Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 4 – Batas yang Kian Tipis

Langit Seoul malam itu mendung. Lampu kota berpendar temaram dari balik jendela dorm PINKPUNK yang berada di lantai sebelas. Di balik tirai putih, Dain berdiri memandangi gelapnya langit, menggenggam ponsel di tangannya. Sudah sepuluh menit ia membaca ulang pesan Kakak.

"Dain, Kakak mau kamu hati-hati. Tolong jangan terlalu dekat sama siapa pun dulu."

Dain menghela napas.

Ia tahu pesan itu lahir dari rasa sayang, tapi entah kenapa malam ini, ia merasa kembali terkurung. Sejak kejadian foto bersama staf laki-laki beberapa hari lalu, Kakak memang lebih diam. Tidak lagi langsung mengekang seperti sebelumnya, tapi kehadirannya terasa seperti bayangan yang terus mengikuti, tak pernah benar-benar menghilang.

Dain mengetuk-ngetukkan ponsel ke dahinya pelan.

"Apa Kakak nggak pernah percaya kalau aku bisa jaga diri?"

Pintu kamar terbuka pelan. Kakak masuk tanpa suara, rambutnya basah, masih mengenakan hoodie hitam kebesaran yang biasa ia pakai untuk tidur. Pandangannya langsung tertuju pada adiknya yang berdiri di depan jendela.

"Kamu belum tidur?" tanya Kakak pelan.

Dain menoleh. "Belum ngantuk."

Kakak mendekat dan berdiri di sampingnya. Ia juga memandang keluar, lalu berkata, "Langitnya gelap. Kayak mau hujan."

"Iya."

"Dingin?"

"Nggak terlalu."

Sunyi.

"Dain," ujar Kakak akhirnya. "Maaf soal kemarin."

Dain menoleh cepat.

"Maaf karena... Kakak bilang kamu jangan dekat sama siapa pun?"

Kakak mengangguk pelan. "Kakak tahu kamu benci dilarang. Tapi Kakak... nggak tahu cara lain buat ngejaga kamu."

Dain menunduk. Suaranya bergetar. "Aku cuma pengen Kakak percaya. Aku bisa belajar. Aku nggak akan pergi jauh..."

Tiba-tiba, tangan Kakak meraih pinggang Dain, menariknya pelan ke dalam pelukan dari samping. Lalu, seolah tak sanggup menahan, Kakak memeluknya dari belakang, erat.

Dain terkejut. Napasnya tercekat sesaat.

"Kakak..."

"Kakak sayang kamu, Dain. Lebih dari siapa pun. Kadang Kakak takut perasaan ini bikin kamu nggak bisa nafas. Tapi... Kakak juga nggak bisa pura-pura biasa aja kalau kamu dekat sama orang lain."

Pelan-pelan, Dain memegang lengan Kakak yang melingkar di pinggangnya.

"Kalau Kakak terlalu sayang... kenapa Kakak takut buat nunjukkin yang sebenarnya?"

Kakak membenamkan wajahnya di bahu adiknya. Hembusan napasnya hangat menyentuh leher Dain.

"Karena kalau kamu tahu semua... kamu mungkin nggak akan mau deket Kakak lagi."

Dain membalikkan badan pelan, hingga mereka saling berhadapan. Mata mereka bertemu dalam remang. Wajah Kakak penuh keraguan dan luka.

"Aku nggak akan pergi," bisik Dain.

Kakak mengangkat tangan, menyentuh pipi Dain. Ibu jarinya menyapu pelan sudut bibir adiknya yang gemetar. Lalu, tanpa kata, Kakak menunduk dan menyentuh sudut bibir Dain dengan lembut.

Ciuman singkat itu ringan, nyaris seperti embusan udara. Tapi cukup untuk membuat jantung mereka berdegup kencang.

Dain menutup mata, tubuhnya bergetar. Pelan-pelan, ia membalas ciuman itu, sama seperti Pharita di sudut bibir dan kedua pipi kakaknya, masih dalam batas yang hati-hati... dan penuh rasa.

Saat mereka berpisah, napas Kakak sedikit tersengal.

"Dain..."

"Iya, Kakak?"

"Apa kamu juga ngerasain yang sama?"

Dain menatap mata Kakak, lalu mengangguk pelan.

"Iya. Dari lama. Tapi aku takut bilang."

Kakak memeluknya lagi, kali ini lebih erat. Dain menyandarkan wajahnya di dada Kakak, mendengarkan detak jantung yang keras tapi menenangkan. Mereka berdiri seperti itu cukup lama, saling menggenggam di tengah dunia yang mungkin tak akan pernah memahami mereka.

---

Hari berikutnya, suasana dorm lebih cerah. Para member sibuk mempersiapkan pemotretan untuk majalah musim panas. Stylist lalu-lalang, membawakan outfit cerah dan topi jerami.

Dain mengenakan gaun putih simpel, rambutnya dikepang dua. Ia terlihat segar dan manis. Kakak, dengan atasan biru laut dan celana putih, tampil dewasa dan memukau.

Saat sesi foto dimulai, fotografer mengarahkan mereka untuk foto berpasangan. Ketika giliran Dain dan Kakak, suasana langsung berubah.

"Oke, kalian berdiri lebih dekat. Pharita, boleh rangkul pinggang Rora?"

Kakak melirik ke arah Dain. Dain hanya tersenyum kecil, mengangguk. Tanpa ragu, Kakak melingkarkan lengannya di pinggang Dain. Kamera mengabadikan momen itu.

Namun bagi mereka, rasanya lebih dari sekadar sesi foto. Setiap sentuhan terasa nyata.

Setelah sesi, mereka menyelinap ke sudut studio, duduk berdua di kursi panjang dekat jendela.

"Kakak," bisik Dain.

"Hmm?"

"Apa yang kita lakukan... salah?"

Kakak menoleh pelan. "Kalau sayang itu salah... Kakak nggak tahu lagi mana yang benar."

Dain tersenyum lirih. Ia menyandarkan kepala ke bahu Kakak. "Aku nggak mau kehilangan ini."

"Kakak juga."

---

Namun dunia tidak selalu memberi waktu bagi cinta yang diam-diam.

Beberapa hari kemudian, rumor baru menyebar di forum komunitas idol. Ada yang mulai mencurigai kedekatan Rora dan Pharita. Mereka memposting cuplikan video variety show, momen-momen mereka saling tatap dan sentuhan kecil yang dianggap "tidak biasa untuk kakak-adik."

Agensi langsung memanggil mereka berdua.

"Kalian harus jaga jarak dulu di depan kamera. Setidaknya untuk sementara. Fans mulai curiga."

Dain hanya menunduk.

Kakak menatap manajer mereka dengan mata dingin. "Kami akan hati-hati."

Tapi malamnya, di dorm, Dain menangis diam-diam di balkon. Kakak menyusulnya dan memeluknya dari belakang, bibirnya menyentuh pelan bahu Dain.

"Kita akan lewati ini. Kakak janji."

Dain mengangguk pelan dalam pelukan itu. "Aku percaya sama Kakak."

Di bawah langit Seoul yang penuh cahaya, dua hati berusaha saling menjaga.

Meskipun dunia tak pernah benar-benar memberi tempat untuk cinta seperti mereka.

Hari-hari setelah peringatan agensi itu berjalan bagai mimpi buruk yang tenang. Tak ada yang benar-benar berubah secara langsung, namun semuanya terasa tidak sama. Di layar kamera, Pharita dan Dain menjaga jarak. Di variety show, mereka hanya saling senyum sesekali. Tak ada lagi genggaman tangan diam-diam atau tatapan yang terlalu lama.

Namun di balik layar, badai semakin kencang.

Di dorm, saat semua member lain sudah tertidur, Dain duduk memeluk lututnya di pojok tempat tidur. Wajahnya menyembunyikan resah yang tak bisa ditumpahkan ke mana pun. Di layar ponsel, sebuah postingan fanbase bertuliskan:

"Ada yang sadar nggak? Pharita akhir-akhir ini terlalu memperhatikan Rora. Tatapan matanya beda."

Komentar-komentar di bawahnya bercampur. Ada yang menganggap itu hal biasa antara kakak-adik, tapi tak sedikit yang mulai berspekulasi.

Dain menghela napas dan mematikan ponselnya. Saat ia hendak berbaring, pintu kamarnya diketuk pelan. Bukan ketukan keras, tapi seperti kode yang hanya mereka berdua tahu.

"Masuk..."

Pharita muncul, mengenakan piyama longgar warna pastel. Tanpa berkata apa-apa, ia mendekat dan duduk di sisi ranjang.

"Dain... kamu baik-baik saja?"

Dain mengangguk pelan. "Iya... Kakak."

Pharita diam sejenak, lalu mengangkat selimut dan menyelinap masuk, memeluk tubuh adiknya dari belakang. Wajahnya ia benamkan di tengkuk Dain.

"Maaf... Kakak janji kasih kamu sedikit ruang, tapi Kakak nggak tahan lihat kamu kayak gini."

Dain menggenggam tangan Kakak yang melingkari pinggangnya.

"Aku juga nggak tahan. Aku benci pura-pura."

Sunyi sejenak, hanya detak jam dinding yang terdengar. Lalu Dain membalikkan badan, menghadap Kakak. Wajah mereka begitu dekat.

"Kalau kita berhenti pura-pura... Kakak siap nggak?"

Pharita memandang mata Dain dalam-dalam. Ada luka dan kerinduan yang tak bisa ditahan lagi.

"Kakak siap buat apapun... asalkan sama kamu."

Dain menatap bibir Kakak. Dengan ragu, ia mendekat, menyentuhkan kening mereka.

"Cium aku lagi, Kakak..."

Dan Pharita melakukannya. Ciuman itu dalam di sudut bibir dan pipi adiknya, pelan, namun penuh dengan rasa yang selama ini terkunci. Tidak terburu-buru. Tidak ragu.

Saat mereka berpisah, Dain bersandar di dada Kakak, sementara tangan Kakak mengelus punggungnya.

"Aku tahu dunia nggak akan ngerti, Kakak... Tapi aku nggak peduli."

"Kakak juga nggak. Yang Kakak peduliin cuma kamu."

---

Keesokan harinya, jadwal mereka padat. Pinkpunk akan tampil di acara musik besar dan ada segmen interview live. Para member berdandan di ruang tunggu. Pharita tampak kalem seperti biasa, tapi matanya terus mencari Dain.

Dain sendiri tampak sedikit pucat. Ia tak banyak bicara hari itu, lebih banyak duduk di pojok dengan earphone terpasang.

Saat waktu ganti baju tiba, semua member berganti di ruang wardrobe. Pharita melirik ke sudut, dan melihat salah satu dancer laki-laki bicara pada Dain sambil tertawa.

Darahnya langsung naik.

Senyuman Dain memang kecil, tapi cukup untuk membuat dada Kakak bergejolak. Sesuatu yang gelap kembali tumbuh di benaknya. Ia menunggu dancer itu pergi, lalu langsung menghampiri Dain.

"Itu siapa?" bisik Kakak dengan nada tajam, namun ditahan agar tidak terdengar staf.

Dain terkejut. "Cuma dancer, Kakak. Dia cuma nanya soal urutan koreo."

"Tapi kamu ketawa. Kamu senyum ke dia."

Dain menatap Kakak dengan ekspresi terluka. "Kakak... kita udah janji. Kakak bilang mau percaya."

Pharita terdiam, rahangnya mengeras. Ia menggenggam tangan Dain dan menariknya masuk ke ruang wardrobe kecil yang kosong.

Begitu pintu tertutup, Kakak menatapnya tajam.

"Kakak nggak bisa... Kakak nggak bisa lihat kamu kayak tadi. Rasanya... Kakak pengen tarik kamu dan bilang ke semua orang: 'Dia milik aku!'"

"Kakak... aku bukan barang. Aku orang. Dan aku... milik Kakak, tapi bukan untuk dikurung."

Air mata mulai menggenang di mata Dain.

Melihat itu, Pharita langsung melembut. Ia mendekap Dain erat.

"Maaf... Kakak terlalu takut kehilangan kamu. Kakak cuma... overprotective."

"Aku tahu, Kakak. Tapi tolong... jangan biarkan rasa takut itu ngerusak yang kita punya."

Dalam pelukan itu, Pharita mengangguk pelan.

"Mulai sekarang, Kakak akan berjuang buat nggak posesif. Tapi kamu juga janji... jangan senyum sembarangan ke cowok. Kakak cemburu banget."

Dain tertawa kecil sambil menangis. "Baik, Kakak. Aku janji."

Pharita menghapus air mata Dain dengan ibu jarinya. Lalu ia kembali mencium bibir adiknya, lembut dan penuh sayang.

---

Beberapa hari berlalu. Hubungan mereka menjadi lebih matang. Di depan publik, mereka menjaga batas. Tapi di belakang layar, malam-malam mereka dipenuhi percakapan hangat, pelukan hangat, dan ciuman penuh rindu.

Suatu malam, saat hujan turun pelan, Dain duduk di ruang tengah dorm sambil menulis lirik lagu di buku catatannya. Pharita datang dari dapur, membawa dua cangkir teh hangat.

"Kakak bikin teh chamomile. Biar kamu tidur nyenyak malam ini."

"Terima kasih, Kakak."

Pharita duduk di belakang Dain dan memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di bahu adiknya.

"Lirik lagu tentang apa itu?"

"Tentang... seseorang yang mencintai dan menyayangi dengan cara yang berbeda. Tapi makin dia beda, makin besar rasanya."

"Itu tentang Kakak?"

Dain menoleh dan tersenyum kecil. "Mungkin."

Pharita mencium pelipisnya pelan. "Kalau lagunya selesai... Kakak mau denger pertama. Janji."

"Janji, Kakak."

Malam itu, mereka tertidur di sofa, berpelukan, dengan buku lirik di antara mereka.

Dan meskipun dunia mungkin belum siap... hati mereka sudah terlalu dalam untuk mundur.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel