Udah Biasa
Setelah dari makam Haikal mengantar kembali Rain ke toko bunga. Padahal selama di perjalanan Haikal tidak henti-henti ngomel karena Rain sangat susah untuk disuruh pulang ke rumah. Bukan apa-apa, Haikal hanya tidak mau Rain kelelahan.
"Lo kenapa sih, Kal? Kayak perempuan PMS tau ga? Sepanjang jalan, sampai kita berhenti, masih aja ngoceh. Gue baik-baik aja, gue sehat, gue juga udah mendingan." Rain memutar tubuhnya agar bisa melihat Haikal dengan sempurna. Kini bukan hati yang lelah, tetapi telinga!
Perubahan memang banyak dari Haikal, tetapi yang membuat Rain kesal sepuluh turunan adalah kebawelannya! Terkadang Rain sampai angkat tangan kalau berdebat. Melihat wajah istrinya yang kesal membuat Haikal tersenyum lebar layaknya tidak membuat dosa.
"Gue cuma takut lo masih sedih, gue ga mau kecapean." Tangan Haikal terulur mengusap lembut pipi Rain.
"Bukannnya lo sendiri yang bilang kalau gue harus bisa berdamai? Untuk permintaan lo itu akan gue coba. Gue juga ga capek di sini karna ada Dina, Silla, lo ga usah khawatir."
Senyum Haikal semakin mengembang, kali ini bukan senyum jahil atau menggoda, tetapi senyum kelegaan dan juga ketulusan. Haikal memajukan tubuhnya agar bisa memeluk juga mencium kening Rain. Haikal sempat terkekeh ketika Rain memejamkan matanya.
"Yang di sini mau ga?" Haikal mengetuk-ngetuk bibir Rain menggunakan jari telunjuknya. Belum sempat Rain menjawab, Haikal sudah lebih dulu menempelkan bibirnya seperkian detik.
'Tok..tok..tok'
Suara ketuka yang tiba-tiba membuat Haikal dan Rain langsung menjauh layaknya terkena razia. Haikal menatap ke arah jendela lalu membukanya.
"Hai, Om, hai Aunty!"
Rasa kaget yang sempat hinggap mulai luruh bersamaan dengan suara tawa Haikal kala mendengar sapaan dari arah jendela.
"Hai, Abang. Abang baru dateng ke sini?" tanya Rain sambil membuka pintu mobil, lalu mengambil alih anak laki-laki yang ada di gendongan Silla.
"Aunty dari mana?"
"Habis jalan-jalan, kamu sih telat datengnya," sahut Haikal dengan cepat. Melihat anak laki-laki itu cemberut membuat keduanya tertawa karena gemas.
"Aunty habis ke rumah adik Aletta, Bang."
"Aunty jangan sedih ya?" Tangan mungil itu kini memeluk leher Rain dengan erat. Dia seperti tahu, apa yang sedang Rain rasakan.
Kepindahan Raihan ke sini memang menjadi obat untuk Rain dan juga Haikal. Kedua orangtua yang sama-sama sibuk bekerja, membuat anak itu lebih akrab bersama keduanya. Bahkan saat orangtuanya pulang, Raihan malah tidak mau jalan atau bahkan tidur bareng. Tangan Haikal terulur mengusap pucuk kepala Raihan.
"Kalau gitu gue balik kantor dulu ya, Rain? Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin." Haikal mengecup singkat kepala Rain, lalu dia beralih menatap Raihan.
"Rai, baik-baik ya di sini? Ingat sama pesan om Haikal ga?"
Raihan mengangguk dengan cepat. "Jagain Aunty!"
Haikal mengacungkan kedua jempolnya sambil terkekeh. Setelah berpamitan, Haikal kembali masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan toko bunga. Hari ini dia ada meeting, dan mungkin saja sudah telat. Kedatangan Raihan ke toko bunga setidaknya membuat Haikal bernapas lega.
Seperginya Haikal Rain yang sedang menggendong Raihan langsung menarik tangan Silla untuk masuk. "Gimana selama Kakak ga ada? Aman di sini?"
"Tadi ada Mami, Kak."
"Mami?" Sebelah alis Rain terangkat. Tumben sekali Iren mencari tanpa memberi kabar, atau dia mau membahas masalah kemarin?
Silla mengangguk, tangannya aktif menata bunga yang sedikit berantakan. "Tadi nyariin Kak Rain, terus dia titip pesan kalau Kakak pulang disuruh telepon, penting katanya. Tau deh ya penting apa, ga urus."
Pandangan mata Rain tidak putus kepada Silla yang kini berjalan menjauh. Adiknya memang sudah berdamai dengam Iren dan juga Ardi, akan tetapi keangkuhan itu tetap ada dan Rain tidak bisa memaksa lebih jauh. Di sini juga ada Rini, tetapi tetap saja Silla menjaga jarak kepada mereka semua. Keterlukaan batin masih menjadi momok untuk semuanya. Begitupun dengan Rain, kini dia kembali berseteru dengan Rini.
Tidak berniat menjawab, Rain lebih memilih berjongkok menatap anak laki-laki di depannya. Rain tersenyum ketika Raihan lebih dulu memamerkan senyumannya.
"Kemarin aku liat om Haikal sama aunty Hana. Aunty kenapa engga ada di rumah?"
Penuturan polos Raihan membuat senyum Rain kembali muncul, terlebih saat anak laki-laki itu menutup mulut seperti orang keceplosan. Rain sama sekali tidak kaget, pun dia tidak marah. Untuk apa marah? Telinganya sudah mulai terbiasa, terlebih saat kedua keluarganya mulai terpecah karena Dewi, Nenek dari Haikal datang.
Sebetulnya bukan Hana yang membuat Rain gerah, tetapi barisan patah hati macam Aurel dan Clara yang sukses membuat Rain selalu naik darah kalau menghadapi mereka. Tapi ya sudahlah, Rain tidak mau mengambil pusing masalah atau wanita-wanita yang datang silih berganti.
"Abang mau jalan-jalan ga? Mau jajan?"
Jika biasanya Raihan mengangguk dengan semangat, kini dia hanya diam sambil menyipitkan kedua matanya menatap Rain. Merasa ditatap lekat oleh Raihan membuat Rain menyeritkan kening.
"Kenapa, Bang?"
"Maaf ya, Aunty?"
Rain menarik tubuh mungil Raihan kedalam dekapannya. Raihan baru empat tahun, tetapi lihatlah tingkah dan juga tutur katanya sangat dewasa. Dia selalu berusaha hati-hati dalam berkata terlebih kepada Rain.
"Maaf diterima, jadi mau jajan?" Rain menaik-naikan alisnya sambil tersenyum lebar.
Raihan meraih telapak tangan Rain lalu mengeratkan genggamannya. "Ayo, Aunty!"
***
"Selamat sore, Pak Haikal."
Haikal mengangkat wajahnya menatap seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Mengetahui Zahra yang masuk membuat Haikal tersenyum tipis.
"Ada apa, Zah?"
"Ada beberapa berkas yang belum Bapak cek, ini semua kontrak kerjasama dengan beberapa perusahaan baru," ujar Zahra sambil memberikan beberapa map kepada Haikal.
Tanpa menjawab ucapan Zahra tangan Haikal langsung mengambilnya. Sebetulnya Haikal sangat lelah, tetapi mau bagaimana lagi kalau ini semua sudah menjadi kewajibannya. Karena bosnya hanya diam, Zahra pun ikut diam sambil memperhatikan dari arah samping. Bagi Zahra, semakin hari bosnya itu semakin terlihat tampan.
Terkadang Zahra berfikir, apa Rain tidak sesak napas setiap hari melihat wajah Haikal? Bahkan bisa lebih dekat dalam menjangkau, tidal seperti dirinya yang hanya bisa menatap beberapa saat. Merasa keadaan sangat hening membuat Haikal menoleh, dia menatap Zahra lalu tertawa kecil ketika sekretarisnya tengah menatap dengan lekat.
"Ada apa liatin saya sampai segitunya, Zahra?" tegur Haikal dengan suara santai.
Kedua mata Zahra memejam, dia benar-benar mengutuk kebodohan dirinya sendiri. Kenapa bisa dia kelepasan menatap Haikal dalam-dalam? Setampan apapun Haikal, Zahra harus segera sadar kalau pria di sampingnya milik temannya sendiri. Zahra menggeleng, dia menahan malunya mati-matian.
"Kenapa, Zah? Ada yang salah sama saya? Atau penampilan saya kelewat urakan ya? Maaf ya, udah capek soalnya."
Zahra menggerutu dalam hati. Urakan saja ganteng, gimana rapih coba? Aneh-aneh saja memang pertanyaan bosnya.
"Kalau Bapak capek, bisa pulang kok. Semuanya bisa saya urus atau saya bantu cek mana yang harus jadi prioritas, mana yang bisa saya handle."
"Kamu ga pulang?" Haikal menatap Zahra yang berdiri di sampingnya, "udah waktunya pulang juga, mending pulang aja," lanjutnya.
"Iya, Pak, saya gampang nanti. Oh iya, Pak, kabar Raina gimana?"
"Dia baik, doain aja ya? Semoga semuanya kembali seperti semula."
Zahara mengangguk sambil tersenyum. Kabar tidak mengenakan memang sempat menggemparkan kantor. Dari kabar Rain jatuh, keguguran, bahkan kehilangan anak untuk kedua kalinya. Hal itu menyakitkan, dan Zahra tahu itu. Memang tidak ada tindakan khusus, tetapi Zahra membantu Rain sebisanya. Walaupun berat, tetapi wanita itu tetap tangguh, hal itu membuat Zahra berdecak kagum.
"Ini sudah saya cek, sudah saya tandatangani. Mungkin kamu bisa cek ulang ya, mana tau ada yang terlewat." Haikal kembali menyerahkan beberapa berkas tadi ke arah Zahra.
"Kalau begitu saya permisi ya, Pak," pamit Zahra yang langsung mendapat anggukan dari Haikal.
Jari-jari yang baru mau mengetik sesuatu di laptop kini tertahan karena ponselnya berbunyi. Tanpa membuang banyak waktu, Haikal mengambil lalu membuka chat dari Raina. Seperti ada tangan yang menarik paksa sudut bibirnya, Haikal tersenyum lebar melihat beberapa foto kiriman Rain.
Foto random memang, tetapi ada satu foto selfie di mana Rain dan Raihan tersenyum bahagia ke arah kamera. Wajah ceria itu sungguh membuat Haikal candu. Tidak ada yang berubah dari sosok Rain selain hatinya. Walaupun sering sekali nangis, tetapi Rain tetaplah singa betina seperti terlebih kalau sedang mode ngamuk.
"Karna sampai detik ini gue selalu usahain yang terbaik untuk kita, Rain."
***
