BAB 1 - Ranjang Yang Tidak Pernah Tidur
Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menempel di jendela besar kamar Anjani Larasati. Di luar, lampu taman menyala temaram, memantulkan siluet pepohonan tinggi yang tampak seperti barisan penjaga diam. Rumah tua ini berdiri di atas tanah warisan mendiang suaminya, Raka Adinata seorang pengusaha properti yang namanya pernah menghiasi majalah bisnis setiap bulan. Semua orang mengenal rumah ini: megah, antik, tapi selalu diselimuti bisik-bisik rahasia.
Di dalam, tepat di tengah kamar seluas aula, berdiri sebuah ranjang empat tiang berukir kayu jati. Ranjang itu terlihat megah, dengan tirai renda yang menjuntai lembut di setiap sudutnya. Seprei sutra putih bergelombang, rapi tapi seolah selalu menunggu diacak-acak.
Anjani berdiri di tepinya, membiarkan gaun tidurnya melorot sedikit di bahu. Punggungnya memantulkan bayangan lampu gantung kristal, berkilau di atas rambut panjangnya yang masih basah. Wajahnya cantik, anggun, tapi di matanya berpendar sesuatu yang sulit dijelaskan semacam kelelahan yang tidak bisa tidur, meski tubuhnya berkali-kali menjerit di atas ranjang ini.
Di genggamannya, sebuah kotak musik tua berwarna gading. Tangannya gemetar ketika memutar kunci di sisinya, memancing melodi yang berputar lirih. Lagu itu… lagu yang pernah diputar Raka pada malam pernikahan mereka. Malam yang katanya penuh cinta, tapi bagi Anjani lebih mirip penjara.
Ia memejamkan mata, membiarkan melodi itu menusuk jauh ke ingatannya. Seolah dari sela denting nada, terdengar suara napas berat, desahan yang pernah membuatnya merinding tapi bukan merinding nikmat, melainkan merinding takut.
“Kau masih di sini, Raka?” bisiknya lirih, seolah berbicara pada bayangannya sendiri.
Malam ini, tamu lain akan datang. Seperti malam-malam sebelumnya. Tapi malam ini berbeda pria yang akan mengetuk pintu kamarnya bukan sekadar pencari nikmat. Ia membawa bahaya.
Ketukan pelan di pintu terdengar, menembus suara hujan sisa di talang. Anjani membuka mata. Bayangan di balik kaca pintu tampak ragu, seolah tahu betul bahwa sekali melangkah masuk, dia tidak akan sama lagi.
“Masuk…” Suara Anjani terdengar serak, rendah, nyaris menggoda. Ia meletakkan kotak musik di meja rias, lalu berdiri menunggu.
Pintu berderit, menyingkapkan sosok Rio. Laki-laki muda itu berdiri di ambang, jaketnya basah, rambutnya meneteskan air. Nafasnya memburu entah karena hujan di luar, atau karena pemandangan di hadapannya.
“Bu… Bu Anjani…,” sapanya, terbata. Suaranya masih muda, polos, tapi matanya tak bisa menyembunyikan nyala yang meledak-ledak. Di kantor, Rio cuma pegawai magang, berkas hidupnya tak seberapa berarti dibandingkan hartanya Anjani. Tapi di kamar ini, dia jadi bahan bakar kutukan.
“Kau datang juga…” Anjani mendekat, jari-jarinya meraih kerah jaket Rio, membuka perlahan. “Kau gemetar. Kedinginan?”
Rio hanya mengangguk, menahan pandangannya agar tidak jatuh ke belahan dada Anjani yang sedikit terbuka. Tapi rasa ingin tahunya selalu lebih kuat. Begitu tatapan mereka bertemu, Rio terseret sekali lagi ke jurang yang sama.
“Aku… aku harus pulang malam ini, Bu,” katanya lirih. Suaranya bergetar.
Anjani tertawa kecil. “Pulang? Kau pikir pintu ini membiarkan orang keluar sesuka hati?”
Ia menarik Rio mendekat. Tubuh Rio kaku, tapi matanya meremang. Anjani mencium bau air hujan yang masih melekat di kulitnya, segar, liar, penuh gairah muda. Sejenak ia membiarkan dirinya tenggelam dalam aroma itu, sebelum mendorong Rio perlahan ke ranjang.
Rio menelan ludah. “Bu… kita… kalau orang tahu"
“Orang mana?” Anjani menatapnya, jari-jarinya menelusuri dada Rio, membuka satu per satu kancing kemeja yang basah. “Kau takut orang tahu? Orang-orang sudah tahu sejak lama, Rio. Mereka hanya pura-pura buta.”
Tubuh Rio jatuh ke ranjang, seolah ranjang itu menelannya. Anjani naik di atasnya, membiarkan rambut panjangnya terurai menutupi dada Rio yang mulai naik-turun cepat. Di luar, angin merobek tirai, membawa masuk bau tanah basah dan sesuatu yang tak terdefinisi bau sangar, bau kematian.
Anjani menunduk, bibirnya nyaris menempel di telinga Rio. “Dengar baik-baik. Ranjang ini tak pernah tidur. Siapa pun yang rebah di atasnya… terikat selamanya. Kau mau kabur kemana?”
Rio menatapnya, pupilnya melebar. Ada rasa takut di sana, tapi juga ketagihan. Anjani tahu persis kapan harus menekan, kapan harus membiarkan.
Mereka jatuh dalam gelombang yang sama, nafas, rintih, dentuman kasur berderit. Tirai berayun, seolah ada sosok lain berdiri di sudut kamar, menonton. Anjani menutup mata di sela kenikmatan, bayangan wajah Raka muncul. Wajah dingin, bibir mencong penuh kebencian. Ia melihat sekelebat mata merah di balik tirai ranjang. Rio tak tahu. Atau pura-pura tak peduli.
Setiap cumbu, setiap erangan, membuat suara di kotak musik seolah ikut memekik — dentingnya berubah kacau, seperti senandung hantu.
Satu jam berlalu. Ranjang itu lagi-lagi basah oleh keringat dan nafas. Anjani berbaring di samping Rio, meraih rokok panjang, menyalakannya dengan korek emas. Asap menari di langit-langit. Di luar, angin bertiup makin dingin.
“Bu Anjani…,” gumam Rio pelan, masih setengah sadar. “Kenapa… kenapa aku merasa ada yang melihat kita?”
Anjani menoleh, menatap Rio dengan senyum yang tak sepenuhnya manis. Di matanya ada kilau lelah, juga amarah.
“Karena kau memang dilihat,” jawabnya datar.
Rio terdiam. Tangannya gemetar, meraih pinggang Anjani, seolah mencari perlindungan. Anjani tertawa lirih. Tangannya bergerak, menepuk pipi Rio lembut.
“Kau lucu, Rio. Kau datang ke ranjang yang sama… berkali-kali… lalu pura-pura takut. Kau pikir kau bisa lepas?”
“Tapi… tadi… aku melihat…,” Rio terhenti. Tatapannya melebar ke sudut kamar. Bayangan hitam berdiri di sana. Sosok laki-laki, tinggi, hanya separuh tampak di balik tirai renda. Matanya merah. Senyum bibirnya miring, meneteskan darah.
Rio menjerit. Sekejap, Anjani menutup mulutnya dengan telapak tangan, membisik di telinganya, “Diam! Dia tak suka suara bising.”
Air mata Rio menetes. Napasnya memburu, tubuhnya menggigil. Anjani menempelkan bibirnya di pipi Rio, menciumnya, menelan jeritnya. Sementara di sudut kamar, bayangan itu perlahan menghilang — tapi dengus napasnya terdengar di sekeliling mereka.
Malam beranjak larut. Anjani bangkit pelan, meninggalkan Rio yang ketakutan di atas ranjang. Ia melangkah ke meja rias, mengambil kunci kecil berwarna perak dari laci. Di kaca cermin, refleksi wajahnya tampak pucat. Rambutnya kusut, bibirnya berkilat merah, tapi matanya menatap nanar.
Ia berjalan ke lemari tua di sudut kamar lemari yang hanya bisa dibuka dengan kunci itu. Klek. Kunci berputar, pintu lemari terbuka. Di dalamnya, teronggok bantal tua berlumur noda gelap bantal yang dulu menutup wajah Raka di malam kematiannya.
Anjani menyentuhnya, jari-jarinya menari di atas kain lusuh. Bisikan lirih terdengar, entah dari mana. Seolah ranjang, lemari, dan seluruh kamar ini hidup dan lapar.
“Kau mau lagi, Raka?” bisik Anjani. “Aku sudah memberimu satu malam ini. Kau mau lebih? Baiklah… besok malam aku akan memberimu lagi.”
Ia menutup pintu lemari pelan, menyembunyikan bantal itu kembali. Rio tertidur gelisah di atas ranjang, tubuhnya terkulai lemas. Anjani menatapnya, senyum tipis terlukis di bibirnya.
“Selamat datang di ranjang ini, Rio. Sekarang kau milik kami.”
Di luar, hujan kembali turun. Tirai ranjang berayun pelan seperti tangan hantu yang menepuk, membelai, mengundang lagi. Di bawah cahaya lampu gantung, ranjang tua itu berderit lirih ranjang yang tidak pernah tidur, menelan siapa pun yang berani bermimpi di
