Pilihan di Bawah Langit Kelam
Hasada berdiri di tengah lapangan desa, merasakan tatapan penduduk yang penuh harap dan ketakutan. Ryuji menggenggam tangannya erat, seolah ingin meyakinkannya bahwa mereka bisa menghadapi ini bersama. Namun, jauh di lubuk hatinya, Hasada tahu ini bukan hanya tentang dirinya. Jika ia menolak panggilan Kaisar, mereka semua akan menderita.
Malam itu, desa diliputi keheningan. Lentera-lentera dipadamkan lebih awal, dan orang-orang menunggu keputusan Hasada dengan hati yang gelisah. Di puncak bukit, Hasada dan Ryuji berdiri berhadapan, hanya diterangi sinar bulan yang pucat.
“Apa pun yang kau pilih, aku akan selalu bersamamu,” bisik Ryuji.
Hasada menatap laut yang bergelombang, pikirannya berkecamuk. Ia bisa melarikan diri lagi, mencari tempat lain untuk bersembunyi, tetapi sampai kapan? Dunia luar tidak akan pernah melupakan dirinya. Mungkin sudah waktunya berhenti berlari.
Akhirnya, dengan suara lirih namun penuh ketegasan, ia berkata, “Aku akan kembali ke istana.”
Pengorbanan untuk Kedamaian
Keesokan harinya, di hadapan seluruh desa, Hasada berdiri dengan anggun mengenakan jubah sutra putih dengan bordiran emas. Para penduduk berusaha menahan air mata, sementara Ryuji tetap berdiri di sampingnya, matanya penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan.
Saat utusan kekaisaran membawanya menuju kapal, angin laut berhembus dingin, membawa harum bunga sakura yang berguguran. Dengan setiap langkah yang ia ambil menuju kapal, Hasada merasakan hatinya semakin berat.
Tepat sebelum menaiki kapal, ia berbalik dan berkata kepada Ryuji, “Jangan lupakan aku. Jika takdir mengizinkan, kita akan bertemu lagi.”
Ryuji hanya bisa menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, lalu menggenggam pedangnya erat. Ia tahu, ini bukan akhir dari perjalanan mereka. Entah bagaimana, entah kapan, ia akan menemukan cara untuk membawa Hasada kembali.
Di kejauhan, guntur mulai menggema di langit, seolah menandakan badai besar yang akan segera datang dan bukan hanya bagi mereka, tetapi juga bagi kerajaan yang telah lama berusaha mengendalikan takdir Putri Hasada.
Perjalanan menuju istana kekaisaran berlangsung selama berhari-hari, melewati lautan yang bergolak dan angin yang membawa hawa perpisahan. Hasada berdiri di dek kapal, mengenakan jubah sutra putih yang berkibar tertiup angin. Setiap ombak yang menghantam lambung kapal mengingatkannya pada rumah kecilnya di desa, pada Ryuji, pada kehidupan yang ia tinggalkan.
Saat istana kekaisaran akhirnya tampak di kejauhan, hatinya berdebar. Gerbang raksasa yang pernah ia lihat dalam bayangan masa kecilnya kini berdiri megah di hadapannya. Begitu ia melangkah masuk, para pejabat dan pelayan berlutut, membisikkan nama yang dulu hanya menjadi legenda: Putri Hasada telah kembali. Namun, di balik kemegahan itu, ia tahu bahwa istana ini bukan rumahnya. Ia bukan kembali sebagai putri yang dicintai, tetapi sebagai bidak dalam permainan politik.
Intrik di Balik Tabir Sutra
Hasada segera dibawa ke dalam ruang pertemuan yang dingin dan penuh kemewahan. Di sana, Kaisar menatapnya dengan mata tajam, penuh perhitungan. “Kau telah cukup lama bersembunyi,” katanya dengan nada datar. “Kini saatnya kau menjalankan tugasmu.”
Hasada tetap diam, menundukkan kepala dengan anggun, menyembunyikan gelombang emosinya di balik wajah tenang. Ia tahu, ia tidak dipanggil kembali untuk disambut sebagai putri, melainkan untuk dijadikan alat dalam rencana politik kerajaan.
Beberapa pejabat mulai berbisik, membicarakan pernikahan politik yang telah disiapkan untuknya. Seorang jenderal muda, pewaris salah satu keluarga paling berpengaruh di negeri itu, telah dipilih sebagai suaminya. Dengan pernikahan ini, Kaisar berharap memperkuat aliansi dan memastikan kesetiaan para bangsawan.
Namun, di dalam hatinya, Hasada hanya mengingat satu nama—Ryuji.
Malam itu, di dalam kamarnya yang luas namun terasa seperti sangkar, Hasada berdiri di jendela, menatap bulan yang sama dengan yang bersinar di atas desa kecilnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri: Aku tidak akan menjadi boneka mereka. Jika takdirku telah ditulis oleh orang lain, maka aku akan menghapusnya dan menulis ulang dengan tanganku sendiri.
Dan di kejauhan, tanpa ia ketahui, seseorang telah menyusup ke dalam ibu kota dengan satu tujuan: membawanya kembali.
Malam itu, istana diterangi oleh cahaya lentera yang berpendar lembut, menyoroti lorong-lorong panjang dengan dinding emas dan tirai sutra yang bergoyang pelan. Namun, di balik keheningan yang tampak tenang, ada sesuatu yang bergerak dalam bayangan.
Hasada duduk di depan cermin perunggu di kamarnya, jemarinya dengan lembut menyusuri ukiran bunga sakura di sisir kayu yang diberikan ibunya dahulu. Namun, pikirannya tidak berada di sana, ia masih mencari celah, sebuah jalan keluar dari istana yang kini menjadi penjaranya.
Saat ia berdiri untuk mematikan lentera, sebuah suara lirih terdengar dari balik tirai.
"Hime-sama... aku datang menjemputmu."
Jantung Hasada berdegup kencang. Itu bukan suara pelayan istana, bukan juga salah satu pejabat Kaisar. Itu suara yang tak pernah ia lupakan. Suara yang selama ini ia rindukan.
Dengan napas tertahan, ia perlahan berbalik—dan di balik bayangan, sesosok pria berdiri dengan jubah gelap, mata tajamnya bersinar di bawah cahaya bulan yang masuk dari jendela. Itu dia, Ryuji.
Namun sebelum Hasada bisa melangkah mendekat, pintu kamarnya mendadak terbuka lebar.
Dua pengawal bersenjata lengkap berdiri di ambang pintu, mata mereka langsung tertuju pada sosok asing di ruangan itu. Salah satu dari mereka menghunus pedangnya dan berteriak:
"PENYUSUP!"
Dan dalam sekejap, keheningan istana berubah menjadi kekacauan.
Pada malamnya, di istana yang biasanya sunyi mendadak dipenuhi suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Lentera-lentera berayun liar di sepanjang koridor saat para penjaga bergegas menuju kamar Putri Hasada. Namun, di dalam ruangan itu, hanya ada tirai yang berkibar dan jendela yang terbuka lebar ke arah taman.
Di bawah sana, Hasada dan Ryuji berlari menerobos gelapnya malam, napas mereka terputus-putus. Angin membawa harum bunga sakura yang bercampur dengan aroma bahaya yang semakin mendekat.
“Ke arah barat!” bisik Ryuji, matanya tajam menatap jalan setapak yang tersembunyi di balik bayang-bayang pepohonan. “Ada jalan keluar.”
Hasada tidak bertanya. Tidak ada waktu untuk ragu. Di belakang mereka, teriakan penjaga semakin dekat.
Langkah kaki para prajurit menggema di antara dinding batu, berpadu dengan suara gong darurat yang dibunyikan dari menara utama. Hasada bisa merasakan jantungnya berdebar begitu keras hingga terasa di tenggorokannya.
Di depan, Ryuji melompat melewati pagar rendah taman, lalu menoleh. “Lompat!”
Hasada menahan napas dan melompat, namun ujung gaunnya tersangkut di ranting kering. Tubuhnya tersentak ke belakang, dan sebelum ia bisa melepaskan diri, suara tajam terdengar di belakangnya.
“Jangan bergerak!”
Hasada membeku. Dari balik kegelapan, seorang prajurit muncul dengan pedang terhunus, mata tajamnya berkilat di bawah cahaya bulan. Dalam sekejap, Ryuji sudah bergerak. Pedangnya berkelebat seperti bayangan, menangkis serangan pertama. Dentingan baja memenuhi udara saat keduanya saling menyerang dalam kecepatan luar biasa.
Hasada berhasil melepaskan gaunnya dan mundur, tetapi sebelum ia bisa bergabung dengan Ryuji, suara lain terdengar dari kejauhan terdengar suara gemuruh langkah kaki yang semakin mendekat.
Mereka dikepung.
Ryuji menyadari situasi itu dan segera meraih pergelangan tangan Hasada, menariknya ke belakang. “Kita tidak bisa bertarung di sini. Lari!”
Mereka berlari ke arah pagar luar istana, tetapi sebelum mereka bisa mencapai gerbang kecil yang tersembunyi di balik rerimbunan, suara berat menggema di belakang mereka.
“Berhenti.”
Hasada dan Ryuji berbalik perlahan. Di hadapan mereka, berdiri seorang pria berjubah hitam dengan mata tajam seperti pisau.
Jenderal Takeshiro.
Hasada merasakan tengkuknya menegang. Takeshiro bukan sekadar prajurit biasa, ia adalah salah satu ahli pedang terbaik di kerajaan, tangan kanan Kaisar.
Ryuji mengangkat pedangnya, bersiap untuk bertarung. Namun Takeshiro tidak bergerak. Ia hanya menatap mereka dengan ekspresi dingin.
“Kau telah membuat pilihan yang bodoh, Putri Hasada,” katanya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan maut. “Dan kau…” Tatapannya beralih pada Ryuji. “Berani sekali kau menentang takdir yang telah ditetapkan.”
Hasada menelan ludah. Ia bisa merasakan ketegangan di udara, seperti badai yang hendak meledak.
Lalu, Takeshiro tersenyum tipis.
“Tapi aku tidak butuh pertumpahan darah malam ini.”
Kata-katanya mengejutkan mereka berdua.
“Kau tidak akan melawan kami?” tanya Hasada, suaranya hampir bergetar.
Takeshiro hanya menghela napas. “Aku bisa membunuhmu sekarang, Ryuji. Aku bisa menyeret Putri Hasada kembali ke istana.” Ia menatap Hasada dalam-dalam. “Tapi aku tahu bagaimana rasanya menjadi tawanan takdir.”
Kemudian, dengan gerakan lambat, Takeshiro menyarungkan pedangnya.
“Aku memberimu waktu lima menit,” katanya. “Setelah itu, aku akan melapor kepada Kaisar bahwa aku gagal menangkapmu.”
**
