

Chapter 3 – Saat Kakak Belajar Melepas
Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, matahari pagi menembus tirai tipis dorm PINKPUNK, memandikan ruangan dengan cahaya keemasan. Dain menggeliat kecil di atas kasur, matanya perlahan terbuka. Di seberangnya, Pharita masih tertidur, wajahnya tenang dan damai—sangat berbeda dari ekspresi tajamnya saat di atas panggung.
Dain memperhatikan Pharita dalam diam. Dalam tidur, Pharita tampak lebih muda, lebih rapuh. Seolah topeng dewasa yang selama ini ia kenakan sebagai kakak yang selalu tahu segalanya… mengelupas.
Seulas senyum terbit di bibir Dain.
“Kakak...” bisiknya, lembut.
Tak lama kemudian, alarm dari ponsel Yubi berdering di kamar sebelah. Kakak mengerjapkan mata, pelan-pelan membuka kelopak matanya.
“Kamu udah bangun?” gumamnya setengah sadar.
Dain mengangguk. “Iya. Kakak tidur nyenyak?”
“Hmm... lumayan.” Pharita duduk perlahan, menguap kecil, lalu menatap adiknya. “Kamu juga?"
“Iya. Mimpi indah.”
“Bagus,” kata Kakak sambil mengusap kepala Dain, lalu turun dari ranjang. “Hari ini kamu bebas, kan?”
Dain mengangguk semangat. “Cuma ada siaran radio sore. Pagi sama siang kosong!”
Pharita tersenyum. “Kalau gitu, kamu boleh pergi jalan-jalan. Tapi... jangan sendiri.”
Dain menatap sang Kakak, terkejut. Biasanya sang Kakak tidak akan mengizinkan hal seperti itu tanpa pengawasan.
“Serius, Kakak?” tanyanya pelan.
Pharita mengangguk. “Iya. Kakak janji akan coba kasih kamu ruang. Asal kamu tetap kabarin Kakak tiap dua jam.”
Dain tertawa kecil dan langsung melompat dari tempat tidur, memeluk Kakak erat.
“Terima kasih, Kakak!”
Pharita membalas pelukan itu, mengusap punggung Dain lembut. “Jangan bikin Kakak khawatir.”
“Enggak akan,” jawab Dain penuh semangat.
---
Siang itu, Dain pergi dengan Yubi dan salah satu staf untuk mengunjungi toko buku kecil di dekat sungai Han. Ia mengenakan hoodie abu-abu dengan masker dan topi, cukup samar untuk tidak dikenali fans. Sementara itu, Kakak tetap di dorm, duduk di balkon, menatap langit biru sambil menyeruput teh.
Ini pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir ia membiarkan Dain pergi tanpa dirinya.
Perasaan cemas masih menyelinap, tapi Pharita mencoba menahannya. Ia ingin percaya bahwa Dain bisa menjaga diri. Bahwa Dain bisa belajar tumbuh.
Namun jam berdetak lambat.
Pharita memeriksa ponselnya setiap lima menit, walau tidak ada pesan baru. Ketika akhirnya ponsel itu bergetar, Pharita langsung membuka pesan dari Dain:
[Dain: Kakak! Aku beli novel yang kamu suka itu! :) Aku juga makan tteokbokki! Nanti sore langsung ke radio ya ^^]
Pharita menghela napas lega.
Namun tak lama setelah itu, salah satu anggota, Lia, berteriak dari ruang tengah.
“Eh, kalian lihat akun Twitter fansite ini belum? Ada yang ambil foto Rora bareng cowok di pinggir sungai!”
Pharita membeku.
Langkahnya cepat menuju ruang tengah. Ia menatap layar ponsel Lia, yang memperlihatkan cuitan dari fansite lokal:
“Maknae PINKPUNK, Rora, tertangkap sedang bersama seorang pria misterius di daerah Sungai Han siang ini. Siapa dia?”
Foto itu buram, tapi jelas terlihat siluet Dain—dan seorang staf laki-laki yang memang ikut menemani.
Pharita menggenggam ponselnya erat.
---
Dain kembali ke dorm sekitar pukul empat sore. Wajahnya cerah, membawa kantong buku dan beberapa snack. Namun senyum itu memudar begitu melihat sang kakak sudah menunggunya di ruang makan, duduk diam dengan tangan terlipat.
“Dain,” suara Kakak terdengar datar. “Kamu tahu soal foto itu?”
Dain menelan ludah. “Foto... yang di Twitter itu?”
“Ya.”
“Itu salah paham. Yang bareng aku itu Oppa staf yang nemenin kita. Dia bantu ambil foto buku... bukan apa-apa.”
Kakak mengangguk pelan. “Kamu udah tahu konsekuensi jadi idol, kan?”
“Iya. Tapi aku juga nggak bisa nyalahin fans kalau mereka ngambil foto dari jauh dan salah sangka.”
“Kamu senyum ke dia,” suara Kakak terdengar lebih berat.
“Dia bercanda soal buku yang mirip judul lagu kita, jadi aku ketawa.”
Kakak berdiri.
“Cuma itu aja?” tanyanya.
Dain menatap Kakak, bibirnya bergetar sedikit.
“Kakak... kenapa nadanya kayak gini lagi?”
Pharita menunduk, mencoba mengatur napas.
“Kakak cuma... nggak mau kamu disakiti. Atau disalahpahami. Dunia luar nggak akan peduli kamu polos atau enggak. Mereka akan bikin cerita sendiri.”
Dain melangkah pelan, mendekat.
“Kakak...” bisiknya sambil meraih tangan Pharita. “Aku baik-baik saja.”
Tapi Pharita menatap adiknya tajam, dan tiba-tiba menarik tubuh Dain ke pelukannya. Dekapan itu erat—sangat erat—hingga Dain bisa merasakan detak jantung Kakak yang tidak stabil.
“Kakak takut,” gumam Kakak akhirnya. “Kakak takut kehilangan kamu. Kamu adalah orang yang paling berharga dan sangat kakak sayangi, melebihi sayang kakak ke diri sendiri.”
Dain membalas pelukan itu, kini tubuhnya tenggelam dalam dekapan sang Kakak. Tangannya melingkar di pinggang Pharita, matanya mulai basah.
“Aku juga sayang Kakak... Tapi jangan sampai rasa sayang itu bikin aku ngerasa sendirian, Kak."
Kakak tidak menjawab. Ia hanya menarik Dain lebih dekat, lalu menuntunnya duduk di sofa. Dain setengah terbaring, dan Kakak membiarkannya merebah di pangkuannya. Tangan Pharita mengusap rambut Dain perlahan.
“Mau Kakak nyanyiin lagu tidur?” tanya Kakak pelan.
Dain mengangguk kecil. “Iya…”
Dengan suara lirih, Kakak menyenandungkan potongan lagu lullaby lama yang dulu sering ia nyanyikan untuk Dain saat masih kecil. Suaranya hangat, sedikit serak, penuh kasih.
Dain menatap wajah Kakak dari pangkuannya. Air matanya jatuh, bukan karena sedih, tapi karena perasaan yang terlalu banyak: cinta, syukur, dan luka kecil yang samar.
“Kalau Kakak terus kayak gini, nanti aku manja banget,” ucap Dain sambil tertawa kecil.
“Biar aja. Kakak suka Dain yang manja,” jawab Kakak sembari mengecup pelipis adiknya dengan lembut.
---
Malam itu, mereka tertidur di sofa ruang tengah—Dain masih dalam pangkuan Kakak, selimut tipis menyelimuti mereka berdua. Lampu dimatikan, hanya cahaya dari luar jendela yang menemani.
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, tidak ada rasa marah. Tidak ada ketegangan.
Yang ada hanyalah dua saudara yang saling menggenggam erat… mencoba memahami cinta mereka dalam dunia yang terlalu gemerlap dan penuh tekanan.
Tapi di balik pelukan hangat itu, jauh di dalam hati Kakak, rasa takut itu belum sepenuhnya pergi.
