Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5

askara menjalani hari-harinya seperti biasa. Pergi ke kantor dengan segunung berkas yang sudah menunggu, dua hari kemarin yang ia habiskan bersama Alana cukup untuk membuatnya kembali beremangat.

Ternyata Alana memang sangat penurut, hanya dengan sedikit gertakan gadis itu langsung mengikuti semua ucapan Baskara.

Bibir Baskara terangkat ketika mengingat wajah polos Alana yang sekarang sudah tidak sepolos itu. Ia tidak bisa melupakan bagaimana gadis itu mati-matian menahan pelepasannya karena Baskara belum mengizinkan. Seiring berjalannya waktu Alana pasti akan jadi mainan yang sangat menyenangkan.

Baiklah, seperti Baskara harus fokus kembali karena kalau ia berlama-lama memikirkan gadis itu malah membuat sesuatu terbangun dan mengacaukan harinya nanti.

***

"Lo dua hari kemarin kemana, gila? Bokap nyokap lo teleponin gue." Jennie langsung menanyakan hal itu saat bertemu dengan Alana. Bagaimana tidak? Dua hari kemarin kedua orang tua Alana panik karena ponselnya tidak bisa dihubungi dan Alana tidak tau ada dimana.

Alana menghembuskan napas. "Sorry ya, kemarin gue ada urusan terus ponsel gue mati total." ucapnya.

Mata Jennie memicing mendengar ucapan Alana. "Urusan apa?"

"Gue kerja. Part time, ngurusin anak orang gitu." Entah ide darimana tiba-tiba Alana mengatakan hal random tersebut.

Raut penasaran Jennie langsung berubah menjadi bersahabat lagi. "Serius? Terus lo betah? Gajinya?"

"Ya lumayan lah gajinya. So far sih gue betah-betah aja."

Satu kebohongan pasti akan menimbulkan kebohongan lainnya. Alana sudah menumpuk banyak kebohongan hanya untuk menutupi satu perbuatannya.

Jennie langsung memeluk bahu Alana. "Congrats, bagus deh nanti kan jadi bisa nongkrong-nongkrong cantik kita." Katanya bersemangat.

Alana ikut tersenyum. "Siap deh."

Selama di kelas, Alana tidak bisa fokus sama sekali. Ia masih memikirkan dua hari yang ia habiskan kemarin bersama Baskara. Alana seperti bukan dirinya sendiri kemarin, ia tidak mengenali sosok itu.

Untuk pertama kalinya Alana tidak ingin weekend cepat-cepat hadir. Karena sebelum Baskara mengantarnya pulang, lelaki itu mengatakan punya kejutan untuknya saat mereka bertemu lagi. Alana yakin itu bukan kejutan seperti seharusnya.

"Nanti kita langsung kerkom ya, Al, di rumah gue."

"Hah?"

Jennie memandang Alana penuh curiga. "Lo kenapa sih? Kok gak fokus banget daritadi?"

Alana gelagapan. Ia memang tidak bisa fokus saat pikirannya masih terjebak di tempat lain. "Eng...sorry deh. Gue lagi gak fit soalnya."

Padahal hari ini Alana ingin cepat-cepat pulang dan mengistirahatkan pikirannya, tapi seperti semesta memang sedang bermusuhan dengan dirinya.

Langit sudah gelap dan Alana masih berkutat dengan tugas kelompoknya yang tiada akhir. Meski berisi tiga orang anggota, Alana tetap menjadi satu-satunya yang bersusah payah mencari materi. Jennie sebagai tuan rumah menjalankan tugasnya dengan baik, gadis itu selalu membawa cemilan baru setiap satu jam sekali. Sedangkan Erza siap mengedit dan mengeprint tugas mereka nantinya.

"Gue lanjut nanti deh di rumah, ngantuk banget. Gapapa ya?" Akhirnya Alana menyerah karena otaknya benar-benar buntu dan enggan untuk bekerja dengan baik.

Jennie menatap Alana lekat, ia benar-benar merasa curiga dengan sikap Alana hari ini. Seperti ada yang gadis itu sembunyikan darinya. "Everything is okay?" tanyanya.

Alana tersenyum dan mengangguk. "Yeah, gue cuman lagi gak fit aja sih. Gue duluan yah?"

"Yaudah ayuk gue anterin." Erza langsung menyambar ucapan Alana. Sontak gadis itu menoleh ke arahnya, "Eh gak usah! Gue naik ojol kok. Bener deh--"

"Udah ama Erza aja, Al, katanya lo gak enak badan kok malah angin-anginan." Timpal Jennie yang semakin membuat Alana tidak bisa menolak tawaran Erza tersebut.

Suasana di mobil Erza begitu hening, Alana mengunci mulutnya rapat-rapat karena tidak tau harus membicarakan apa.

"Ngomong dong, Al."

Alana menoleh ke arah Erza. "Ngomong apa ya? Hehehe." katanya canggung.

Erza tersenyum. "Lo tuh gak berubah ya, Al."

Tolong semoga jalanan tidak macet dan Alana bisa menghindari perbincangan ini. Bukan tanpa alasan Alana menghindar, tapi hubungannya dengan Erza berujung tidak baik karena kedua orang tua lelaki itu yang tidak menyukainya.

"Ya kan gue bukan power rangers, Za." Sahut Alana singkat.

"Hahaha iya sih, tapi perasaan gue juga belum berubah kok."

Mata Alana membulat sempurna saat melihat mobil dengan plat nomor yang ia kenal. "Za, berenti sini aja." Ucapnya panik.

Erza langsung menoleh ke arah Alana bingung. "Hah kenapa?"

"Gapapa. Rumah gue sempit depannya, berenti sini buru." Karena melihat Alana yang panik, Erza langsung menghentikan mobilnya.

Alana bergegas keluar mobil Erza sampai lupa mengucapkan terima kasih, ia terlalu panik saat melihat mobil Baskara ada di depan rumahnya.

Jantungnya semakin berdebar saat melihat Baskara dengan wajah yang mengerikan berdiri di depan pintu rumahnya.

"Pak..." Suara Alana bergetar saat mengucapkan satu kata tersebut.

"Oh udah pulang?" Pertanyaan itu sama sekali tidak terdengar ramah di telinga Alana, suasana mendadak mencekam karena hal ini.

Alana mengangguk. "Iya, soalnta tadi saya kerkom, Pak. Jadi pulangnya tel--"

"Saya kasih kamu ponsel untuk balas pesan saya, bukan untuk diabaikan."

"I-iya tadi saya gak pegang ponsel. Ada apa ya, Pak?" Haduh Alana merasa menyesal menanyakan hal tersebut, apalagi ketika menyadari raut wajah Baskara yang semakin mengeras karena pertanyaan itu.

Baskara bersidekap. "Jadi saya gak boleh masuk ke rumah kamu? Berdiri aja disini?"

Alana langsung mencari kunci rumahnya dari dalam tas dan membukakan pintu untuk Baskara.

Baru beberapa hari mengenal Baskara, tapi Alana selalu merasa takut setiap berada di dekat lelaki itu. Bukan hanya karena mereka terikat suatu perjanjian, tapi memang aura Baskara sangat mengintimidasi.

"Kamar kamu mana?"

"Kamar saya diatas, Pak Bas mau ke atas?"

"Menurut kamu?"

Lagi-lagi Alana menayakan pertanyaan yang tidak berbobot, ia dengan cepat melangkahkan kakinya menaiki anak tangga dengan Baskara di belakangnya.

Baskara memperhatikan setiap sudut rumah Alana, rapih meskipun kecil. Baskara engap dengan rumah mini seperti ini. Ia akan segera membelikan Alana rumah yang lebih layak deh ke depannya.

"Ini kamar saya." Kata Alana, ia membukakan pintu untuk Baskara.

Baskara yakin, kamar mandinya jauh lebih luar dari kamar Alana. Tapi ada yang menarik perhatian Baskara, yaitu piala, medali dan berbagai macam piagam yang tersusun rapih.

Ternyata Alana memang seorang gadis yang cerdas, mata Baskara menatap berbagai macam penghargaan untuk Alana secara detail. Entah kenapa ada rasa bangga ketika ia melihat semua itu.

"Kamu waktu sekolah privat dimana?" Tanya Baskara.

"Saya gak ngeles, belajar sendiri."

Baskara manggut-manggut, ohya gara-gara semua penghargaan ini ia jadi lupa tujuan awalnya ke rumah Alana.

"Kamu bersih-bersih dulu, gih." Alana menatap Baskara bingung, tapi sedetik kemudian ia mengendus ketiaknya. "Saya bau ketek ya, Pak?"

Baskara tertawa, ekspresi Alana saat bertanya tadi sangat menggemaskan. "Enggak. Kamu kusut banget, biar seger aja."

Alana mengangguk. "Yaudah saya mandi dulu ya?"

"Saya ikut ya?" Lagi-lagi Baskara tertawa karena wajah Alana yang kaget. "Becanda."

Ini adalah mandi tercepat selama 21 tahun Alana hidup, ia hanya membutuhkan waktu lima menit.

Baskara kaget ketika sudah melihat Alana yang kembali dengan tampilan lebih segar. "Kamu cepet banget mandinya?"

Alana tertawa kaku. "Iya."

Astaga, Baskara benar-benar kesal dengan pikirannya sendiri. Ini pertama kalinya ia menghampiri perempuan, bukan karena Alana istimewa tapi memang ini bagian dari perjanjian mereka.

"Kamu cantik.." Alana masih mengatur napasnya yang tersengal, ternyata meski bukan weekend ia tetap dibawah perintah Baskara. Tujuannya kesini semata-mata memang hanya untuk melampiaskan nafsunya saja, tapi memang itu kan tugas Alana?

Rasanya Alana ingin pingsan, Baskara pasti sering berolahraga karena ia mempunyai stamina yang sangat kuat. Alana tidak tahu berapa jam ia menghabiskan waktu di ranjang ini bersama Baskara.

Jemari Baskara merapihkan rambut Alana yang berantakan karena kegiatan mereka barusan. "I'm so proud of you. You are such a good girl."

Alana mengangguk tanpa mengucapkan kata, ia benar-benar lelah sekarang.

"Kamu punya potensi besar untuk jadi orang sukses. But sometimes, banyak orang-orang pintar di luar sana seperti kamu gak diberkahi dengan ekonomi yang baik. Kamu gak boleh gitu ya, Al, live your dreams."

Wow, apa-apaan ini? Jadi sekarang Baskara membahas masa depan setelah berhubungan seks?

"Iya, Pak."

Baskara terkekeh. "Jangan panggil, Pak, dong. I'm not that old."

"Terus?"

"You can call my name, atau mau yg kekinian?"

"Ya?"

"Daddy."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel