Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

dua

Di mana aku sekarang? Pikiran itulah yang membayang di benak Arina sementara dia terus berjalan. Langkahnya terhenti. Tunggu sebentar, rasanya ada yang salah.

"Kaca mata. Di mana kaca mataku? Kalian ... kalian pasti melihatnya agar aku tidak bisa melihat dengan jelas!" serunya.

Rion bergegas menghampiri dan menggenggam pergelangan tangan gadis itu dengan erat.

"Apa yang kau bicarakan? Apa kau tidak bisa melihat kami sekarang? Atau kau sedang memperdaya kami dengan sihirmu?"

"Itu ... itu ... Sebenarnya itu ...."

Arina tertegun sesaat. Meski hatinya merasa takut pada sosok bertampang galak di depannya, tetapi ia menyadari sesuatu. Ia bisa melihat semua dengan jelas tanpa kaca mata.

Gadis itu tidak menyadari jika Rion menatap curiga. Dengan cepat, ia memuntir tangan Arina dan menjatuhkan gadis itu ke tanah.

"Kau pasti merencanakan sesuatu. Dasar penyihir, cepat katakan apa itu!" desaknya.

"Atau kupatahkan tanganmu!"

Arina menjerit kesakitan. Aldrich segera bergegas menghampiri dan berusaha menengahi.

"Rion, kurasa dia tidak tahu apa-apa," ucapnya.

Rion menoleh pada Aldrich dan melayangkan tatapan tajam.

"Jadi kau juga terperdaya oleh tampang sok polosnya?"

Aldrich menggeleng. Ia kemudian menatap Arina yang tampak sangat kesakitan.

"Dia tidak berpura-pura, Rion. Kau benar-benar telah menyakiti dia!" ujarnya dengan nada tegas.

Rion akhirnya mengalah dan melepaskan tangan Arina kemudian melayangkan tatapan tajam pada Rion.

"Jika memang dia mata-mata, maka kau yang harus bertanggung jawab. Jika nanti ada yang celaka karena dia, maka itu semua adalah salahmu!" gertaknya.

Aldrich mengangguk.

"Aku akan bertanggung jawab."

Rion mendengkus dan berlalu tanpa peduli lagi.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Aldrich pada Arina dengan nada suara lembut. Arina hanya mengangguk saja. Hatinya melonjak senang. Dia hanyalah gadis kutu buku yang tidak pernah menarik perhatian pemuda. Ini adalah pertama kali baginya seorang pemuda memperlakukan dia dengan begitu baik.

Aldrich kemudian mengeluarkan salep obat dari kantong bajunya untuk mengobati bekas memar di pergelangan tangan Arina akibat cengkeraman Rion yang begitu kuat. Jantung Arina berdebar keras. Wajahnya bersemu dadu. Rasanya asing seorang pemuda memperlakukan dia dengan baik. Senyum yang muncul di wajah Aldrich membuat Arina semakin salah tingkah.

Terdengar suara deham keras, Aldrich dan Arina sama-sama terkejut dan menoleh. Tampak Erland tengah tersenyum kecil sambil berjalan melewati mereka dengan memasang tampang tidak peduli.

Aldrich dan Arina segera menyusul pemuda itu.

***

Arina tercengang. Suasana di perkampungan itu sungguh berbeda. Dia merasa seolah berada di dunia lain.

'Tunggu, bukankah aku memang berada di dunia lain?' ucapnya.

Gadis itu menatap sekeliling dengan kagum. Ia bergegas ke sana kemari untuk melihat tempat tersebut dengan lebih jelas.

"Wah, apa ini?" tanyanya sambil mengangkat sesuatu seperti kendi berwarna cerah.

"Nona, kalau kau menyukainya, kau harus membeli lebih dulu," ujar seorang pria paruh baya yang duduk di dekat tempat kendi-kendi beraneka warna tersebut.

"Tidak, aku tidak ....!"

Gadis itu tidak melanjutkan ucapannya. Ia justru menjerit dengan keras saat tangannya ditarik tiba-tiba. Merasa ketakutan, ia memeluk orang yang menariknya tersebut erat sambil memejamkan mata.

"Apa yang kaulakukan? Lepaskan aku sekarang!" tegur sebuah suara ketus. Perlahan Arina membuka mata, ia terkejut saat melihat Rion berdiri di hadapannya. Ia segera melepaskan tangan yang masih melingkar di pinggang lelaki muda itu.

Tidak lama Aldrich dan Erland segera berlari menghampiri mereka.

"Apa kalian baik-baik saja?" tanya Aldrich segera setelah berada di hadapan mereka berdua.

"Tentu baik-baik saja," jawab Rion sambil bergegas. Arina, Aldrich dan Erland menatap diam kepergian Rion.

"Jangan pikirkan, Rion memang seperti itu, tapi sebenarnya dia orang yang baik. Hanya saja ia tidak pernah menunjukkannya secara terbuka pada orang lain," ujar Aldrich. Arina hanya mengangguk.

"Benar, jangan dipikirkan, sebenarnya tadi Rion yang semula menyadari bahaya. Karena itu, ia langsung menyelamatkanmu," timpal Erland.

"Aku akan membawa dia kemari untuk menjelaskan semua padamu."

"Eh, tidak usah," ucap Arina. Ia hendak menyusul Erland yang bergegas menemui Rion, tetapi Aldrich memegang pergelangan tangannya.

"Tidak usah," ucap pemuda itu.

"Kamu pasti sudah bisa menebak bagaimana sifat Rion meski kita baru bertemu. Dia tidak akan suka jika kamu menemuinya dan banyak bertanya."

Arina tampak ragu sejenak, tetapi setelah memikirkannya, gadis itu merasa perkataan Aldrich ada benarnya.

"Kamu benar, tapi tadi apa yang terjadi? Kalian benar-benar membuatku terkejut dan ketakutan," ucap Arina.

"Tadi ada kereta kuda nyaris menabrakmu. Rion menyadari hal itu sehingga bisa menyelamatkanmu. Aku dan Erland segera mengejar kereta itu, tetapi kami gagal."

Arina mengangguk. Ia memang tidak berhati-hati tadi.

"Tidak apa-apa. Itu juga aku yang salah. Aku tidak melihat sekeliling tadi."

Aldrich menggeleng.

"Itu bukan salahmu. Hal itu mungkin saja disengaja. Kusir kereta itu mungkin adalah suruhan Ratu Solandra," ucapnya. Pemuda itu kemudian menjelaskan bahwa Ratu Solandra adalah penguasa di negeri itu, tetapi sebenarnya pewaris sah tahta adalah tuan putri keturunan raja yang telah lama menghilang.

"Jadi itu maksud kalian mencarinya? Tapi aku tidak mungkin tuan putri itu," ucap Arina. Dalam mimpipun, ia tidak pernah membayangkan bahwa dia adalah seorang tuan putri. Ayahnya hanya seorang pekerja kantoran, sedang ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Meski begitu, tetap saja ia pernah berkhayal bahwa ia seorang putri dan seorang pangeran akan datang menjemputnya. Akan tetapi, seiring waktu ia makin sadar bahwa itu hanyalah khayalan anak-anak.

'Tapi semua itu benar terjadi sekarang dan aku tidak mengharapkannya. Apalagi tidak ada pangeran tampan di sini dan aku diincar untuk dibunuh.'

Aldrich tersenyum kecil.

"Jangan khawatir. Meski kamu bukan putri kami akan tetap melindungimu, apalagi sekarang kamu bersama kami. Itu yang membuatmu menjadi incaran Ratu."

Arina mengangguk. Ia berharap bisa mempercayai mereka. Gadis itu kemudian melihat Rion berjalan menghampiri bersama dengan Erland. Wajah Rion tampak begitu datar, bahkan terkesan sedikit cemberut.

'Tampaknya dia menyesal sudah menolongku,' ucap Arina dalam hati.

"Apa kalian sudah selesai mengobrol?" tanyanya dengan nada dingin. Aldrich tetap tersenyum dengan tenang sambil mengajak Arina bergegas.

Rion tidak berkata apa-apa lagi. Ia segera berbalik dan bergegas pergi lebih dulu. Erland menatap Arina dan Aldrich sambil tertawa lebar. Ketiganya lalu segera menyusul Rion.

***

Mereka tiba di sebuah pondok. Pemilik pondok tersebut adalah seorang wanita tua dengan rambut putih. Sekilas wanita itu mengingatkan Arina pada penyihir jahat yang sering dia baca di buku dongeng.

'Apakah mereka membawaku ke tempat ini agar aku dimasak oleh penyihir?' tanya Arina dalam hati sambil menatap ketiga pemuda yang datang bersamanya bergantian.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel