Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

tiga

"Apa wajahku begitu mengerikan?" tanya wanita tua itu.

"Lihat Tuan Putri tampak takut melihatku."

"Dia bukan Tuan Putri, Nek, hanya gadis bodoh yang kami temukan di hutan. Kami sudah mencari seharian, hanya gadis ini yang kami temukan. Ramalanmu itu pasti salah, Nek," sahut Rion tajam.

"Tidak mungkin aku salah," sahut wanita tua itu sambil melangkah tertatih mendekati Arina.

Arina sendiri tampak ketakutan. Jemari tangannya mencengkeram erat lengan Aldrich tanpa sadar.

"Aku tidak salah," ucap wanita di hadapannya itu sambil tersenyum. Tangannya terulur menyentuh tangan Arina yang hanya mematung. Ia ingin menghindar dan menjauh, tetapi takut menyinggung perasaan wanita itu.

"Kulit semulus porselen dan wajah secantik ini, pasti hanya Tuan Putri yang memilikinya," ucapnya lagi.

Arina tertegun. Wanita ini memang telah salah. Sejak dia kecil, tidak ada yang memujinya seperti itu. Menurut penilaiannya sendiri, penampilannya juga biasa saja. Tidak ada yang menarik atau memikat. Rasanya wanita tersebut terlalu berlebihan menilainya.

Rion mendengkus kemudian tertawa. Baru kali ini mendengar suara tawa pemuda itu, ternyata tawanya terdengar menyejukkan. Wajah sinis dan beku pemuda itu juga berubah tampan.

'Ia seperti pangeran yang sering kuimpikan sejak kecil,' ucap Arina dalam hati.

Meski dirinya tahu tawa itu terkesan mengejek, tetapi tetap saja ia terpesona.

"Nek Silva , dia sama sekali bukan Tuan Putri, aku bahkan sekarang menyesal sudah memungutnya di hutan," ujar Rion.

"Menurutku dia justru sedikit gangguan, dari tadi menanyakan hal-hal aneh. Mungkin karena dia tidak waras jadi keluarganya membuang dia di hutan."

Arina dan wanita itu menatap Rion tajam. Arina seolah tersadar setampan apa pun wajah pemuda itu, semerdu apa suara tawanya, tetap tidak mengubah sifat sinis yang ada padanya.

"Aku memang bukan Tuan Putri, tapi seharusnya kau tidak perlu menghinaku seperti itu!" tukas Arina tidak terima. Kali ini ia memberanikan diri untuk membalas kata-kata Rion. Sudah cukup baginya selama ini untuk bersabar dan menahan diri. Ia tidak pernah suka mencari masalah dengan orang lain, baginya lebih baik menghindar.

'Tapi di sini aku hanya seorang diri. Aku tidak bisa lari menghindar karena aku bahkan tidak tahu aku berada di mana sekarang. Jadi aku harus bisa menangani ini,' ucap Arina dalam hati.

Rion melangkah mendekat dan berdiri persis di hadapan Arina. Tatapan matanya sungguh tajam menusuk. Arina tetap bertahan membalas tatapan itu. Ia tidak ingin tampak lemah meski hatinya bergetar ketakutan.

"Rupanya kau berani membalasku," desis Rion dengan nada mengancam. Ia kemudian meraih tangan gadis itu dan menyeretnya keluar dari pondok.

"Lepaskan aku. Lepaskan!" teriak Arina sambil memukul-mukul lengan pria itu. Akan tetapi, semua seolah tidak berpengaruh pada Rion. Dia tetap saja tidak melepaskan tangan gadis itu.

'Pemuda ini benar-benar kasar. Dia selalu memperlakukan orang seenaknya. Jika aku diam maka dia akan makin menindasku.'

Rion melepaskan tangan Arina sambil setengah mendorong gadis itu.

"Pergi kau dari sini. Terserah kau mau ke mana. Jangan membuat masalah lagi!" serunya.

"Aku tidak membuat masalah!" sahut Arina sambil mengusap pergelangan tangannya yang membekas merah. Terbersit di benaknya, jika pemuda itu tetap saja bersikap kasar, lama-lama pergelangan tangannya akan lepas dari engselnya.

"Justru kau yang selalu mencari gara-gara denganku. Selama ini aku diam karena tidak suka membuat keributan, tapi kau bahkan seenaknya berkata bahwa aku tidak waras. Aku tidak bisa lagi bersabar!" serunya.

"Kau berani membentakku?"

Rion segera mencabut pedang dan menghunus pada gadis itu.

"Kau pasti sudah bosan hidup!"

Tangan Arina tergenggam erat. Wajahnya tetap saja mendongak menatap pemuda yang lebih tinggi darinya itu. Meski jantungnya berdebar keras, ia tetap bertahan agar pemuda itu tahu bahwa ia tidak takut.

Satu-satunya hal yang disesali Arina adalah jika nyawanya kini berakhir di tebasan pedang pemuda itu, maka ia tidak akan pernah kembali. Ia tidak akan bisa bertemu dengan ayah dan ibunya.

"Rion, hentikan!"

Suara itu membuat Arina menarik napas lega. Setidaknya untuk saat ini nyawanya terselamatkan. Jika ia tetap bisa bertahan hidup, mungkin suatu saat nanti dia akan bisa pulang.

Nenek Silva segera bergegas menghampiri diikuti oleh Aldrich dan Erland.

"Apa yang kaulakukan? Beraninya kau menghunus pedang pada Tuan Putri. Apa kau sudah lupa tata krama, seharusnya kau berlutut dan memberi hormat padanya?" tegur perempuan renta itu marah.

"Nek, bukankah sudah kubilang dia itu bukan Tuan Putri? Bahkan mungkin dia adalah mata-mata yang diutus ratu Solandra. Mungkin juga dia sudah membunuh tuan putri yang asli!"

"Rion, apa kamu lupa dengan kata-katamu bahwa dia adalah tanggung jawabku?" tegur Aldrich.

"Apa pun yang terjadi padanya maka harus seijinku. Jika kau ingin membunuhnya, maka aku akan menghalangi dan melawanmu!"

Aldrich kemudian mencabut pedang dari sarungnya. Rion tetap menghunus pedang, tetapi sesaat kemudian dia menurunkannya. Pemuda itu lalu pergi begitu saja.

Nenek Silva kemudian segera mengajak yang lain untuk masuk.

***

"Kamu jangan marah dengan kata-kata Rion. Dia memang tidak mudah percaya dengan orang, selain dirinya sendiri," ucap Aldrich sambil duduk menemani Arina. Mereka kini berada di tangga yang berada di halaman pondok.

"Aku hanya tidak suka dia sembarangan menuduhku," sahut Arina.

"Aku berada di negeri asing yang tidak pernah kudatangi sebelumnya, tapi dia justru tidak menyambutku ramah."

"Bersabarlah, kalian baru saling mengenal. Rion berbeda denganku dan Erland, dia tidak mudah percaya pada orang karena dulu dia pernah dikhianati orang terdekatnya. Karena itu, kau harus memberikan waktu agar dia percaya padamu."

Penuturan Aldrich membuat Arina termenung sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

"Baiklah, aku akan mencoba bersabar padanya, tapi kuharap dia tidak membuat masalah lagi denganku."

"Baguslah," ujar Aldrich sambil mengacak rambut Arina pelan. Arina balas tersenyum sambil menatap Aldrich.

"Aku percaya padamu. Aku yakin kau bisa mengatasi masalah dengan Rion."

Suara dehaman keras terdengar keras.

"Aku merasa jadi pihak ketiga di sini. Mengganggu kemesraan kalian," ucap Erland yang baru saja tiba.

"Baguslah kalau kau sadar diri sebaiknya kau segera masuk ke dalam," ujar Aldrich.

Jawaban Aldrich membuat jantung Arina berdetak lebih cepat.

'Benarkah apa yang dikatakan Aldrich? Apa dia memang menaruh rasa padaku?' ujarnya dalam hati bertanya-tanya. Ia kemudian bangkit berdiri dan bergegas masuk ke dalam pondok.

"Hei, mau ke mana?" tanya Erland.

"Aku baru saja datang, kenapa kau malah pergi?"

"'Kan kau sendiri sudah tahu alasannya," sahut Aldrich.

"Kau adalah pengganggu kami. Dia masuk ke dalam pasti karena dirimu ikut di sini."

Erland bersungut-sungut, dia tidak tahu mengapa jadinya ia yang salah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel