Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Baskara sudah bangun terlebih dahulu, ia terbiasa bangun pagi-pagi tidak peduli selarut apapun ia terlelap.

Pagi ini Baskara sedang menunggu kedatangan Devan, seperti janjinya kepada Alana ia akan menanggung biaya pendidikan S2 gadis itu makanya Devan akan datang sambil membawakan brosur kampus-kampus terbaik yang akan Alana pilih.

Ngomong-ngomong tentang Alana, gadis muda itu masih terlelap seperti beruang. Ia tertidur dengan sangat lelap karena kegiatan mereka  yang sangat melelahkan semalam.

Akhirnya Devan hadir dengan wajah cemberut. "Gila lo ya, gue suruh nyari ginian di hari sabtu. Kampus pada libur kali!" sungutnya.

Baskara menyesap kopinya sebelum menyahuti ucapan Devan. "Ya kan memang tugas lo membantu gue, Dev. I pay you for that." katanya.

"Yayaya bos. Sekarang gue tanya, mana tuh bocah yang bikin gue ribet nyari brosur?"

"Tidur. Kecapean kayaknya." Kata Baskara dengan seringai penuh arti.

Devan berdecak, mengerti akan maksud ucapan lelaki itu. "Gimana kasih tau gue dong? Kayak cewek-cewek yang biasa lo rasain atau?"

Dasar kepo, jika Devan bukan sahabatnya ia pasti akan meninju wajah ngeselin itu saat ini. "Like other virgin girls i've been meet. But she look scared."

"Of course! Lo gila, baru ketemu beberapa hari udah nawarin hal yang enggak-enggak!"

Baskara terkekeh, tapi kali ini dirinya memang sedikit gila sih. Sebelumnya ia tidak pernah senekat dan secepat ini dalam mengambil keputusan. Atau mungkin Baskara hanya sedang bosan saja?

"Kayaknya untuk kali ini gue memang rada konyol." Sahut Baskara.

Devan menyahuti. "Bukan rada tapi emang konyol! Gila lo, Bas, gue aja kaget loh sama tindakan lo ini."

"Yeah, but everything is fine right now. Alana juga nanti akan terbiasa sama semua ini."

Daripada berlama-lama di kediaman Baskara, Devan lebih baik pulang untuk main game atau sekedar rebahan dihari liburnya ini. "Yaudah lo nikmatin deh sono, gue balik ya!"

Baskara mengacungi jempolnya ke arah Devan. "Sip. Thank you!"

***

Entah sudah berapa lama Alana terbangun dan hanya diam tanpa melakukan apapun. Pandangan dan pikirannya kosong, ia masih tidak tau tentang apa yang sebenarnya sudah ia lakukan.

Berkali-kali Alana menekan rasa menyesal itu kuat-kuat namun ia gagal. Dadanya masih terasa sesak karena hal ini.

Ketika mendengar suara kenop pintu yang terbuka, Alana langsung buru-buru menutup matanya kembali untuk pura-pura tidur. Itu pasti Baskara, karena tidak ada orang lain di penthouse ini.

Baskara naik ke kasur dan mengecup pelipisnya lembut, jujur Alana merinding. Ia tidak terbiasa dengan semua ini, ia ingin pulang.

"Wake up."

Alana masih diam untuk beberapa saat hingga ia merasakan tangan Baskara yang bergerak diantara pahanya. Alana terlonjak dan langsung menatap lelaki itu awas. "What are you doing?" tanyanya gugup.

"I can do anything i want."

Mungkin karena belakangan ini Baskara terlalu sibuk jadi hormonnya menumpuk dan mudah sekali meluap-luap.

Tangan Alana menahan dada Baskara saat lelaki itu menindihnya, ia menatap mata legam itu dengan penuh harapan. "Pak, tolong saya belum terbiasa dan masih sakit..." lirihnya.

Karena wajah Alana sudah sangat memelas dan matanya berkaca-kaca, Baskara jadi tidak tega dan mengurungkan niatnya. Ia menghela napas sebelum menjauh dari tubuh gadis itu. "Oke fine. Sekarang kamu mandi karena habis itu saya mau bicara sama kamu."

Alana mengangguk patuh. Setiap langkah yang ia ambil menuju kamar mandi adalah langkah tersulit yang pernah ia jalani. Sialan, Alana benar-benar mau menangis saat ini juga!

Meski dengan kamar mandi yang mewah dan besarnya melebihi kamar Alana di rumah, ia tetap ingin pulang.

"Saya udah siapin baju ganti kamu, ada di paperbag yang warna putih." Suara Baskara terdengar dari luar, namun Alana hanya diam sambil menatap pantulannya di depan cermin.

Mungkin sudah terlambat ia menyesal sekarang, Alana sudah terlanjur jatuh pada lubang yang ia buat sendiri. Jadi satu-satunya cara adalah menjalaninya, semua akan baik-baik saja. Alana yakin, ia pasti akan segera terbiasa.

Sudah hampir tiga puluh menit Alana ada di dalan kamar mandi dan sepuluh menit belakangan ia habiskan untuk bercermin dengan balutan gaun yang Baskara siapkan. Ini pasti gaun mahal, gaun satin berwarna dusty pink ini benar-benar membuatnya merasa berbeda.

Alana terlonjak kaget ketika Baskara memasuki kamar mandi dengan wajah tidak bersahabat.

"Jadi kamu mau kita bicara disini?"

Alana gelagapan dan panik. "Ng m-maaf pak saya tadi--"

"Ruang tamu. Sekarang."

Ternyata Baskara tidak main-main dengan ucapannya. Ia sudah menyiapkan banyak pilihan untuk program pendidikan yang lelaki itu janjikan pada Alana.

"Kamu pilih mau yang mana terus bilang ke saya." Alana mengangguk, ia baru menyadari kalau Baskara terlihat sangat tampan dengan pakaian rumahan seperti kaos putih polos dan celana traning.

Baskara menyodorkan beberapa barang ke arah Alana. "Ini ponsel baru kamu, sudah ada nomor saya. Macbook baru, dan kunci mobil."

Alana melongok. "Buat apa, Pak?"

"Buat kamu."

"Hah?"

"Ini fasilitas yang saya berikan."

"Maaf pak, tapi saya gak bisa ambil semuanya sekaligus. Kalau orang tua saya curiga gimana? Saya gak mau pak, yang penting Bapak bayarin rumah sakit ibu saya sama pendidikan saya juga udah cukup kok."

Baskara menyeringai. Menarik kunci mobil tadi dari hadapan Alana. "Mobil nanti dulu berarti? Oke, tapi ponsel sama Macbook tetep ambil."

"Oke."

"Saya memang janji untuk menanggung perawatan ibu kamu dan juga pendidikan kamu. Tapi bukan berarti saya gak bisa memberikan kamu rewards, if you be a good girl i give you more."

Alana meremat gaunnya kuat-kuat. Ucapan itu seperti meresmikan status dirinya yang sekarang menjadi wanita bayaran.

Baskara memandang Alana dengan lekat. Ia kira gadis ini akan kegirangan dengan semua benda mewah yang ia tawarkan, tapi alih-alih tersenyum Alana malah memasang raut wajah sedih.

"Ada yang mau kamu tanyain?"

Alana menggeleng.

Ohya, Baskara hampir lupa satu hal penting lainnya. Ia mengambil benda itu dari dalam kamar, lalu memberikannya kepada Alana.

"Kamu tau kan gunanya untuk apa?"

Alana mengangguk. Tentu ia membutuhkan pil kontrasepsi mengingat mereka akan sering melakukan hubungan seksual ke depannya.

"Saya gak mau tanggung jawab kalau ada hal-hal yang diluar kendali. We just have fun, right?"

Apa katanya? Kita? Bukannya yang bersenang-senang hanya Baskara? Alana kan hanya sebagai pelampiasan saja.

Alana tersenyum tipis dan mengangguk.

Sungguh, seingat Baskara Alana bukanlah gadis yang bisu lalu kenapa ia tidak berbicara? Baskara cukup kesal jika diacuhkan seperti ini. Kaki panjangnya melangkah menuju tempat Alana duduk, ia berdiri di belakang gadis itu.

Tangan Baskara menyentuh pundak Alana yang polos, membelainya dengan lembut. Jujur, Alana meremang dan berdebar hanya karena hal ini. Namun beberapa detik kemudian, tangan Baskara sudah mencengkram rahang Alana kuat-kuat dan mengarahkan wajah gadis itu untuk mendongak menatapnya.

"Kamu punya mulut bisa ngomong kan? Bisa buat jawab pertanyaan saya kan?" Alana mengangguk dengan cepat. "Bisa.."

Baskara menggeram, sialan dia benci diacuhkan. Diluar saja ada banyak orang yang akan membayarnya mahal hanya untuk mendengarkan omong kosongnya, namun gadis murahan ini malah mengacuhkannya. Alana pikir dia siapa?

"Terus kenapa saya ajak ngomong dari tadi kamu diem? Hah?!"

"Maaf saya gak tau mau ngomong apa..." jawabnya dengan wajah yang lagi-lagi ketakutan.

Calm down, Bas. Batin Baskara. Mungkin Alana memang masih belum terbiasa dengan semua ini, jadi Baskara harus sedikit lebih bersabar.

Akhirnya tangan Baskara melepaskan cengkramannya. "Kalau mulut kamu gak bisa buat ngomong, bakal saya latih untuk hal yang berguna lainnya."

Alana terdiam dengan tangan yang saling bertautan erat. Ia sangat ketakutan.

"Apa yang kamu takutin dari saya?" Baskara sudah duduk di hadapan Alana. Gadis itu sesekali melirik ke arahnya lalu membuang pandangan ke arah lain.

"Saya gak tau, Pak. Saya cuman belum tau harus gimana, semuanya bener-bener baru untuk saya."

Cukup rasional, makanya Baskara tidak berniat untuk marah lagi.

Baskara menepuk pahanya. "Sini, saya bilangin."

"Ya?"

"Sini."

Alana dengan cepat mematuhi ucapan Baskara, ia duduk di samping lelaki itu sesuai perintah.

"Saya kan suruhnya duduk sini, bukan di sofa." Ucap Baskara sambil mengangkat Alana ke atas sofa. Gadis itu kaku sekali seperti mayat.

Baskara menempelkan tubuhnya pada tubuh Alana, merapihkan helaian rambut yang terjatuh disisi wajah gadis itu.

"Disini kita kan saling menguntungkan. Benar kan? Saya butuh kamu untuk memuaskan saya dan kamu butuh uang saya. Gak ada yang tersakiti, sayang." Tangan Baskara merengkuh Alana dengan erat.

"Maaf, Pak. Mungkin saya aja yang belum terbiasa."

"Its okay. Nanti kamu tau kok kalau saya gak ada niatan sakitin kamu, even your body know me better than you."

Alana mengangguk, mengerti maksud lelaki itu saat tangan Baskara sudah menyelinap diantara pahanya. Alana menarik napas panjang, mungkin saat ini ia bukanlah sosok yang sama lagi.

Benar, tidak ada gunanya Alana melawan arus saat berenang mengikuti jauh lebih mudah.

Sejak melihat Alana menggunakan gaun satin ini, Baskara sudah tidak tahan ingin mengulang kegiatan mereka seperti semalam.

"Be a good girl, darling." Bisik Baskara.

Alana mengangguk, ia melebarkan kedua pahanya untuk memberikan akses lebih kepada Baskara. Lelaki itu menyeringai, tersenyum puas karena respon yang ia dapat.

"We just have fun, baby. Am i right?

"Yes, Sir."

 

 

 

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel