Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jejak keberanian

Ketika Takeshiro menghilang ke dalam bayang-bayang malam, Hasada dan Ryuji hanya berdiri terpaku, merasakan ketegangan yang hampir tak tertahankan. Di antara mereka dan kebebasan, hanya ada waktu yang semakin menipis. Setiap detik terasa seperti terhitung mundur, dan mereka tahu, tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi.

Ryuji menarik napas dalam-dalam. "Kita harus segera pergi," ujarnya dengan suara rendah dan tegas. "Jika Takeshiro berhasil menemui kita, ini akan berakhir buruk."

Hasada mengangguk, meskipun hati kecilnya menjerit. Dia tahu tak hanya hidupnya yang terancam, tetapi juga keselamatan Ryuji yang bersamanya. Sekali lagi, mereka berdua berada dalam bahaya besar—tak hanya dari Kaisar, tetapi dari takdir yang telah menanti mereka.

Dengan langkah cepat, mereka menuju hutan yang terletak di luar batas istana. Di bawah cahaya bulan yang temaram, langkah kaki mereka beradu dengan suara angin malam yang menerobos dedaunan. Namun, di balik rasa cemas yang merundung hati, Hasada berusaha tetap fokus. Mereka tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.

Mereka mencapai sebuah sungai kecil yang mengalir deras. Ryuji memimpin, mengarahkannya ke sebuah jembatan kayu tua yang tampaknya sudah rapuh. "Kita bisa menyeberang di sini. Ada jalan menuju pegunungan di sisi lain," katanya.

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, terdengar suara langkah berat dari belakang. Hasada berbalik, dan tubuhnya kaku seketika saat melihat sosok yang mendekat, dia adalah seorang tentara istana yang mengenakan pelindung lengkap. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, dan langkahnya tak terburu-buru, seolah-olah yakin bahwa tak ada yang bisa melawan.

"Berhenti!" teriak tentara itu, suaranya keras dan penuh ancaman. "Tidak ada yang bisa melarikan diri."

Ryuji melangkah maju, pedangnya terhunus dengan penuh keberanian. "Kami tidak akan mundur," katanya dengan suara penuh ketegasan. "Jika harus, kami akan bertarung."

Tentara itu tidak berbicara lebih lanjut. Dalam sekejap, pedang mereka bersentuhan, menghasilkan dentingan logam yang memekakkan telinga. Keduanya berkelahi dengan cepat, setiap gerakan penuh tekad dan keterampilan. Ryuji menghindari serangan pertama, membalas dengan serangan yang mematikan. Suara pertempuran semakin sengit.

Hasada hanya bisa berdiri terpaku, hatinya berdebar kuat melihat pertarungan yang semakin keras. Di satu sisi, ia tahu bahwa mereka tidak bisa melawan selamanya. Di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika mereka berdua tertangkap, semuanya akan berakhir.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang lebih banyak terdengar. Keadaan semakin gelap, dan pasukan elit dari istana muncul dari balik pepohonan, mengepung mereka dengan ketat. Mereka tidak punya banyak pilihan.

"Serahkan diri kalian sekarang!" seru seorang prajurit, mengangkat tombaknya tinggi. "Kalian tidak akan bisa melarikan diri."

Ryuji melirik ke arah Hasada, matanya penuh dengan tekad. "Kau harus pergi," bisiknya. "Cari jalan keluar. Aku akan menahan mereka."

Hasada merasa dunia seperti runtuh di sekelilingnya. "Aku tidak akan meninggalkanmu," jawabnya dengan suara gemetar, bahkan saat jantungnya hampir mencabik dirinya sendiri. "Kita harus bertarung bersama."

Namun, Ryuji menatapnya dengan penuh pengertian. "Kau harus hidup. Kalau kita berdua tertangkap, semuanya akan sia-sia. Aku akan pastikan kau selamat, apapun yang terjadi."

Sebelum Hasada sempat mengucapkan sesuatu, Ryuji sudah berlari, menyerang pasukan yang semakin mendekat. Pedangnya berkilat di bawah cahaya bulan, bergerak dengan kecepatan yang menakjubkan. Pertarungan mereka terdengar seperti simfoni pertempuran yang memekakkan telinga—baja saling bertemu, dan ketegangan menggantung di udara.

Hasada, yang merasa terikat dengan Ryuji, memutuskan untuk ikut terlibat. Dia tak bisa hanya menonton, sementara dia tahu bahwa saat ini, mungkin inilah satu-satunya kesempatan mereka untuk melarikan diri. Tapi hatinya penuh dengan keraguan.

Tiba-tiba, suara berat yang dikenalnya muncul di belakangnya. "Berhenti."

Hasada menoleh, jantungnya seolah berhenti berdetak. Di hadapannya, berdiri sosok yang telah ia kenal dengan baik, dia adalah Takeshiro, ahli pedang Kaisar yang selalu muncul seperti bayangan. Dengan jubah hitam yang mengalir di belakangnya, matanya tajam seperti pisau.

"Takeshiro," bisik Hasada, mencoba tetap tenang meskipun suaranya serak. "Apa yang kau inginkan dariku?"

Takeshiro melangkah maju dengan tenang, matanya tidak berubah. "Kaisar mengirimku untuk membawamu kembali," katanya, suaranya datar dan penuh perhitungan. "Tidak ada yang bisa menghindar dari takdir."

Hasada menatap pria itu dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tidak akan kembali ke sana untuk menjadi boneka mereka," jawabnya, suara penuh tekad. "Aku lebih memilih mati daripada hidup seperti itu."

Takeshiro hanya tersenyum tipis, senyum yang dingin dan mengerikan. "Sayang, pilihanmu sudah terlambat. Mereka sudah menunggu."

Namun, sebelum Takeshiro melangkah lebih jauh, Ryuji muncul kembali, terengah-engah dengan darah yang mengalir dari lukanya. Wajahnya tertekuk karena rasa sakit, tapi dia tidak peduli. "Hasada, pergi!" teriaknya, suaranya penuh dengan tekad. "Cari jalan keluar sekarang!"

Takeshiro menatap Ryuji dengan tatapan datar, matanya penuh perhitungan. "Kau begitu berani menentang takdir," katanya, nada suaranya penuh rasa kecewa. "Tapi keberanianmu itu akan sia-sia."

Ryuji tidak menjawab. Dengan secepat kilat, dia menerjang Takeshiro, pedangnya terangkat tinggi. Keduanya bertarung dengan penuh tenaga, pedang beradu dengan pedang, gerakan mereka hampir tak terlihat oleh mata yang biasa. Dentingan baja yang keras memenuhi udara, dan Hasada hanya bisa berdiri di tempat, jantungnya berdebar hebat.

Namun, dalam sekejap, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Takeshiro tiba-tiba berhenti bergerak. Dari belakang, sebuah suara berat terdengar.

"Berhenti."

Semua orang terdiam. Dari bayangan pepohonan, muncul seorang pria lain, sosok yang tidak dikenal oleh Hasada dan Ryuji. Pria itu mengenakan jubah gelap dan berjalan dengan langkah penuh keyakinan. Aura yang dipancarkannya terasa menakutkan, dan seketika, semua pertempuran terhenti.

Takeshiro menatap pria itu dengan bingung. "Siapa kau?" tanyanya dengan nada tajam.

Pria itu tersenyum tipis, namun senyumnya tidak memancarkan kehangatan. "Aku adalah seseorang yang tidak ingin melihat darah tertumpah sia-sia," jawabnya. Dengan satu gerakan tangan, pedangnya terangkat tinggi, menuju langit malam.

Takeshiro terdiam, matanya tajam menatap pria itu. "Apa maksudmu?"

Pria itu menatap Hasada, matanya berkilat. "Kau punya pilihan, Putri Hasada,"

Ia seolah mengancam.

Hasada terpaku, tubuhnya kaku seakan-akan waktu berhenti berputar. Dia menatap pria misterius itu, jantungnya berdetak cepat. Kata-katanya menggema dalam pikirannya. Pilihan? Apa yang dimaksudnya dengan pilihan? Sementara Takeshiro, yang tampaknya tidak tahu bagaimana harus bersikap, terus menatap pria itu dengan tatapan penuh kebingungan.

Pria itu melangkah maju, matanya tidak teralihkan dari Hasada. "Kau berada di persimpangan jalan, Putri," katanya, suaranya bergetar namun penuh kepercayaan diri. "Kaisar ingin mu kembali. Tetapi aku datang untuk memberimu kebebasan yang selama ini kau cari. Pilihlah dengan bijak."

Ryuji yang berdiri di samping Hasada, masih terengah-engah, tidak bisa menahan perasaannya. "Kau datang untuk membantunya?" suaranya penuh curiga. "Siapa kau sebenarnya? Apa tujuanmu?"

Pria itu menatap Ryuji sejenak, lalu tersenyum tipis, sebuah senyuman yang sama sekali tidak menenangkan. "Aku adalah bayangan dari masa lalu yang kau lupakan. Dan aku datang bukan hanya untuk menyelamatkanmu, tapi juga untuk menghentikan perang yang akan datang—sebuah perang yang sudah direncanakan jauh lebih lama dari yang kalian bayangkan."

Tiba-tiba, suara langkah kaki keras terdengar dari kejauhan, mengusir keheningan malam. Mereka bisa merasakan getaran tanah yang menunjukkan kedatangan pasukan elit istana. Waktu semakin sempit. Masing-masing dari mereka hanya memiliki satu pilihan, satu jalan yang bisa mereka tempuh—tapi siapa yang bisa mereka percayai? Siapa yang sebenarnya berbohong dan siapa yang membawa kebenaran? Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti bayangan gelap yang siap menelan semuanya.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel