Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Layanin Gue

'Hari ini gue lembur ya, Rain? Izin pulang agak malam, maaf jadi ga bisa jemput. Pulang sama Silla ya? Hati-hati.'

Setelah membaca pesan singkat dari Haikal Rain kembali mematikan layar ponsel, lalu dia menelungkapkan kembali wajahnya di atas meja. Hari memang sudah malam, tetapi Rain sangat enggan menutup toko bunganya. Biasanya toko ini tutup bareng dengan butik sekitar jam lima atau enam sore, tetapi kali ini tidak.

"Aunty!"

Rain yang sedang asik merebahkan kepalanya langsung mendongak menatap ke arah samping. Melihat Raihan turun dari lantai atas membuat Rain tersenyum lalu menerima tubuh mungilnya untuk duduk dipangkuan. Rasa hangat dan damai benar-benar Rain rasakan ketika memeluk Raihan, walaupun dia bukan anak kandungnya.

"Ada apa, Bang? Aunty Silla di mana?"

"Aunty Silla bobo, habis kerjain tugas."

Masih dalam kondisi memeluk Rain mengangguk. Silla memang angkuh, tetapi pasca insiden tiga tahun lalu dia menjadi protektif bahkan tidak mau ketinggalan.

"Abang mau pulang ke rumah aunty atau mau dianter ke rumah Nenek?"

"Ikut aunty Rain boleh?" Raihan berusaha menoleh ke arah belakang untuk menatap Rain. Senyum Raihan mengembang ketika Rain mengangguk sambil tersenyum.

Satu tahun belakangan ini Raihan memang lebih senang menginap di rumahnya. Walaupun begitu, baik Rain ataupun Haikal sama sekali tidak keberatan justru mereka senang karena rumahnya menjadi ramai ocehan Raihan.

"Aunty rapih-rapih dulu ya kalau gitu? Abang bangun aunty Silla, bilang kita mau pulang ya?"

Raihan mengangguk, dia turun dari pangkuan Rain dan langsung berlari kecil menaiki tangga. Setelah memastikan Raihan aman naik ke atas, Rain mulai merapihkan tokonya. Tadi sebelum Dina pulang, wanita itu sudah lebih dulu beres-beres. Makanya Rain tinggal menutup jendela lalu menyapu lantai agar besok tidak terlalu kotor.

Rain yang sedang asik menyapu lantai dibuat kaget saat ponselnya berbunyi, buru-buru dia kembali ke meja lalu melihat siapa yang meneleponnya. Sebelah alis Rain terangkat saat melihat nama Haikal yang tertera di sana. Mau apa lagi pria itu?

'Lo kenapa sih angkat telepon aja lama? Biasanya juga itu hp ga pernah jauh!'

Rain meringis saat ponselnya baru saja sampai telinga, tetapi lawan bicara di sebrang sana sudah lebih dulu menghentaknya tanpa salam. Rain mengusap telinganya beberapa kali sebelum kembali menempelkan ponselnya.

"Waalaikumsalam, Kal."

'Hehehe.'

'Assalamualaikum, selamat malam, ada yang bisa saya bantu?'

'Dih anjir, customer service kali ah gue.'

Benar-benar kurang waras! Tangan Rain terangkat, dia memijat-mijat pangkal alisnya tanpa merespon Haikal.

'Heh, suami telepon kok dianggurin? Lagi apa? Udah di rumah, 'kan?'

Ups, jawaban apa yang harus Rain lontarkan? Kalau dia bilang belum, sudah bisa dipastikan Haikal akan mencak-mencak tidak karuan.

"Udah, Kal, udah satu jam yang lalu."

'Bagus kalau gitu, soalnya gue lagi mood buat ngomel kalau lo belum pulang.'

"Berisik lo jamet! Pulang jam berapa? Mau makan di luar atau di rumah? Kalau emang di rumah nanti gue siapin, kalau di luar, yaudah bagus gue ga capek."

'Di rumah, ini mau prepare habis itu pulang. Tungu gue pulang ya!'

Tut!

Sambungan telepon yang terputus membuat Rain menerjapkan mata. Memang sudah biasa dengan kelakuan Haikal yang seperti itu, tetapi tetap saja rasanya sangat kesal. Rain menaruh ponselnya kembali, lalu melanjutkan nyapu dengan cepat. Ini situasi gawat, terlebih kalau Haikal sudah lebih dulu sampai.

"Bismillah semoga dia kejebak macet karna ada anak bebek nyebrang."

***

Menatap kepulangan Haikal sudah menjadi hal biasa bagi Rain. Entah pria itu pulang dengan senyum lebar ataupun dengan wajah dingin karena banyaknya masalah. Akan tetapi semua itu bisa Rain atasi secara perlahan. Seperti malam ini, suaminya pulang dengan wajah cengar-cengir entah apa yang sedang dia fikirkan.

"Abis buat salah apa lagi nih?" Kedua tangan Rain terlipat di dada sambil menatap gerak-gerik Haikal yang sedang membuka kancing bagian atasnya.

"Ga boleh suuzon sama suami, lo tau dosa ga? Heran, ga pernah takut lo ya sama dosa?"

Rain mencibir perkataan Haikal. Refleks Rain mundur dua langkah saat Haikal merentangkan kedua tangan ke arahnya. Masih dengan senyum mengembang, tidak lupa alis yang turun naik membuat seluruh tubuh Rain menyalahkan sinyal-sinyal bahaya. Dibanding tampang dingin, tampang seperti ini lah yang membuat Rain was-was.

"Mandi ga lo?" Rain menunjuk ke arah kamar mandi, dia sangat berharap kalau suaminya itu akan menurut.

Haikal mengendus tubuhnya sendiri, dia mencari letak aroma tidak sedap yang mungkin saja ada. Tenang saja, semua aman! Haikal kembali mendekat, namun belum sempat tangannya meraih pinggang ramping itu, Rain sudah lebih dulu duduk di tepi ranjang.

"Mandi, habis itu gue siapin makan."

"Tubuh lo itu kotor, gue udah mandi, lo dari luar seharian, tau kuman ga?"

Tatapan tajam sang istri tidak membuat Haikal goyah, yang ada dia semakin senang menggoda sampai istrinya tidak bisa bergerak bebas di bawah kuasanya.

"Udah berapa lama sih kita nikah? Kenapa masih kaku kayak gini? Tapi sayangnya gue makin gemes, jadi gimana dong?" Haikal menarik kedua tangan Rain ke atas, lalu dia menyatukan telapak tangannya.

Hembusan napas Haikal membuat Rain gelisah sendiri di bawah tubuh Haikal. "Mandi ga? Lo tuh kenapa sih ngeselin banget? Gue belum panasin masakan."

"Layanin gue gimana? Dapet pahala."

"Engga, mending dapet dosa. Lo juga seringnya numpukin dosa sama gue daripada pahala."

Haikal tidak menggubris, yang ada dia terkekeh saat Rain memalingkan wajahnya ke arah lain saat dirinya mulai mengikis jarak. Benar-benar menguji kesabaran seorang Haikal.

'Tok..tok..tok!'

Suara ketukan pintu yang berulang membuat Haikal menggeram karena kesenangannya terusik. Baru saja dia bisa meraih istrinya, namun semuanya buyar.

"Aunty!"

"Aunty Raina!"

Ketukan pintu kembali terdengar, Rain sempat tertawa ketika Haikal mengumpat kesal. Baik, sepertinya malam ini Raihan menjadi penyelamat untuk Rain.

"Itu anak siapa sih ya Tuhan," guman Haikal.

"Aunty!"

"Orangtuanya benar-benar kelewatan emang." Haikal menjaukan tubuhnya dari Rain lalu dia kembali berdiri dengan tegap, "pusing gue begini terus," lanjutnya sambil mengacak-acak rambut.

Rain ikut bangkit, dia membenarkan bajunya sambil menatap Haikal. Dengan dramatis dan wajah sok memelas Rain menepuk pundak Haikal sampai sang empunya mendongak menatapnya dengan datar.

"Maaf, tapi Bapak kurang hoki." Haikal mendengus kesal sambil terus menatap Rain yang berjalan untuk membuka pintu kamarnya.

Walaupun kesal, Haikal tetap tidak beranjak dari posisi berdirinya, dia menatap kedua manusia yang berbeda generasi itu dengan lekat. Mungkin saja kalau kedua buah hatinya lahir dengan sempurna, mereka akan seperti Raihan saat ini, mungkin saja bisa lebih rusuh. Fikiran Haikal kembali melayang saat Aletta menghembuskan napas terakhir di dekapannya. Jika dulu Haikal hancur karena Rain celaka, lalu keguguran, dan kehancuran Haikal semakin memuncak saat putrinya kembali pergi meninggalkan dunia untuk selamanya.

Haikal menggeleng, dia berusaha menyadarkan dirinya agar tidak kembali berlarut dengan kesedihan. Karena kalau sampai Rain tahu, pasti dia akan menyalahkan dirinya lagi. Haikal tersenyum saat Raihan melambaikan tangan ke arahnya.

Menyebalkan karena mengganggu, tetapi tingkahnya sangat menggemaskan. Itulah Raihan di mata Haikal saat ini.

"Mandi ya, Kal? Gue sama Raihan ke bawah buat siapin makan," ujar Rain sambil menutup pintu, dia sama sekali tidak menunggu jawaban Haikal.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel