Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 5 – Sakit

Hari berikutnya, agensi mengumumkan bahwa Pinkpunk akan ikut serta dalam variety show internasional di Jepang. Semua member senang, tapi Dain tampak cemas. Bukan karena jadwalnya, tapi karena ia tahu: semakin besar sorotan, semakin besar risiko.

Dalam penerbangan ke Tokyo, Dain duduk di samping jendela, sementara Kakak duduk di sebelahnya. Tangannya diam-diam meraih tangan Dain di bawah selimut kecil yang diberikan maskapai.

"Kamu takut?" bisik Kakak.

Dain mengangguk pelan. "Iya, Kakak. Aku takut kalau kita harus pura-pura lagi."

"Nggak apa-apa. Kakak di sini. Sepanjang kita jaga satu sama lain, nggak ada yang bisa pisahin kita."

Di hotel, mereka dapat kamar terpisah. Tapi saat malam tiba dan semua member tertidur, Pharita mengetuk pintu kamar Dain dan masuk dengan hati-hati.

Tanpa bicara, ia langsung memeluk Dain dari belakang.

"Aku nggak bisa tidur tanpa kamu."

"Aku juga, Kakak."

Mereka duduk di pinggir ranjang, saling bersandar. Lalu Pharita mencium bahu Dain pelan.

"Besok kita akan syuting seharian. Tapi malam ini... Kakak cuma mau peluk kamu."

Dain mengangguk. Ia menaikkan selimut dan membiarkan Kakak menyelimutinya. Malam itu, mereka tidur dalam satu pelukan hangat, seolah dunia luar tidak pernah ada.

Dan untuk sesaat, mereka percaya bahwa cinta seperti ini bisa bertahan.

Pagi hari itu udara Tokyo begitu dingin, bahkan matahari pun tampak enggan bersinar. Dari balik jendela hotel, gumpalan awan tebal menggantung berat di langit. Di dalam kamar, Dain menggeliat kecil di balik selimut. Tenggorokannya terasa kering, dan tubuhnya lebih berat dari biasanya.

Ia mencoba bangun, namun kepalanya berdenyut hebat. Dunia seolah berputar.

Pintu kamar diketuk pelan.

"Dain? Ini Kakak. Kakak bawain sarapan."

Dain hendak menjawab, tapi suaranya tak keluar. Ia menggenggam selimut lebih erat, tubuhnya menggigil.

Pintu dibuka perlahan, dan Pharita masuk dengan nampan berisi bubur dan teh hangat. Namun begitu melihat wajah pucat Dain, senyumnya langsung hilang.

"Dain?"

Dain memaksa tersenyum. "Pagi... Kakak."

Pharita meletakkan nampan, lalu langsung mendekat dan menempelkan telapak tangannya ke dahi adiknya.

"Astaga... Kamu demam. Panas banget!"

Dain tertawa kecil, namun langsung batuk keras. "Cuma sedikit. Mungkin masuk angin."

"Bukan masuk angin, ini jelas demam tinggi. Kakak panggil manajer dulu."

"Tunggu... jangan dulu. Jangan bikin heboh. Kita ada syuting hari ini, Kakak. Aku nggak mau bikin tim panik."

Pharita menggenggam tangan Dain. "Kamu lebih penting dari jadwal. Kamu sakit, Dain. Kamu harus istirahat."

"Tapi... show itu penting. Kita tampil bareng dua grup besar. Kalau aku nggak ada, orang pasti curiga."

Pharita menatap mata Dain, lalu menghela napas berat. Ia tahu adiknya keras kepala. Ia tahu Dain tak mau terlihat lemah, apalagi di hadapan publik.

"Oke... tapi kamu harus tidur dulu. Kakak akan temani."

Dain mengangguk pelan, lalu memejamkan mata. Pharita duduk di sisi ranjang, mengelus rambut adiknya sambil menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka tahu—lagu yang dulu dinyanyikan Ibu mereka sebelum tidur.

---

Beberapa jam kemudian, Dain terbangun. Samar-samar ia mencium wangi teh dan aroma lavender dari diffuser.

Pharita duduk di lantai, menyandarkan tubuhnya di sisi ranjang, tertidur dengan kepala bersandar di kasur.

Dain mengulurkan tangannya dan menyentuh rambut Kakak.

Pharita terbangun perlahan, lalu menatap Dain dengan lega.

"Kamu bangun. Gimana perasaanmu?"

"Masih berat... Tapi lebih baik dari tadi."

"Demammu masih tinggi. Manajer udah tahu. Tadi Kakak panggil dokter. Kamu perlu istirahat total hari ini."

"Tapi show-nya?"

"Kakak yang bicara ke tim. Mereka ngerti. Nanti waktu segmen kamu, Kakak akan berdiri di posisi kamu. Cuma untuk satu lagu."

Dain menatap Kakak, tersentuh. "Kakak selalu gantiin aku ya... waktu aku nggak kuat."

Pharita tersenyum kecil. Ia bangkit, lalu naik ke ranjang, memeluk Dain dengan lembut dari belakang.

"Kakak akan selalu jadi tempat kamu bersandar. Nggak peduli dunia seperti apa di luar sana."

Dain bersandar pada dada Kakak, merasakan hangat tubuhnya, dan untuk sejenak, rasa sakit itu terlupakan.

---

Sore harinya, semua anggota Pinkpunk sudah bersiap di lokasi syuting. Dain tetap tinggal di hotel, ditemani salah satu staf medis dan dengan pantauan dari Pharita melalui chat.

Di ruang ganti, suasana tegang. Banyak kamera, wartawan, dan fans internasional menunggu.

Salah satu host menyadari bahwa posisi Dain kosong.

"Rora tidak ikut perform hari ini?"

Pharita mengambil mikrofon dan dengan tenang menjawab, "Rora sedang kurang sehat hari ini. Dia sangat ingin tampil, tapi kesehatan adalah prioritas kami. Jadi kami mohon pengertiannya."

Reaksi fans luar biasa mendukung. Banyak yang mendoakan kesembuhan Rora.

Namun di balik ketenangan itu, hati Pharita gelisah. Ia tak bisa fokus, pikirannya terus kembali ke hotel, membayangkan Dain yang terbaring lemah di tempat tidur.

Setelah acara selesai, Pharita langsung berlari keluar, menolak makan malam bersama kru. Ia naik mobil pertama ke hotel dan mengetuk pintu kamar Dain.

Begitu masuk, ia menemukan Dain masih tertidur. Wajahnya lebih segar, meskipun masih pucat.

Pharita duduk di sampingnya, mengelus pipi adiknya.

"Kakak kembali..."

Dain membuka mata pelan. "Kakak... show-nya gimana?"

"Berjalan baik. Tapi rasanya kosong tanpa kamu."

Dain tersenyum. Ia membuka selimut dan memberi ruang. "Peluk aku, Kakak."

Pharita langsung memeluknya erat. Dain menyandarkan kepalanya di bahu Kakak.

"Maaf merepotkan..."

"Kamu nggak pernah merepotkan. Kamu bagian dari Kakak."

Mereka berdiam sejenak, hanya mendengarkan detak jantung masing-masing.

"Kakak?"

"Hm?"

"Kalau suatu saat... kita harus memilih, antara dunia dan kita... Kakak bakal pilih apa?"

Pharita mencium dahi Dain dan menjawab pelan, "Kakak pilih kamu. Selalu."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel