Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

satu

Arina hanyalah seorang gadis biasa. Akan tetapi siapa sangka nasibnya berubah. Dirinya kini berada pada tengah peperangan di dunia asing yang sebelumnya tidak pernah dia tahu keberadaannya.

***

Kehidupan Arina berlangsung seperti biasa. Ke kampus dan sibuk dengan rutinitas kuliah. Mengerjakan tugas-tugas dari dosen. Tidak ada yang istimewa. Terkadang ia merasa bosan. Akan tetapi Arina sadar inilah kehidupan yang dijalani banyak orang. Tidak akan ada yang berubah. Sama seperti yang lain, setelah lulus ia akan bekerja, kemudian menikah, memiliki anak, menjadi tua, dan akhirnya menutup mata untuk selamanya. Itulah yang akan terjadi jika tidak ada tragedi menimpa di tengah perjalanan kehidupan.

Set ... set ... set ....

Sebuah tangan yang berayun cepat mengganggu lamunan Arina. Segera gadis berambut panjang itu menoleh dan menatap kesal pada Cynthia, sahabatnya.

"Pagi-pagi udah ngelamun, kagak baik atuh, Neng," ucapnya.

"Aku hanya merasa bosan saja. Hidup itu seperti rutinitas. Tidak ada kejutan atau sesuatu yang berubah."

"Berubah? Apa yang berubah?"

Arina mengangkat bahu.

"Entahlah, mungkin aku hanya merasa jemu saja."

Cynthia tersenyum.

"Mungkin suatu saat kau akan bersyukur kita menjalani kehidupan yang serba biasa. Bayangkan jika kita hidup di medan perang, mana bisa kita duduk dan mengobrol dengan nyaman seperti sekarang?"

Arina mengangguk sambil ikut tersenyum.

"Kau benar, tapi jangan sok bijak."

Cynthia terbahak hingga keluar air mata. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas berukuran agak besar dari dalam tasnya.

"Daripada bosan, lebih baik ikut denganku menonton mereka," ucapnya sambil mengulurkan kertas tersebut.

"Siapa mereka?" tanya Arina sambil menatap sekilas. Ada tiga pemuda tampan menghias poster. Cynthia kembali tertawa sambil menggeleng mendengar pertanyaan sahabatnya itu.

"Bagaimana hidupmu bisa tidak membosankan? Kau bahkan tidak tahu siapa mereka. Mereka boyband Tristar yang sedang naik daun. Para gadis sekarang tergila-gila pada mereka. Lihatlah sekilas mereka mirip artis Korea," tutur Cynthia dengan nada gemas. Sahabatnya itu terlalu kutu buku, bahkan tidak tahu apa yang sedang populer sekarang.

"Aku tidak tertarik," ucap Arina sambil mengembalikan lembaran poster tersebut. Ia kemudian bergegas bangkit berdiri.

"Hei, setidaknya temani aku!" seru Cynthia. Arina berbalik, menaikkan kacamatanya yang hampir melorot, kemudian menggeleng.

"Sebentar lagi ujian, sebaiknya aku belajar saja," sahutnya.

"Ck," keluh Cynthia, "pantas saja hidupmu membosankan."

***

Arina belajar hingga larut malam. Ia memang dikenal sangat rajin dan berprestasi. Sekilas gadis itu melirik jam berbentuk lingkaran yang tergantung di dinding kamar bercat biru muda tersebut. Jarum jam telah menunjukkan pukul dua belas lewat. Sudah begitu larut. Akan tetapi ia sudah terbiasa belajar hingga menjelang fajar.

'Ada yang aneh. Kenapa tubuhku terasa lelah dan mataku sangat berat? Aku sudah mempelajari semua, sebaiknya mungkin aku beristirahat,' gumam gadis itu dalam hati. Ia akhirnya menyerah, meski tadinya ingin mengulang pelajaran sekali lagi.

Gadis itu kemudian berbaring di ranjangnya yang berseprei biru muda. Tidak lama ia sudah terlelap tanpa menyadari seberkas cahaya keluar dari cermin besar yang menempel di lemari pakaian. Cahaya itu semakin terang dan terang. Sebelum akhirnya menghilang dan Arina sudah tidak ada di atas tempat tidurnya.

***

Sinar mentari pagi yang menembus dedaunan mengganggu tidur Arina. Mata indah itu perlahan mengerjap terbuka. Tercengang bingung dengan situasi di sekelilingnya.

Ia tidak lagi berada di tempat tidurnya, melainkan di sebuah tempat yang menyerupai hutan. Pepohonan tumbuh tinggi di sekelilingnya. Begitu pula aneka tanaman dan rerumputan liar.

Segera ia bangkit berdiri membersihkan daun dan tanah yang menempel di pakaian dan rambutnya. Arina kemudian melihat sekeliling sekali lagi.

'Di mana aku? Kenapa aku bisa berada di sini? Apa mungkin aku diculik?' ucapnya dalam hati.

'Jika tidak, ini pasti hanya mimpi.' Perlahan ditepuknya pipi dengan keras. Gadis itu segera mengaduh kesakitan.

'Ini bukan mimpi, artinya aku memang diculik. Aku harus pergi dari sini.'

Belum sempat Arina melangkah, muncul tiga orang pemuda berbaju zirah. Rambut mereka panjang. Salah seorang di antaranya yang berada di paling depan menghunus pedang di leher Arina. Tubuh gadis itu gemetar seketika dan ia jatuh terduduk.

"Ja-ngan sa-lahkan aku kalau kalian salah menculik orang," ucapnya dengan suara gemetar.

"Hei, hei, Rion, turunkan pedangmu," ujar pemuda yang berdiri di samping kiri. Wajahnya yang imut dan innocent nyaris mirip dengan anak kecil. Ia tersenyum ramah pada Arina. Meski begitu, Arina masih saja ketakutan.

"Tidak akan!" tegas pemuda yang masih menghunus pedang itu. Suaranya nyaris sedingin es. Arina tersuruk mundur. Air mata nyaris berderai di wajahnya. Orang tuanya mungkin tidak bisa membayar para penculik berbaju aneh ini, sehingga ia harus meregang nyawa sekarang.

"Kau tidak lihat dia sangat ketakutan. Bagaimana bisa kau menghunus pedang padanya?" ucap pemuda yang sama lagi.

"Diam kau, Erland, jangan ikut campur!" gertak pemuda di sampingnya itu dengan suara menggelegar.

Erland hanya mengangkat bahu sambil memberi isyarat pada pemuda yang satu lagi.

"Rion, apa kau sudah lupa tentang ramalan tentang kedatangan putri. Bukankah kita kemari untuk mencarinya?"

Mendadak pemuda yang bernama Rion itu terbahak.

"Maksudmu gadis jelek ini sang putri? Tidak mungkin. Dia pasti hanya penipu suruhan ratu yang ingin memperdaya kita."

"Aku ... aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Tapi jangan pernah memanggilku jelek!" seru Arina sambil bangkit berdiri. Ia hanya mencoba bersikap berani karena pemuda bernama Rion itu telah menghinanya.

Rion kembali menghunus pedangnya ke arah Arina. Matanya menatap tajam pada gadis itu.

"Kalian lihat sendiri, dia hanya berpura-pura. Sebaiknya kita bunuh dia sekarang," ucapnya sambil bersiap mengayunkan pedang. Arina menjerit dengan keras. Ia juga memejamkan mata rapat-rapat.

"Jangan membunuhku. Orang tuaku pasti akan membayar kalian. Saat ini mereka pasti mencari pinjaman uang!"

Tidak ada rasa sakit dirasakan Arina.

'Apa aku sudah mati?' ucapnya bertanya-tanya. Perlahan ia membuka mata. Erland tiba-tiba muncul di depannya sambil tersenyum. Gadis itu sampai memekik terkejut.

"Tenanglah, tidak akan ada yang membunuhmu. Aku dan Aldrich tidak akan membiarkannya," ucapnya. Gadis itu kemudian melihat Rion sedang berbicara dengan pemuda satu lagi yang bernama Aldrich.

"Biarkan gadis itu hidup. Kurasa dia bukan mata-mata. Kalau dia memang benar putri, bukankah kau justru melakukan kesalahan besar?" bujuk Aldrich dengan suara kalem. Semua tahu seperti apa Rion. Dingin dan tidak berperasaan. Jika bersikeras, maka Rion akan makin melawan.

"Jika suatu saat dia memang mata-mata , aku akan bertanggung jawab dan membunuh dia dengan tanganku sendiri. Bagaimana?" tanya Aldrich lagi.

"Tidak perlu dipersoalkan," cetus Arina.

"Aku hanya ingin pulang. Aku tidak tahu tentang mata-mata yang kalian bicarakan. Bisakah kalian bermurah hati dan mengantarku pulang?"

Arina melangkah mundur dengan ekspresi kembali ketakutan saat Rion berbalik dan berjalan menghampiri dengan cepat. Dicengkeramnya erat lengan Arina hingga gadis itu mengernyit kesakitan.

"Kau tidak akan pergi ke mana pun. Sekarang kau berada dalam pengawasan kami, jangan harap bisa meloloskan diri!" desisnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel