1
Alana sangat bersemangat menghadiri seminar yang kampusnya selenggarakan. Selain topik yang dibahas memang cukup menarik, narasumbernya juga sangat profesional dibidangnya.
Mata hitamnya tidak pernah berpaling sedikitpun dari sosok lelaki yang sedang duduk dan membahas materi dengan begitu detail dan rapih.
"Menurut saya, untuk menciptakan suatu peluang usaha selain mempertimbangkan kebutuhan pasar yang paling utama adalah keberanian dan inovasi."
Siapa yang tidak mengenal Baskara Haris, diusianya yang muda ia sudah memiliki toko retail yang sekarang berkembang pesat. Ditambah sebuah startup berbasis charity dan brand ternama sebuah kopi kekinian.
Selain kemampuan bisnisnya yang mumpuni, ada satu hal yang sebenarnya sangat Alana kagumi dari sosok Baskara yaitu sifat dermawannya. Lelaki itu tidak pernah absen untuk membantu sesama, bukan untuk sebuah sensasi atau pengakuan publik. Baskara melakukannya benar-benar untuk esensi.
"Ada pertanyaan?"
Tentu Alana akan mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan. Posisi duduknya yang berada di barisan depan membuat MC dengan mudah memilihnya.
"Selamat siang Pak Baskara, saya Alana dari fakultas ekonomi. Saya ingin bertanya, bagaimana mengatur bisnis bapak yang cukup banyak dengan latar belakang yang bergerak dibidang berbeda?"
Baskara tersenyum sopan. "Baik dek Alana, terima kasih atas pertanyaannya. Cara saya mengatur bisnis-bisnis saya adalah dengan mempekerjakan SDM yang memang kompeten dibidangnya. SDM yang memang tahu apa yang harus mereka lakukan. Selain itu saya juga tidak pernah lupa untuk mengecek kembali pekerjaan mereka untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal."
Alana ingin berteriak saat mata hitam itu menatap wajahnya, astaga apa-apaan sih dirinya ini?
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya seorang Baskara Haris hadir di kampus Alana, tapi setiap ada seminar yang menjadikan sosok itu sebagai narasumber pasti audience nya sangat banyak.
"Ganteng banget gak sih?" Itu yang pertama kali Jennie katakan kepada Alana setelah keluar dari ruang auditorium selesai acara seminar.
Alana mengangangguk setuju, tentu yang sedang temannya bahas adalah seorang Baskara Haris. Siapa lagi? Tidak mungkin rektor mereka yang menyebalkan itu kan?
"Sampe ngeces gitu Jen, ngomongnya." Ledek Alana. Jennie mendengus lalu mendorong bahu temannya pelan. "Ngeselin! Emang lo gak ngeces liat dia? Gak usah munafik deh!"
Tawa Alana meledak. Siapa sih yang tidak ngeces liat Baskara, tapi ia hanya sebatas menganggumi sama seperti teman-temannya mengagumi Chris Evan. "Hahaha santai dong. Ngegas banget!"
"Kira-kira dia udah punya pacar belum?"
Alana mengedikkan bahunya. "Gak tau. Tapi kalau Adam Levine gue tau udah punya istri dan anak." jawabnya.
Jennie lagi-lagi mendengus sebal. "Ngeselin tau gak lo! Kalau jadi cewek dia enak kali ya, Al, nanti nasibnya kayak Nia Ramadhani buka salak aja gak tau karena makannya buah mahal semua hahahaha."
Dasar cewek ganjen, batin Alana. Jennie memang paling tidak bisa melihat lelaki tampan, pasti pikirannya sudah melalang buana jauh ke ujung dunia.
***
"Ngapain kamu kesini?"
"Minta uang. Duit gue habis."
Baskara menghela napas kasar, dasar bocah gak tau diri! Padahal seminggu yang lalu ia sudah memberikan uang dengan jumlah tidak sedikit.
"Minta duit lagi buat apaan? Beli ganja?"
Gadis itu, Vanessa Haris mendengus mendengar pertanyaan yang selalu dilontarkan oleh Baskara. "Suka-suka gue buat apaan, sama kayak lo kok yang menghabiskan banyak uang untuk hal yang lo suka."
Baiklah, Baskara sudah jengah dan malas berdebat dengan bocah keras kepala di hadapannya ini. Ia mengeluarkan ponselnya dan segera mentransfer sejumlah uang ke rekening Vanessa.
"Udah saya kirim. Sekarang pulang sana, saya mau pergi." Vanessa hanya memutar matanya, tidak peduli dengan sikap yang lelaki itu berikan karena ia hanya membutuhkan uangnya.
"Mau kemana? Bawa cewek lagi?"
"Gak usah ikut campur, itu bukan hak kamu untuk tau tentang kehidupan saya."
Tanpa menghiraukan gadis itu lagi, Baskara berjalan melaluinya. Sialan, moodnya yang semula sudah rusak semakin rusak karena kehadiran setan kecil itu.
Selama dua minggu ini Baskara sangat sibuk. Pagi-pagi mengisi seminar, lalu di kantor sampai larut malam karena berkas yang segunung. Jika menjadi CEO itu pekerjaan yang menurut banyak orang mudah, mungkin mereka hanya mengetahui dari luarnya saja. Kenyataannya boro-boro bisa santai, Baskara malah selalu dibayangi oleh berkas-berkas di mejanya.
Setelah menempuh perjalan sekitar tiga puluh menit, akhirnya Baskara sampai di tempat ia bisa melampiaskan rasa penatnya. Sebuah club high class dengan tingkat privasi yang tinggi menjadi favoritnya.
Devan sudah menunggu kehadiran Baskara di meja yang sudah lelaki itu pesan. Tempat yang strategis dengan minuman mahal berjejer rapih di mejanya.
"Lama bangeet? Ngapain aja lo?"
"Vanessa ribet minta duit mulu."
"Buset, buat apaan tuh?"
Baskara mengedikkan bahu acuh. "Gak tau dah, gak mikirin juga." sahutnya. Ia langsung meneguk minuman beralkohol favoritnya.
Mata Baskara mengamati sekeliling dengan jeli, mencari sosok yang mungkin akan menemaninya malam ini. Tapi alih-alih tertarik pada gadis-gadis seksi, Baskara malah menangkap sosok yang beberapa waktu lalu ia temui.
"Van, panggilin waiters yang diitu." Tangan Baskara menunjuk gadis yang sedang merapihkan gelas-gelas kosong.
"Yang dikuncir?"
"Yap. Panggilin kesini."
Seorang Baskara tidak perlu memerintah sebanyak dua kali untuk memenuhi keinginannya. Hanya butuh dua menit, gadis tersebut sudah menghampiri mejanya dengan wajah yang gugup.
"Ya bisa saya bantu pak?"
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari gadis ini, Baskara hanya ingin memastikan dari dekat.
"Bukannya kamu mahasiswi universitas yang tempo hari ngadain seminar kan?"
Sosok itu, Alana langsung panik. Sebenarnya sejak Baskara memasuki club ini Alana sudah melihatnya, tidak sulit untuk mengenali lelaki itu karena posturnya yang tinggi besar dan mencuri perhatian.
"B-betul, Pak." Jawab Alana gugup.
Baskara menyesap rokoknya, mengamati Alana dari ujung rambut hingga ujung kepala. "Saya dengar kamu mahasiswi yang cerdas but what are you doing?"
Jantung Alana berdegub kencang. "Saya kerja, Pak." jawabnya singkat.
"Kerja apa?" Tentu itu sebuah sarkasme, Alana cukup pintar untuk mengerti maksud ucapan Baskara.
"Bapak bisa lihat seragam saya, saya kerja sebagai apa."
Baskara tertawa sambil bangkit dari posisinya ia membisikkan sesuatu di telinga Alana. "Come to my office tommorow and i'm gonna give you a better job."
Tanpa pikir panjang Alana langsung mengangguk setuju. Siapa yang tidak mau bekerja di perusahaan yang Baskara pimpin? Ratusan orang berlomba-lomba untuk bekerja disana setiap bulannya dan Alana mendapatkan keberuntungan malam ini.
Alana tersenyum. "Siap, Pak. Jam berapa saya bisa ke kantor Bapak?"
"Jam enam sore. Kamu bisa ketemu saya, who's your name?"
"Alana, Pak. Besok sore saya akan kesana, terima kasih ya Pak."
Sepeninggalan Alana, Baskara langsung mendapatkan decakan dari Devan. Sahabatnya itu sudah tau apa yang sebenarnya sedang Baskara rencanakan.
"Again?"
"Its been a year, Dev. Why not?"
"Dia keliatan muda banget, Bas."
"She is. Tapi bukannya semakin muda semakin nurut, ya?"
