Chapter 6 – Cemburu
Dua hari setelah Dain sembuh dari demamnya, keadaan kembali normal. Pinkpunk melanjutkan jadwal mereka yang padat, dan meskipun Dain terlihat sehat kembali, Pharita masih sering mengawasi adiknya dengan tatapan penuh perhatian.
Hari itu, mereka mengunjungi studio untuk latihan bersama, dan suasana penuh tawa mengisi ruang latihan. Semua member sangat antusias dengan persiapan mereka untuk acara berikutnya.
Di tengah latihan, Dain tertawa lepas, berbicara dengan Yura, salah satu member lain yang selalu ceria dan suka menggoda. Yura mendekatkan wajahnya ke Dain, lalu memberikan lelucon yang membuat Dain tertawa terbahak-bahak.
"Dain, kamu lucu banget kalau ketawa! Kamu harus jadi comedian deh!" ujar Yura, sambil menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Dain.
Dain hanya tersenyum manis, tidak bisa menahan tawa. "Ah, kamu ini, Yura... Masih aja lucu."
Dari kejauhan, Pharita memperhatikan mereka berdua. Matanya sedikit menyempit, dan ada sensasi aneh yang menggelitik di dadanya. Melihat Dain tertawa lepas dengan member lain membuatnya merasa sedikit... cemburu.
Pharita mencoba mengalihkan perhatiannya. Ia terus bergerak mengikuti koreografi, namun setiap kali matanya melirik Dain yang semakin dekat dengan Yura, hatinya terasa sesak.
Setelah latihan selesai, mereka berkumpul di ruang ganti. Dain duduk bersama Yura dan beberapa member lainnya, sambil membicarakan hal-hal sepele tentang jadwal mereka. Tanpa sadar, Dain memiringkan kepalanya ke bahu Yura, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Pharita yang baru keluar dari kamar mandi menatap pemandangan itu dengan ekspresi yang tak bisa disembunyikan. Matanya menggelap sedikit, bibirnya terkatup rapat.
Namun, ia memutuskan untuk tidak mengganggu. Tanpa suara, ia mengambil tas dan berjalan keluar dari ruang ganti.
Dain yang merasa kehadiran Kakaknya menghilang, langsung berdiri dan mencari Pharita. Ia menemukan Kakak sedang berdiri di lorong, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.
"Kakak... Kenapa?"
Pharita menoleh dan tersenyum tipis. "Gak ada, cuma capek."
"Tapi Kakak kelihatan..." Dain terhenti sejenak, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Kakak cemburu?"
Pharita terdiam, lalu mengalihkan pandangannya. "Aku nggak cemburu. Cuma... kalau kamu terlalu dekat sama orang lain, aku jadi nggak tahu tempatku di hidup kamu."
Dain mendekat, meraih tangan Kakak dan menggenggamnya erat. "Kakak... Aku selalu ada untuk Kakak. Kita berdua... saling punya tempat di hidup masing-masing, kan?"
Pharita tersenyum, namun senyum itu lebih mirip senyum pahit. "Iya... kita punya tempat masing-masing."
"Kakak... itu cemburu, kan?" Dain tersenyum lembut, melangkah lebih dekat.
Pharita menghela napas berat, kemudian tertawa kecil. "Iya, mungkin aku cemburu. Tapi Kakak harus belajar untuk nggak terlalu protektif ke kamu. Kita sudah dewasa sekarang."
Dain tertawa pelan, lalu memeluk Kakak dari belakang. "Aku suka kalau Kakak protektif, Kakak. Jangan berubah ya."
Pharita tertawa kecil. "Kamu memang manja."
"Bukan manja, Kakak. Tapi aku nyaman banget kalau Kakak ada di sini, di samping aku."
Pharita menoleh, lalu mencium kening Dain dengan lembut. "Kakak juga nyaman. Tapi aku takut kalau itu malah bikin kita makin susah..."
Dain tersenyum, menyentuh pipi Kakak. "Nggak usah takut, Kak. Kita akan baik-baik saja. Aku akan selalu di sini."
Pharita tersenyum, namun tatapannya tetap serius. "Kakak... akan selalu menjaga kamu."
---
Beberapa hari setelahnya, Dain kembali berlatih dengan semangat. Semua member terlihat semakin dekat, dan Dain semakin bisa menunjukkan dirinya di depan umum. Namun, di balik semua itu, ketegangan kecil antara Pharita dan Dain tetap ada.
Pada suatu malam, setelah latihan berakhir, seluruh member Pinkpunk berkumpul untuk makan malam bersama. Ada banyak tawa dan ceria di meja makan, namun Pharita lebih sering memandang Dain, yang sedang asyik mengobrol dengan Yura.
"Dain, kalau kamu jadi pacarku, pasti seru deh!" ujar Yura, menggoda seperti biasa.
Dain tertawa, menepuk pundak Yura. "Kamu ini..."
Pharita mendengus pelan. "Kamu terlalu dekat sama dia."
Dain yang merasa Kakaknya memperhatikan, langsung menoleh. "Eh, Kakak... kenapa?"
Pharita membuang muka, berusaha terlihat tenang. "Aku cuma pikir... kamu lebih sering ngobrol sama dia akhir-akhir ini."
Dain menatap Kakaknya dengan bingung, lalu tersenyum manis. "Kak, jangan cemburu. Yura itu teman, cuma teman. Aku nggak ada apa-apa dengan dia."
Pharita mengangguk, meski hatinya masih terasa tidak nyaman. Ia melihat Yura dan Dain tertawa bersama, dan ada sesuatu yang menyakitkan di dadanya.
Namun ia tahu, bahwa ini adalah bagian dari proses mereka berdua. Mereka tak bisa terus-terusan seperti ini, terjebak dalam rasa takut yang tak terucapkan.
Saat makan malam selesai, mereka kembali ke dorm. Pharita langsung mengajak Dain berbicara di kamar.
"Dain... Kamu benar-benar nggak ada apa-apa sama Yura kan?"
Dain menatap Kakaknya dengan serius. "Aku janji, Kak. Kamu yang selalu di hatiku."
Pharita tersenyum lembut, tapi tetap ada keraguan di matanya. "Kakak cuma... nggak bisa lihat kamu terlalu dekat sama orang lain. Rasanya... aku takut."
Dain mengangguk, lalu memeluk Kakaknya dengan erat. "Aku ngerti, Kak. Tapi kamu harus percaya sama aku. Kamu tempatku, Kak. Dan kamu akan selalu jadi satu-satunya untuk aku."
Pharita memeluk Dain balik, merasa sedikit lebih tenang. "Aku tahu... Aku akan belajar."
Malam itu, mereka tidur berdampingan, saling berpelukan, meskipun ketegangan antara keduanya belum sepenuhnya hilang.
Namun Dain tahu, bahwa apa yang mereka miliki jauh lebih kuat dari rasa cemburu atau keraguan apapun.
Setelah beberapa minggu berlalu sejak perbincangan mereka yang penuh ketegangan, hubungan antara Pharita dan Dain terlihat lebih tenang. Namun, tidak ada yang tahu bahwa ketegangan itu masih tersimpan rapat di dalam hati Pharita, menyelinap di antara tawa mereka yang tampak ceria dan kebersamaan yang tak terpisahkan.
Pagi itu, langit Tokyo cerah meskipun masih terasa sedikit dingin. Semua member Pinkpunk berkumpul untuk latihan rutin di studio, dan suasana penuh semangat mengisi udara. Dain, yang sekarang lebih sehat, terlihat lebih ceria dan energik, senyumnya yang manis selalu mampu mencuri perhatian orang di sekitarnya. Namun, itu bukan hal yang menyenangkan bagi Pharita. Setiap kali Dain tersenyum lepas dan berbicara dengan member lain, hatinya tiba-tiba dipenuhi rasa cemas yang tak bisa ia jelaskan.
Pharita mengamati Dain yang sedang tertawa bersama Yura dan Sora. Mereka tampak begitu dekat, berbicara dengan akrab seolah tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Ketiganya, tertawa lepas dengan obrolan ringan yang hanya bisa dipahami oleh mereka. Pharita memutar matanya, berusaha fokus pada latihan, tetapi perasaan aneh itu kembali muncul. Cemburu. Tidak hanya kepada Yura, tetapi kepada siapapun yang bisa membuat Dain tersenyum seperti itu—terutama jika itu bukan dirinya.
Dain, yang tidak sadar akan pandangan gelisah Kakaknya, terus melanjutkan obrolannya dengan Yura, yang seperti biasa, menggoda Dain tanpa henti. Dain tertawa, matanya berbinar-binar, tanpa sedikit pun khawatir bahwa ada seseorang yang merasa cemas di sekelilingnya.
Pharita menundukkan kepalanya, menyembunyikan tatapan tajamnya. Mengapa perasaan ini begitu sulit untuk dihadapi? Mengapa setiap kali Dain berbicara dengan member lain, hatinya seperti terkoyak? Dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, namun seiring berjalannya waktu, perasaan itu justru semakin membesar.
Ketika latihan selesai, semua anggota langsung menuju ruang ganti. Dain, yang baru saja menyelesaikan latihan vokalnya, tampak asyik berbicara dengan Sora. Mereka berjalan berdampingan, bercakap-cakap tentang berbagai hal sepele tentang makanan atau kegiatan yang akan mereka lakukan setelah latihan. Pharita yang sudah berdiri di depan pintu ruang ganti menunggu, menatap Dain dengan pandangan yang tak bisa dia sembunyikan. Matanya mengikuti setiap gerakan adiknya, merasa sesuatu yang menggelitik di dalam dadanya.
"Hei, Kakak, kita pulang dulu ya," seru Dain sambil melambaikan tangan ke arah Pharita yang berdiri di sana.
Pharita hanya mengangguk, berusaha tetap tenang. "Iya, ayo. Ayo cepat, kita nggak boleh terlambat untuk jadwal berikutnya."
Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ketika Dain berjalan menuju mobil dengan Sora di sampingnya, Pharita merasa sedikit cemas. Mereka berbicara terlalu dekat, dan tertawa bersama seolah tidak ada yang mengganggu mereka. Sebuah rasa tidak nyaman menyelinap ke dalam dirinya.
Perjalanan ke dorm terasa lebih lama dari biasanya, dan Pharita merasa gelisah sepanjang waktu. Ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Dain yang sedang tertawa dengan Sora di kursi belakang. Momen-momen seperti itu membuatnya merasa semakin jauh. Dain semakin dewasa, semakin mandiri, dan Pharita merasa takut kehilangan kendali.
Sesampainya di dorm, mereka semua langsung menuju ruang tengah, dan Dain yang baru saja turun dari mobil, tanpa sadar memeluk Sora dengan hangat. "Makasih ya udah nemenin aku tadi di mobil, Sora," ucap Dain dengan senyum cerahnya.
Pharita yang melihat itu, merasa ada sesuatu yang menancap di dadanya. Rasa cemburu itu tidak bisa ditahan lagi. Melihat Dain memeluk Sora seolah itu hal yang biasa membuat Pharita merasa seperti ada yang salah. Mengapa dia begitu dekat dengan orang lain? Mengapa dia bisa begitu mudah memberi perhatian lebih kepada orang lain selain dirinya?
Saat itu juga, Pharita tanpa berkata apapun berjalan menuju kamar mereka. Dain yang melihat Kakaknya pergi dengan langkah cepat, sedikit terkejut. Ia berlari mengejar, namun Pharita sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan keras.
Dain berdiri terdiam sejenak di depan pintu kamar Kakaknya. Hatinya berdebar. Apa yang terjadi? Mengapa Kakaknya terlihat marah? Tidak, itu bukan marah, itu lebih seperti... cemburu.
Dain mengetuk pintu kamar dengan pelan. "Kak, Kakak? Ada apa? Kenapa Kakak kelihatan nggak suka tadi?" tanyanya khawatir.
Di dalam kamar, Pharita memalingkan wajahnya dari jendela. Pandangannya kosong, tapi hatinya bergejolak. Ia tidak ingin melibatkan Dain dalam perasaannya, tetapi perasaan itu semakin kuat. Cemburu yang semakin tak tertahankan. Ia merasa takut jika Dain semakin menjauh darinya, terjerat oleh perhatian orang lain, tanpa menyadari betapa pentingnya dirinya dalam hidup Dain.
Pharita menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. “Aku... aku nggak suka kalau kamu terlalu dekat dengan orang lain, Dain. Aku takut... kamu nggak membutuhkan aku lagi.”
Dain terdiam sejenak, menyadari bahwa Kakaknya tidak hanya cemburu, tetapi juga takut kehilangan. Dain merasa hatinya terguncang mendengar kata-kata itu. Seharusnya ia menyadari lebih awal bahwa ada sesuatu yang tak biasa dalam sikap Kakaknya belakangan ini.
Dain membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Dengan hati-hati, ia berjalan mendekat dan berdiri di belakang Pharita, lalu meraih pinggang Kakaknya dengan lembut. "Kak, kamu nggak akan kehilangan aku. Aku akan selalu ada untuk Kakak. Aku nggak peduli siapa yang ada di sekitar aku. Kamu selalu di hati aku."
Pharita yang merasa sentuhan Dain di punggungnya, menggigit bibirnya untuk menahan emosi yang hampir tumpah. "Tapi kamu semakin jauh, Dain. Kamu lebih sering tertawa dengan mereka, dan aku merasa seperti orang asing dalam hidupmu."
Dain membalikkan tubuh Pharita dengan lembut dan memandang mata Kakaknya dengan penuh kasih. "Kak, aku nggak bisa selalu ada untukmu seperti dulu. Tapi itu bukan berarti aku nggak butuh kamu. Kakak itu segalanya buat aku."
Pharita menatap Dain, mata mereka bertemu dalam keheningan yang panjang. Di saat itu, hati Pharita terasa lebih ringan. Namun, masih ada rasa cemas yang mengganjal. Rasa takut kehilangan, rasa takut jika Dain tidak membutuhkan dirinya lagi.
Tanpa berkata apa-apa, Dain menarik Pharita ke dalam pelukannya. Memeluknya erat, seolah ingin menyampaikan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Kakak... Kamu nggak perlu takut. Aku janji, kita akan selalu bersama."
Pharita memeluk Dain balik, merasakan kehangatan tubuh adiknya yang menenangkan. Untuk beberapa detik, mereka berdua hanya terdiam dalam pelukan itu, merasakan detak jantung masing-masing. Dalam keheningan itu, perasaan cemburu yang semula membara perlahan mereda, meskipun masih ada bayang-bayang rasa takut yang belum sepenuhnya hilang.
Dain melepaskan pelukannya dan memandang Kakaknya dengan senyum manis. "Kakak, aku janji nggak akan pernah membuat Kakak merasa sendiri. Kita berdua selalu bersama."
Pharita menatap Dain, menatap mata adiknya dengan penuh ketulusan. Dalam hati, dia tahu bahwa meskipun ada ketegangan dan keraguan, ada satu hal yang tak bisa diubah—betapa pentingnya Dain dalam hidupnya. Tidak ada yang akan menggantikan tempat Dain di hatinya.
Dain tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Pharita merasa sedikit lebih tenang.
