Chapter 7
Shaila mengerjapkan matanya beberapa kali dan memegangi bantal penghangat yang entah di dapat darimana oleh Alden.
"Kau dapat darimana ?" Bisik Shaila dan Alden berdehem.
Kepala mereka sepertinya berjarak beberapa senti saja. Di posisi mereka saat ini Shaila masih merasakan hembusan napas Alden di belakang kepalanya.
Belum lagi tubuh mereka sedang berhimpitan satu sama lain. Dengan tangan Alden melingkar di pinggangnya.
"Pelayan memberikannya. Katanya itu bisa meredakan nyeri haid. Aku tidak pernah melihatnya tapi aku bawa saja" jelas Alden dengan suara seraknya.
Bukan karena hal lain. Melainkan sepertinya pria itu mulai terdengar mengantuk dengan suaranya yang seperti itu.
"Lebih baik ?" Ucap Alden dan Shaila seperti terhipnotis menganggukkan kepalanya.
Rasa sakit ataupun perasaan aneh seakan menghilang di tubuh Shaila. Berganti dengan rasa merinding dan kupu-kupu di perutnya membuncah.
Posisi mereka saat ini layaknya pasangan. Ehm... Sungguhan. Bukankah posisi seperti ini sangat aneh dan berbahaya.
Tetapi sepertinya pria itu sama sekali tidak terganggu dengan posisi seperti ini. Sedangkan Shaila merasa canggung dengan posisi ini.
Mereka terdiam beberapa saat dalam keheningan. Pikiran Shaila menjelajah kesana kemari. Sedangkan Alden sama sekali tidak terdengar apapun. Atau mungkin pria itu sudah terlelap nyaman.
"Kenapa kau baik denganku ?" Suara Shaila terdengar lirih dan mampu di dengar Alden.
Hal tersebut membuat Alden yang hampir tertidur langsung terbangun. Membuka matanya dan menatap belakang kepala Shaila yang ada di depannya.
"Tidak ada alasan jahat denganmu" ucap Alden yang membuat Shaila menghela napas pelan.
"Tidak ada alasan juga menyekap dan bertekad menghamiliku" ucap Shaila.
Alden terdiam dan merapatkan tubuhnya pada Shaila. Mempererat pelukannya dan masih memegangi bantal hangat yang dibawanya tadi.
"Kau tidak akan paham"
"Itu sangat tidak adil untukku. Aku tidak memiliki salah apapun padamu. Tapi kau memperlakukanku seperti ini"
Untuk pertama kalinya Shaila memprotes Alden secara langsung. Sebelumya Shaila hanya mengumpati dan memaki pria itu dari dalam kamarnya.
Mungkin saja Shaila berani melakukannya karena Shaila saat ini tidak berhadapan langsung dengan Alden. Shaila membelakangi Alden dan hal tersebut tidak membuat Shaila merasa takut dengan wajah Alden.
"Aku tidak menyakitimu Shaila. Kau hanya tidak tau posisiku" jelas Alden lagi dengan posisi yang masih sama.
"Aku tau. Kau ingin aku melahirkan anak untukmu dan Lucas. Tentu saja pria itu tidak bisa hamil" ucap Shaila dengan suara ketusnya.
Alden ingin membuka mulut dan mengatakan sesuatu. Tetapi dering ponsel yang ada di sakunya membuat Alden langsung mengurungkan niatnya.
Beralih mengambil ponsel di sakunya dan melihat panggilan dari siapa yang masih ke ponselnya.
Shaila sempat menoleh dan melirik layar ponsel Alden dan menemukan nama Lucas berada di sana. Tanpa mengatakan apapun Alden menggeser tombol hijau dan mengangkat panggilan tersebut. Membiarkan bantal hangat yang dipakai Shaila tadi terjatuh.
Dengan cepat Shaila membalikkan badannya dan menatap tembok di depannya dalam diam.
"Ya... Kenapa ? Baiklah, iya, baiklah. Aku akan kesana"
Shaila hanya diam saja mendengar sahutan Alden yang terdengar bersahutan dengan suara pelannya.
Alden sempat melirik Shaila yang terlihat diam saja. Sebelum mematikan sambungan telfon. Alden memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya kembali.
"Ehm... Lucas memanggilku. Kau tidurlah" ucap Alden dan mulai beranjak dari ranjang.
Shaila dapat merasakan Alden pergi dari atas kasur karena ranjang bergerak. Beban di kasurpun terkurangi.
Shaila hanya memejamkan mata kala melihat Alden pergi dari kamarnya tanpa mengatakan apapun. Air mata mengalir di sudut mata Shaila.
Datang bulan sialan.
*-*-*
Alden dan Lucas terlihat duduk di kursi makan dan mulai menikmati makanannya. Lucas duduk di samping Alden dengan rambut yang terlihat basah.
Jam menunjukkan pukul 8 pagi dan waktunya untuk sarapan. Sebelum Alden berangkat untuk bekerja.
Suara trolly di dorong membuat Alden menolehkan kepalanya. Lucas juga melakukan hal yang sama dengan tangan yang menyodorkan segelas susu ke mulutnya.
Seorang pelayan kembali dengan trolly makanan yang masih penuh. Seperti posisi yang sama saat di bawa ke kamar Shaila. Pelayan itu yang ditugaskannya untuk mengantarkan sarapan untuk Shaila.
"Shaila tidak mau makan ?" Tanya Alden langsung dan pelayan itu terlihat takut serta gelagapan.
"Nona Shaila mengatakan bahwa Ia mengantuk. Nona Shaila terlihat tidak sehat" ucap pelayan itu yang membuat Alden langsung berdiri dari posisinya
Tetapi tangan Lucas langsung menahannya dan membuat Alden langsung menolehkan kepalanya.
"Kau akan kemana ?" Tanya Lucas langsung yang membuat Alden menghela napas.
"Aku harus menengoknya. Kau lanjutkan makanmu" ucap Alden dan beranjak pergi meninggalkan meja makan.
Setelah sampainya di depan kamar Shaila. Alden mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka kenop pintu.
Ketika pertama kali masuk hal pertama di lihatnya Shaila melongokkan kepalanya dari selimut dengan mata memerahnya.
Alden mengernyitkan keningnya dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa untuk mengunci pintunya kembali.
"Kau sakit ?" Tanya Alden dan Shaila terlihat menggelengkan kepalanya.
Wajah Shaila tiba-tiba memerah menatap kehadiran Alden yang secara tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.
Sebelumnya Alden sama sekali tidak pernah mengunjunginya saat pagi ataupun siang hari. Pria itu selalu mendatanginya ketika malam hari dan membuat Shaila seakan lupa waktu.
Namun sekarang Alden masuk ke dalam kamarnya dengan wajah Shaila yang jauh dari kata baik-baik saja. Belum lagi mata panda yang dimilikinya saat ini
"Tidak" cicit Shaila dengan menarik selimut lebih tinggi di tubuhnya.
Alden mendekat dan mengangkat sebelah alisnya dengan pandangan bertanya pada Shaila. Alden tentu saja tau jika Shaila tidak baik-baik saja saat ini.
Tetapi perempuan itu terlihat kekeh dengan pendiriannya dan masih berusaha menutup tubuhnya. Dengan mata yang terlihat sangat berat.
Otak Alden memprosesnya dengan cepat kala melihat wajah Shaila yang juga memerah. Kedua mata panda dan rambut yang acak-acakan.
"Jangan bilang kau tidak bisa tidur karena kutinggal ?"
Alden hampir saja meledakkan tawanya ketika melihat wajah Shaila yang lebih memerah daripada sebelumnya.
Bahkan Shaila langsung menekan kepalanya ke bantal dan meneguk ludahnya secara kasar. Berusaha mengeluarkan suaranya yang terdengar serak.
"Aku... Tidak" ucap Shaila dan Alden hanya terkekeh pelan.
Sebelum menarik selimut yang membungkus tubuh Shaila. Perempuan itu terlihat membuka mulutnya dan ingin protes.
Tetapi Alden langsung bergerak naik ke atas ranjang dan ikut berbaring dengan Shaila.
"Apa yang kau..." Suara Shaila terhenti ketika Alden mengangkat tangannya dan menarik Shaila untuk merapat ke tubuhnya.
Alden memeluk Shaila. Kali ini dari depan. Membuat Shaila bisa melihat wajah Alden dengan jelas begitupun sebaliknya.
Jangan ditanya bagaimana penampakan wajah Shaila saat ini. Wajahnya benar-benar terlihat memerah belum lagi matanya yang melebar.
"Aku sudah di sini. Jadi kau bisa tidur" ucap Alden yang membuat Shaila langsung gelagapan.
"Aku..."
Alden semakin mengeratkan pelukannya dan membuat kepala Shaila terbenam di dada Alden. Tidak menyakiti dan terasa nyaman serta hangat
"Aku tidak menyuruhmu berbicara. Aku menyuruhmu tidur" ucap Alden dan menepuk punggung Shaila dengan lembut.
Seperti sedang menidurkan bayi kecil yang sedang rewel.
Shaila ingin menolak dan mendorong Alden untuk menjauh. Tetapi matanya terasa berat dan rasa nyata melingkupi tubuhnya
Tanpa sanggup mengatakan apapun. Shaila langsung masuk ke dalam dunia mimpi dan begitu nyenyak.
Alden yang merasakan hal tersebut tertawa pelan dan memeluk Shaila semakin erat. Senyuman terlihat di wajah Alden.
"Aku tau kau sangat berbahaya untukku nantinya, Shaila" bisik Alden dengan mengecup puncak kepala Shaila dengan lembut.
*-*-*
