Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Im Sorry, Kal.

Langkah kaki orang di depan yang berhenti mendadak membuat benturan tidak bisa terhindarkan. Keduanya meringis, mereka siap untuk saling menyalahkan. Namun belum sempat pria di depan marah-marah, wanita di belakang sudah lebih dulu mendelik tajam membuat nyali pria itu sedikit ciut.

"Bisa ga kalau jalan yang benar?"

"Lurus, kenapa juga harus berhenti?"

"Kok ngegas sih?"

"Gimana ga ngegas? Berhenti kok seenaknya."

"Loh? Salah lo juga, Hana, kenapa jalan di belakang gue sih? Kanan kiri masih lega, lo mau jadi bodyguard gue?"

Sumpah ya, sejak satu jam tadi Hana sudah sangat gerah, kini dia harus berdebat kembali dengan manusia yang tidak mau kalah dari segi apapun. Siapa lagi kalau bukan Haikal? Hana mendengus kesal, tanpa berkata apa-apa lagi dia melanjutkan jalannya untuk ke luar dari area rumah sakit.

"Idih gambek," guman Haikal dengan wajah bingung menatap Hana, lalu dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Melihat Hana semakin menjauh membuat Haikal buru-buru mengejarnya, agak susah Hana sekarang ini, tidak kalem seperti dulu. Siang ini Haikal memang sengaja menjemput Hana untuk makan siang bersana, karena dia ingin membicarakan sesuatu lalu meminta pendapat.

"Kita mau makan di mana? Kamu ga mau jemput Rain dulu? Aku ga enak kalau terus-terusan kayak gini, Kal." Hana membalikan tubuhnya menatap Haikal.

"Ga usah ya? Gue mau ngobrol sama lo dulu, kita selesain point kita dulu gimana? Rain aman, dia di toko bunga."

Kedua mata Hana menatap lekat wajah Haikal. Rasa lelah bukan hanya milik Haikal, tapi percayalah Hana lebih lelah, bahkan dia selalu merasa bersalah kepada Rain. Selama beberapa tahun belakangan Rain sangat baik, hanya dia yang mau membantu tanpa pamrih. Adanya masalah ini, membuat Hana sedikit menjaga jarak walaupun Rain sendiri tidak marah.

Selama di perjalanan keduanya saling diam, mereka sibuk dengan isi otak masing-masing. Masalah memang silih berganti, bukannya makin membaik tetapi yang ada semakin keruh. Jalanan Jakarta yang renggang membuat Haikal memperlambat laju mobilnya, dia pun sedang kalut denga otaknya.

"Gue ada rencana pindah deh, Na."

Hana menoleh, dia menatap Haikal yang sedang asik menyetir. Walaupun terlihat tenang, tetap saja raut wajah Haikal sangat lelah dan juga tertekan. Dia harus berdiri tegak, menjadi pelindung seorang wanita yang sangat disayangi. Haikal selalu melakukan berbagai cara agar Rain bahagia, sekalipun dia melakukannya saat sedang bersedih.

"Oma Dewi?"

"Menurut lo siapa lagi? Gue kasihan sama Rain, gue juga ga bisa begini aja, Na. Lo ga punya ide sama sekali, Na? Lo belum punya calon gitu?"

"Agak ga lucu ya, Kal, masa aku jadi istri kedua?"

***

Hembusan angin yang menerpa seolah-olah sedang memberi kekuatan kepada tubuh rapuh yang kini bersimpuh lemah. Tidak ada satupun manusia di bumi yang suka dengan kehilangan, begitupun dengan Rain. Selama ini dia berusaha kuat, bahkan dia selalu acuh dengan masalah yang ada.

Akan tetapi kekuatan Rain hilang dan lenyap ketika sudah datang ke tempat ini. Rasanya sangat sesak, bahkan tubuhnya tidak kuat untuk menopang. Dengan lembut Rain mengusap nisan yang bertuliskan nama Aletta Alinea Wijaya. Iya, itu adalah makam putri kedua Rain dan juga Haikal.

Rain kembali melamun, ingatan itu kembali hadir dengan indah. Bagaimana keadaan mencekam terjadi, lalu wajah hancur Haikal pun terus terputar. Aletta, bayi mungil yang cantik memang berhasil Rain keluarkan dari dalam rahimnya, akan tetapi Aletta lahir secara prematur, di usia kandungan tujuh bulan. Kelahiran Aletta sempat memberikan kebahagiaan untuk Rain dan juga Haikal setelah sebelumnya Rain sudah lebih dulu keguguran.

Bayi mungil mereka lahir, namun hanya bertahan empat belas jam. Bayi itu menghembuskan napas di dalam dekapan Haikal kala itu. Usia yang masih sangat rawan, organ tubuh yang belum sempurna semuanya, membuat Tuhan kembali memanggil. Selama menikah, hari itu adalah pertama kali Rain menyaksikan Haikal memangis, bahkan dia sangat terluka.

Lagi-lagi Rain gagal menjadi Ibu dan mungkin juga istri yang baik.

"Jangan nangis, kasihan Aletta." Frans berjongkok, dia mengusap air mata yang kini turun dengan cepat.

"Maafin Mummy ya? Maaf Mummy ga bisa jagain kamu," lirih Rain. Tidak perduli bajunya akan kotor, Rain memeluk nisan di depannya dengan erat. Hanya di sini Rain bisa merasakan hancur yang bertubi-tubi.

"Maafin Mummy ya, Aletta, Mummy ga bisa jadi yang terbaik."

"Lo itu Mummy yang hebat, Rain, Aletta pasti bangga punya Mummy kayak lo."

Mendengar suara itu membuat Rain terdiam. Itu bukan suara Frans, akan tetapi suara pria yang selama ini menemani hari-harinya. Melihat kedatangan Haikal membuat Frans bangkit untuk memberikan ruang. Haikal mengangguk seraya mengucapkan terima kasih kepada Frans.

"Lo itu hebat, Raina, paling hebat." Haikal mengusap lembut pucuk kepala Rain. Sebetulnya Haikal sangat hancur melihat Rain kembali terjatuh seperti ini.

Haikal sangat sadar, kalau selama ini dia belum bisa membahagiakan Rain, yang ada selalu memberinya masalah. Alih-alih mereda, justru isakan Rain semakin hebat membuat Haikal langsung memeluknya dengan erat.

"Aletta bangga sama lo, dia pasti senang punya Mummy kaya lo. Udah ya jangan nangis? Lo udah janji sama gue ga akan kayak gini lagi," bisik Haikal tepat di telinga Rain.

"Maaf, Kal."

"Ssttt, jangan pernah ucapin kata maaf lagi."

"Gue gagal ya, Kal? Gue salah apa sama Tuhan, Kal? Kenapa gue dibuat ga sempurna? Bahkan gue ga bisa kasih lo kebahagiaan."

Haikal tidak menjawab, dia hanya dia sambil terus memeluk tubuh Rain. Jauh di dalam lubuk hati, Haikal sudah merasa cukup dengan semua ini. Adanya Rain setiap saat, terlebih keceriaannya sudah cukup membuat hidup Haikal berwarna. Takdir Tuhan memang tidak ada yang tahu, tapi terkadang Haikal ingin mengubah takdir kesedihan itu menjadi kebahagiaan.

"Lo benci sama gue ya, Kal? Gue ga bisa kasih lo keturunan. Sekalinya dikasih, gue ga bisa jaga."

Bukan hanya Haikal dan Rain yang sakit, kedua orang di belakang mereka pun sama sakitnya terlebih saat melihat dan mendengar perkataan Rain. Kehancuran itu nyata, bahkan sangat menyakitkan.

"Bisa liat lo setiap bangun dan mau tidur aja gue udah bahagia, Rain. Mungkin lo anggap gue bohong atau segala macamnya, tapi ya gimana? Itu semua kenyataan. Jadi stop kayak gini ya? Stop salahin diri sendiri karna itu ga baik."

"Raina sayang, liat wajah gue," kata Haikal sambil meraih wajah Rain menggunakan kedua tangannya, "trust me, gue sayang sama lo apa adanya. Hidup gue akan hancur kalau lo lebih milih menyerah atau maksa gue untuk berhenti."

"Jangan pernah dengerin orang yang ga ada kontribusinya dalam hidup kita, Raina."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel