi untuk tamu yang tak diundang, Tuan Mahendra.”

Arvino melirik ke ranjang di belakang punggung Anjani. Seprei berantakan, tirai renda masih bergoyang pelan. Tatapannya menelusuri ujung ranjang, lalu kembali ke mata Anjani. Senyum tipis terbit di bibirnya.

“Ranjang ini masih hangat, ya?” tanyanya ringan.

Anjani tidak menjawab. Tangannya meremas gagang pintu, jemarinya memutih. Arvino melangkah masuk, mengitari kamar seolah pemilik sahnya. Tangannya menepuk tiang ranjang, menekan kasur.

“Aku selalu penasaran,” gumam Arvino, suaranya nyaris berbisik. “Berapa banyak pria yang terkubur di ranjang ini, Anjani?”

Anjani berjalan mendekat, menghentikan langkahnya tepat di depan dada Arvino. Ia mendongak sedikit saja menatap mata pria itu. Ada aroma dingin di sekeliling Arvino, berbeda dengan Rio yang hangat dan gelisah. Pria di depannya ini… adalah bahaya dengan jubah kehormatan.

“Aku tidak ingat jumlahnya,” jawab Anjani, menekan kata-katanya pelan. “Tapi tak satu pun dari mereka cukup berani mengusikku.”

Arvino tersenyum kecil. “Beraninya di ranjang, mungkin?” Tiba-tiba jemarinya terulur, meraih dagu Anjani. Sentuhan Arvino dingin, tapi panas di kulit Anjani.

“Kenapa kau ke sini, Vin?” tanya Anjani, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.

“Aku hanya ingin melihat… siapa lagi yang kau panggil masuk ke liang kubur ini.” Tatapan Arvino menusuk. Ia mendekat, bibirnya nyaris menyentuh telinga Anjani. “Dan memastikan kau tidak lupa bahwa waktumu hampir habis.”

Anjani mencengkeram dada Arvino, menahan dorongan aneh di perutnya. “Maksudmu apa?”

Arvino mundur setengah langkah, merogoh saku jasnya, lalu melempar selembar dokumen ke ranjang. Kertas itu jatuh di atas seprei yang masih kusut oleh nafas Rio.

“Surat perjanjian.”

Anjani menatap kertas itu. Ada lambang perusahaan milik Raka mendiang suaminya di sudut kanan atas. Tangannya meraih kertas itu pelan, membaca kata demi kata. Wajahnya merona kemarahan, sekaligus kepanikan samar.

“Kontrak pernikahan?” desisnya.

Arvino menatapnya, senyum dinginnya merekah. “Flash marriage, sayang. Kau tahu hutang warisan suamimu ke keluargaku masih membayangi rumah ini. Kau tahu anak-anak magangmu yang bodoh itu tak akan menyelamatkanmu. Kau hanya punya satu jalan: nikahi aku, tunduk padaku, ranjang ini jadi milik kita berdua. Atau…”

Ia menunduk, mendekat lagi. Napas Arvino hangat di tengkuk Anjani, tapi menusuk tulang belakangnya seperti jarum es.

“Atau kau kubiarkan ranjang ini busuk bersama mayatmu yang lain.”

Anjani menatapnya tajam. Ia ingin menampar Arvino, menolak, membentak. Tapi di sudut pikirannya, suara ranjang berderit lirih bisikan halus yang membisikkan kata: “Pilih dia. Berikan darah segar. Hidup lebih lama.”

Tubuhnya gemetar. Ia menatap Arvino, mengingat Rio, mengingat Raka. Ranjang ini tidak akan pernah puas. Dan sekarang, ia harus berbagi dengan iblis lain.

Arvino meraih dagu Anjani lagi, memaksa bibir mereka bertemu. Ciumannya dingin, tidak sehangat Rio tapi membakar di dalam. Di antara ciuman itu, Anjani mendengar bisikan Arvino.

“Bersiaplah, Anjani. Tiga hari lagi. Kau akan berdiri di altar bersamaku. Dan di malam pertamamu… ranjang ini akan menyambut tuan barunya.”

Anjani menutup matanya. Di sela ciuman Arvino, di balik pintu yang setengah terbuka, tirai ranjang berayun bayangan Raka berdiri di sana, matanya merah, senyumnya bengkok.

Ranjang ini tidak pernah tidur. Dan Anjani… kini tak hanya jadi milik roh suaminya — tapi juga iblis hidup bernama Arvino Mahendra.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel