Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pilihan yang Tak Terucap

Kebisuan menguasai malam itu, hanya terdengar hembusan angin yang berdesir di antara pepohonan. Hasada menatap pria misterius itu, setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti kilat yang menyambar dalam gelap. "Aku datang bukan hanya untuk menyelamatkanmu," suara pria itu tenang namun memikat. "Aku datang untuk mengubah takdirmu. Tak hanya milikmu, tetapi juga milik kerajaan ini."

Hasada merasa seolah dunia berhenti berputar. Kata-kata itu begitu berat, menggantung di hatinya. Semua yang telah ia jalani, semua yang ia ketahui tentang dunia ini, kini seolah terombang-ambing, terseret dalam badai perasaan yang tak terkontrol. Jika ia memilih untuk mengikuti pria ini, apakah artinya ia meninggalkan semua yang telah dia kenal? Dan jika tetap bertahan di sisi Kaisar, apakah ia akan kehilangan dirinya selamanya?

Ryuji, yang masih terengah-engah, perlahan mendekat ke sisi Hasada. Matanya tidak pernah lepas dari pria misterius itu, penuh waspada. "Kenapa kau datang sekarang?" tanyanya dengan suara rendah, penuh keraguan. "Kenapa baru sekarang kau muncul, ketika semuanya sudah sampai pada titik ini?"

Pria itu menatap Ryuji dengan pandangan yang penuh pengertian, seolah ia sudah mengetahui setiap pergolakan dalam hati mereka berdua. "Karena saat ini, segala sesuatu berada di ujung jurang," jawabnya. "Kau berdua sedang berada di persimpangan yang menentukan. Jika kalian terus berlari, kalian akan mengejar bayangan. Tapi jika kalian memilih untuk menghadapi kenyataan, maka hanya satu jalan yang bisa kalian ambil."

Ryuji menggertakkan gigi. "Kau ingin kami memilih jalan mana?" desaknya. "Jalan yang mengarah pada kebebasan atau yang membelenggu kami di dalam istana? Kau tak mengerti, kami sudah cukup menderita dengan semua kebohongan ini."

Pria itu terdiam sejenak, matanya berkilat tajam. "Aku mengerti lebih dari yang kalian bayangkan," katanya. "Tapi kebebasan yang kalian inginkan bukan tanpa harga. Dan kadang, harga kebebasan itu adalah kehilangan sesuatu yang paling berharga."

Hasada menelan ludah. Hatinya bergejolak antara rasa takut dan harapan yang semakin berkembang. Apakah dia siap untuk kehilangan segalanya demi kebebasan? Apakah ada pilihan lain yang masih bisa ditempuh? Di hadapannya, pria itu seakan menjadi cerminan dari masa lalu yang begitu kelam—sebuah masa lalu yang ingin ia lupakan, namun tak bisa dihindari.

Suara langkah kaki yang semakin mendekat mengingatkan mereka bahwa waktu semakin sempit. Dari kejauhan, siluet pasukan elit istana mulai terlihat. Keringat dingin mulai membasahi dahi Hasada. "Mereka sudah hampir di sini," bisik Ryuji, suaranya penuh keputusasaan. "Kita tidak punya banyak waktu."

Pria misterius itu mengangguk perlahan. "Kau harus memilih, Putri Hasada," katanya, suara serak, namun penuh keyakinan. "Apakah kau akan melawan takdir yang telah ditentukan untukmu? Ataukah kau akan membiarkan takdir itu menentukan masa depanmu, masa depan kerajaan ini?"

Di belakang mereka, Takeshiro, yang sebelumnya hanya mengamati, kini mulai melangkah maju, tubuhnya tegap dan penuh otoritas. "Cukup!" suaranya tegas, penuh perintah. "Kalian tidak bisa melarikan diri lagi."

Hasada menatap Ryuji untuk terakhir kalinya. Matanya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terucap. Ryuji, dengan tatapan penuh pengertian, menggenggam tangan Hasada erat. "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu," katanya, suaranya hampir serak karena perasaan yang begitu dalam.

Di hadapan mereka, pilihan besar kini terbuka lebar. Jalan yang menuntun mereka ke kebebasan atau jalan yang kembali membelenggu mereka dalam cengkeraman istana. Dan di tengah pergolakan itu, Hasada hanya bisa menatap pria misterius itu, jantungnya berdebar dengan ketidakpastian.

"Aku… aku harus memilih?" suara Hasada terdengar begitu lirih, hampir terhanyut oleh angin. "Dan jika aku memilih, apakah itu berarti aku harus mengorbankan segalanya?"

Pria itu mengangguk pelan. "Terkadang, untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita harus rela kehilangan apa yang paling kita cintai. Tetapi ingatlah, setiap pilihan membawa konsekuensinya."

Dengan detakan jantung yang semakin cepat, Hasada menatap jalan yang terbentang di hadapannya. Jalan yang akan mengarah ke kebebasan atau kehancuran. Takdir tidak memberi banyak waktu untuk berpikir. Langkah kaki pasukan semakin jelas terdengar. Mereka tidak punya banyak waktu untuk memutuskan.

Tiba-tiba, Hasada merasakan tangannya yang digenggam erat oleh Ryuji, dan dengan satu keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya, ia membuka mulutnya. "Aku… aku akan memilih…"

Tapi suara langkah kaki pasukan itu, bersama dengan bisikan angin yang mendesir keras, menghalangi kata-kata berikutnya, membuat keputusan itu terhenti di bibirnya, seperti daun yang tak bisa terlepas dari rantingnya.

Di saat itu, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Pria misterius itu mengangkat tangannya, seolah memberi isyarat kepada sesuatu yang tak terlihat. Dengan kecepatan yang tak terduga, sebuah bayangan gelap muncul, bergerak begitu cepat dan begitu rapi. Tak ada waktu untuk bereaksi, dan di depan mata mereka, dunia yang dikenal Hasada dan Ryuji seakan mulai berubah dalam sekejap.

"Siap-siap," kata pria itu, suaranya hampir seperti peringatan. "Takdir kalian sedang berubah."

Saat itulah, dalam ketegangan yang memuncak, langkah kaki pasukan elit istana berhenti. Mereka berhenti tepat di garis batas yang tak terlihat, seperti sebuah kutukan yang tak bisa mereka langgar. Dan saat itu, Hasada menyadari sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya sedang terjadi.

Namun, apakah itu berarti kebebasan yang diinginkan akan tercapai, atau justru mereka akan terjebak dalam perang yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan?

**

Angin malam bertiup lebih dingin dari biasanya, seolah membawa firasat buruk yang menggantung di udara. Hasada merasakan detak jantungnya berdegup kencang saat ia menatap pria misterius di hadapannya. Suaranya masih terngiang di telinganya—tentang takdir yang berubah, tentang pilihan yang harus ia buat. Namun sebelum ia bisa berkata apa pun, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Dari bayang-bayang di belakang pria itu, muncul sosok lain dan lebih tinggi, lebih tegap, dan wajahnya tersembunyi di balik topeng besi berukiran naga. Matanya berkilat tajam di bawah sinar bulan, penuh ketenangan yang mengerikan. Ia berdiri di sana dengan tangan terlipat, seolah sudah memperhitungkan setiap langkah mereka.

“Kalian tidak bisa pergi dari sini,” suaranya dalam dan mantap, seperti gemuruh petir yang tertahan. “Bukan tanpa membayar harga.”

Hasada mundur selangkah, jemarinya secara refleks meremas lengan Ryuji. Ada sesuatu tentang pria bertopeng itu yang terasa begitu familiar, begitu mengancam sekaligus… menyakitkan.

Takeshiro, yang sejak tadi berdiri diam, akhirnya bergerak. “Jadi kau benar-benar kembali,” katanya dengan nada datar, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang menunjukkan bahwa ia sudah menduga ini akan terjadi.

Pria bertopeng itu menoleh sedikit ke arahnya. “Aku tidak pernah benar-benar pergi,” jawabnya. “Aku hanya menunggu waktu yang tepat.”

Ryuji menyipitkan matanya, instingnya berteriak bahwa ada sesuatu yang salah. “Siapa kau?” tanyanya tajam.

Pria itu tidak segera menjawab. Sebaliknya, ia menatap Hasada, seolah sedang menilai sesuatu, sebelum akhirnya berkata dengan nada yang lebih lembut.

“Kau sudah cukup lama melarikan diri, Hasada. Kini saatnya kau tahu yang sebenarnya.”

Hasada membeku. Suhu udara di sekitarnya terasa turun drastis, atau mungkin hanya perasaan takut yang merayap di punggungnya. “Yang sebenarnya?” ulangnya, suaranya hampir berbisik.

Pria bertopeng itu mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya yang kokoh membuka tali pengikat topengnya. Dalam sepersekian detik, topeng itu terlepas, jatuh ke tanah dengan suara berdebum kecil.

Dan saat itulah dunia Hasada berhenti berputar.

Di bawah sinar bulan yang pucat, wajah pria itu terlihat jelas—garis wajahnya tajam, dengan bekas luka memanjang di pipi kirinya. Rambut hitamnya yang panjang sedikit berantakan, tetapi sorot matanya masih sama seperti yang ia ingat.

Sama seperti seseorang yang sudah lama dianggapnya mati.

Seseorang yang seharusnya tidak mungkin berdiri di hadapannya sekarang.

“… Kakak?”

Satu kata itu terlepas dari bibir Hasada sebelum ia bisa berpikir lebih jauh.

Ryuji menoleh tajam ke arahnya. “Apa?”

Takeshiro tetap diam, tapi tangannya perlahan bergerak ke gagang pedangnya, seolah sudah mengantisipasi sesuatu.

Pria itu adalah sang kakak, kini ia memandang Hasada dengan mata yang dipenuhi sesuatu yang sulit diartikan. Antara kehangatan yang tersisa dari masa lalu dan dinginnya kenyataan yang memisahkan mereka selama ini.

“Aku tidak mati, Hasada.”

Suaranya terdengar dalam dan stabil, tetapi ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan di sana.

Hasada mundur selangkah, napasnya tercekat. “Tidak… Tidak mungkin… Kau—aku melihatmu—”

“Kau melihat apa yang ingin mereka perlihatkan padamu.”

Hasada menatapnya dengan keterkejutan yang hampir tidak bisa disembunyikan. Pikirannya berputar cepat, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kakaknya—pewaris sah tahta sebelum ia menghilang bertahun-tahun lalu—sekarang berdiri di depannya, hidup.

Tetapi jika dia masih hidup, berarti semua yang ia percayai selama ini… adalah kebohongan?

Ryuji, yang masih berusaha memahami situasi ini, maju selangkah dengan ekspresi keras. “Jika kau memang kakaknya, di mana kau selama ini?”

Kakaknya menatapnya sebentar sebelum menjawab. “Diusir. Dikhianati. Dipaksa bersembunyi dari bayangan yang lebih besar dari sekadar istana.”

Hasada menelan ludah. “Siapa yang mengusir mu?”

Kakaknya menghela napas dalam, lalu berkata dengan satu nama yang membuat udara di sekitar mereka terasa semakin berat.

“Kaisar.”

Keheningan yang mengikuti terasa begitu pekat. Hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan yang masih terdengar, seolah alam pun ikut menahan napas.

Hasada merasa tubuhnya melemas. Jika itu benar… maka ayah mereka sendiri telah mengkhianati kakaknya? Mengapa? Untuk apa?

Dan sebelum ia bisa mengumpulkan pikirannya, suara gong darurat terdengar dari dalam istana.

Mereka sudah ditemukan.

Takeshiro langsung bergerak. “Tidak ada waktu lagi. Kalian harus pergi sekarang!”

Hasada masih ingin bertanya, masih ingin mencari jawaban. Tetapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, kakaknya sudah menarik tangannya.

“Kita harus pergi, Hasada.”

Ryuji bergerak cepat, menarik pedangnya saat beberapa bayangan mulai bergerak di balik pepohonan. Pasukan istana semakin dekat. Tidak ada pilihan lain selain melarikan diri.

Namun, sebelum mereka benar-benar berlari, Hasada menoleh sekali lagi ke arah istana.

Di sana, berdiri sosok lain yang selama ini menghantui mimpinya.

Kaisar.

Dan kali ini, tatapan ayahnya penuh dengan sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Bukan amarah. Bukan kekecewaan.

Tapi ketakutan.

Dan saat itu, Hasada sadar—ada rahasia yang jauh lebih besar dari sekadar takhta yang diperebutkan.

Sebuah rahasia yang mungkin bisa mengubah nasib seluruh kerajaan.

Namun, apakah ia siap untuk mengetahuinya?

**

Hasada ingin berpaling, ingin melanjutkan pelariannya bersama Ryuji dan kakaknya, tetapi tatapan Kaisar menahannya di tempat. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat ketakutan nyata dalam sorot mata ayahnya—bukan kemarahan, bukan kewibawaan seorang penguasa, tetapi ketakutan yang begitu dalam, seolah ia telah melihat hantu dari masa lalu.

Lalu, dengan suara yang hampir tertelan oleh gemuruh gong darurat, Kaisar berbisik satu kata yang nyaris tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat darah Hasada membeku.

“Kamu… seharusnya tidak pernah dilahirkan.”

Dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Hasada menegang, pikirannya berputar liar. Apa maksud dari kata-kata itu? Apakah ia hanya alat dalam permainan politik? Atau lebih dari itu—apakah keberadaannya sendiri adalah sebuah kesalahan?

Di kejauhan, derap langkah pasukan semakin mendekat. Mereka harus lari. Tetapi sesuatu dalam diri Hasada enggan bergerak. Rahasia besar tersembunyi di balik kata-kata Kaisar, dan kini, ia tak bisa lari begitu saja.

Karena jawaban dari semuanya ada di dalam istana. Dan mungkin, jika ia tetap berlari… ia tak akan pernah mengetahuinya.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel