Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2

Alana sudah rapih dan siap untuk pergi menemui Baskara di kantornya. Akhirnya ia bisa menemukan pekerjaan yang mungkin saja cocok, karena beberapa kali bekerja paruh waktu Alana tidak pernah mendapatkan pekerjaan yang cocok.

Memang hidup tidak semudah film sih, Alana harus banting tulang membantu Ayahnya mencari uang. Apalagi dengan keadaan Ibu yang sedang sakit dan adik-adiknya yang masih sekolah.

Bukannya Alana beserta keluarga bodoh berobat tanpa menggunakan BPJS, namun memang ada obat-obatan yang tidak ditanggung dan harus dibeli sendiri.

Alana pernah beberapa kali melewati kantor ini, gedung tinggi yang megah dan mewah. Saat memasukinya pun Alana semakin kagum karena interiornya yang wow.

Menurut info yang resepsionis berikan Baskara berada di lantai 20, lantai tertinggi di gedung ini. Jadi dengan semangat 45, Alana langsung melangkahkan kakinya menuju lift untuk pergi ke lantai tersebut.

Sesampainya di lantai 20 Alana bisa melihat ruangan dengan pintu dengan kaca yang besar.

"Alana?" Ketika namanya dipanggil Alana langsung menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki yang semalam ia lihat kehadirannya bersama Baskara.

"Alana, kan?" Tanyanya lagi.

"Iya, Pak."

Lelaki itu tersenyum manis lalu mengulurkan tangan. "Devan, asistennya Baskara. Kamu udah ditungguin di dalam masuk aja."

Alana mengangguk sopan. "Baik. Makasih, Pak." Jawabnya. Kaki Alana melangkah dengan pasti walau jantungnya berdegub dengan kencang. Sialan ia sangat gugup sekarang!

Dua ketukan di pintu kaca itu hingga Alana bisa mendengar suara yang menyuruhnya untuk masuk.

Mata Alana hampir lepas karena pemandangan di hadapannya, astaga ruang kerja macam apa ini? Pemandangan Jakarta pada sore hari terlihat dengan jelas dari ruangan ini, sumpah kalau Jennie sampai melihat ini gadis itu pasti akan mengambil foto lalu mempostingnya.

"Alana?" Suara berat itu membuatnya terlonjak dan memecahkan lamunannya.

"Ah iya, sore Pak." Sapa Alana dengan suara sesopan mungkin.

Sungguh kaki Alana mendadak lemas saat menyadari selain pemandangan kota yang indah seorang Baskara juga sangat tampan dengan balutan pakaian formal. Kemeja biru tuanya ia gulung hingga siku menampilkan tato yang belum pernah Alana ketahui sebelumnya, lalu dia kancing atasnya sengaja lelaki itu biarkan terlepas. Baskara mirip lelaki di novel yang sering Alana baca!

"Silakan duduk."

Alana tersenyum dan menuruti ucapan Baskara, lelaki itu sedang memilah-milah berkas yang ada dimejanya. Hingga akhirnya ia berhenti dan memfokuskan atensi sepenuhnya kepada Alana.

"Tentang pekerjaan yang saya maksud semalam, ini rinciannya. Boleh kamu lihat dulu." Alana sudah bersorak ketika mendengar kata-kata itu, namun ketika matanya menangkap berkas yang Baskara berikan ia benar-benar tidak percaya.

Berulang kali ia membaca berkas tersebut, membalik setiap halamannya berharap ini sebuah kesalahan namun Alana tidak mendapat jawaban. "M-maaf Pak, tapi ini bener rinciannya? Maksud saya--"

"Benar." Baskara memotong ucapan Alana sebelum ia belum selesai berkata. "Umur kamu berapa?"

Alana mengangkat alisnya bingung sebelum akhirnya menjawab. "21 Tahun."

"Great. Kamu tipe saya, muda dan pintar. I think this job suit you well."

Sebisa mungkin Alana mencoba mengeluarkan suaranya, ia tidak mau terlihat lemah di depan lelaki ini. "Maaf Pak tapi saya bukan pelacur."

Baskara menyeringai mendengar ucapan itu, tipikal gadis muda dengan harga diri setinggi lagi. "Memang bukan, but you need money. And you sell your body only for me, i think its different."

Sialan! Alana tidak percaya mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Baskara. 

"Tanpa mengurangi rasa hormat, saya berterima kasih atas tawaran Bapak. Tapi sungguh sampai hari ini saya tidak berniat menjual diri saya hanya untuk uang. Sekali lagi terima kasih, saya pamit."

Wow, jadi gadis ini menolaknya ya? Apa Alana mengira seorang Baskara bisa semudah itu menyerah tanpa mengeluarkan senjata rahasianya?

"Oh ya? Padahal saya bisa menjamin pendidikan kamu sampai S2 or more. Saya juga bisa menanggung pengobatan Ibu kamu sampai benar-benar sembuh. Tapi sepertinya kamu sedikit sombong ya?"

Alana berhenti, lalu kembali menoleh ke arah Baskara. Lelaki itu sedang memegang map berwarna kuning yang Alana tidak tahu isinya.

"Saya tau tentang kamu, prestasi kamu, riwayat keluarga kamu, sampai keinginan kamu. Its very easy for me." Ucap Baskara dengan raut wajah angkuh andalannya.

"Is it true?"

"Which one? Pendidikan kamu? Kehidupan kamu yang lebih la--"

Alana menyela. "Bukan. Pengobatan Ibu saya, Bapak bener akan menanggung semuanya? Sampai sembuh?"

"Tentu. Tinggal kamu tanda tangan and we make a deal."

Tubuh Alana mematung, ia sedang menimbang-nimbang keputusan mana yang akan dirinya ambil. Mendengarkan logikanya atau kata hatinya.

"Saya gak pernah tau tentang perjanjian semacam itu."

Bingo. Baskara tau kemana gadis ini akan mengambil keputusan. Kaki panjangnya bergerak menghampiri Alana. "Kamu pelajari baik-baik dan bisa tanya saya mengenai hal yang gak kamu tau."

Alana menahan napasnya saat jarak Baskara semakin mendekat. Ia mendongak untuk menatap lelaki itu. "Boleh gak, Pak, saya kerja di kantor Bapak tapi Bapak tetep bayarin pengobatan Ibu saya? Gak perlu digaji pak serius. Saya bisa jadi staff finance, accounting atau--"

"Saya lebih tertarik kamu bekerja dibidang lain."

Wajah Alana terlihat sedikit ketakutan, Baskara bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan saking gugupnya gadis ini berkeringat di ruangan yang memiliki pendinginin.

"Jadi?" Tanya Baskara lagi. Alana terdiam sejenak, ia masih tidak tau harus bagaimana tapi tawaran yang lelaki itu berikan sangat menggiurkan. Tidak ada yang lebih penting dari kesehatan Ibunya bagi Alana saat ini.

Akhirnya Alana bersuara. "Boleh saya minta waktu untuk berfikir?"

Baskara mengangguk, ia kembali ke mejanya untuk mengambil berkas berisi perjanjian tadi dan memberikannya kepada Alana. "Satu minggu. Waktu kamu satu minggu untuk berfikir dan saya harap kamu bijak."

"Dalam menjual diri saya?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja tanpa Alana sadari.

"Ini gak seperti yang kamu pikirkan, young lady. Setelah kamu menandatangani perjanjian itu gak serta merta saya langsung menyerang kamu saat itu juga. Kamu akan di cek kesehatannya terlebih dahulu, ada penyakit menular atau tidak, terjangkit virus atau tidak. Saya juga main aman, so...calm down."

Baskara terlihat sangat santai saat mengucapkan hal tersebut, ini mengenai harga diri seseorang dan lelaki itu nampak biasa saja.

"Saya butuh waktu." Hanya itu yang bisa Alana katanya.

"Sure. Disitu sudah ada kartu nama saya, you better tell me your decision as soon as posibble."

Alana mengangguk.

"Boleh saya pulang sekarang?"

Itu senyum yang biasa Alana lihat di layar kaca atau seminar-seminar yang Baskara hadiri, tulus dan bersinar.

"Untuk kenang-kenangan." Ucap Baskara yang Alana tidak tau maksudnya sebelum ia merasakan sesuatu menempel pada bibirnya.

Mata Alana melotot sempurna, sialan lelaki hidung belang itu menciumnya!

Tubuh Alana terhimpit oleh pintu dan Baskara yang terus mendesaknya. Napasnya tersengal ketika lelaki itu menghisap lehernya kuat-kuat dan menyusupkan tangannya ke dalam rok yang Alana gunakan.

Dengan sisa-sisa kesadaran dan tenaga yang ia miliķi, Alana mendorong Baskara menjauh. Dadanya bergemuruh karena marah dan malu, apa-apaan itu?

"Bapak gak berhak melakukan hal itu ke saya!" Ucapnya geram. 

Baskara bertolak pinggang. "Kenapa?"

"Itu pelecehan. Jangan harap saya mau jadi mainan orang kurang ajar seperti--"

Ucapan Alana terputus karena ponsel Baskara berdering, lelaki itu menyeringai saat mengangkat panggilan tersebut.

"Selamat Sore Pak Baskara, maaf mengganggu. Kami dari Rumah Sakit Pelita Harapan, mendapat informasi dari Unit Gawat Darurat jika pasien bernama Ibu Cahaya Lestari baru saja masuk rumah sakit kami kembali, apakah kami langsung memberikan tindakan intensif seperti arahan Bapak atau mendiamkannya dulu seperti biasa?

"Sebentar."

Baskara dengan sengaja menekan tombol loud speaker agar Alana mendengar percakapan itu. "Gimana, Alana? What should we do?"

Alana panik. "Tolong langsung ditindak, Pak Bas please. Itu Ibu saya, tolong--"

"Yes or no for the agreement?"

"Yes." Itu adalah jawaban tercepat yang pernah Alana ucapkan. Ia tidak memikikan hal lain lagi saat ini.

Senyum kemenangan terpatri jelas di wajah Baskara. Ia mematikan tombol loud speaker dan menempelkan ponselnya ke arah telinganya. "Langsung tindak secara intensif. Sekarang juga."

Ternyata masih semudah itu bagi seorang Baskara Haris untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan hanya dengan uang dan kekuasaan.

 

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel