Maafin Gak?
Suara cipratan minyak membuat Rain refleks mengusap dadanya beberapa kali. Walaupun sudah sering menggoreng ayam, tetap saja dia kaget. Setelah mengecilkan api, Rain mundur beberapa langakah.
"Lagi ngapain sih pagi-pagi? Tumben, biasanya belum bangun."
Rain tersentak kaget ketika tubuhnya di peluk dari arah belakang. Alih-alih senang, Rain justru memukul pelan tangan yang kini melingkar sempurna di perutnya.
"Kalau gue jatuh lo mau tanggung jawab?"
"Mana ada jatuh? Ini gue peluk, erat lagi," jawab Haikal dengan santai.
"Lo ngapain ke sini? Jam berapa sih ini?"
"Kal?"
"Hm?"
"Kalau mau tidur jangan di punggung gue, sadar diri kalau badan lo gede!"
Haikal tidak menggubris, dia tetap memeluk tubuh Rain dengan erat. Aroma tubuh yang fresh membuatnya sangat enggan berpaling. Masih dengan mata memejam Haikal terus mengikuti pergerakan Rain. Rasanya sangat percuma kalau Rain terus mengeluarkan suara, entah membentak atau memberitahu. Karena suaminya tidak akan bergeming.
Sudut bibir Rain terangkat, dia tersenyum kecil sambil mengusap lengan Haikal. Hal seperti ini memang menyebalkan karena pergerakan masaknya akan terganggu, tetapi Rain juga tidak mau munafik kalau dia senang dengan hal-hal kecil seperti ini. Masalah datang silih berganti, tetapi Rain sangat beruntung karena Haikal tetap di sampingnya.
Pergerakan tubuh Haikal membuat Rain tersadar, lalu dia membalikan tubuhnya ke arah sang suami. Melihat kedua mata suaminya masih terpejam membuat Rain tertawa kecil sambil mengusap pipinya.
"Kalau ngantuk ngapain bangun sih?"
"Tidur gue hampa ga ada lo di samping."
"Masih pagi itu haram gombal."
Kelopak mata Haikal perlahan terbuka, lalu senyumnya mengembang dengan sempurna. Nikmat Tuhan mana lagi yang Haikal dustakan? Rasanya sangat bahagia ketika matanya terbuka, wajah Rain yang terlihat. Kedua tangan kekar Haikal terangkat, dia meraih wajah Rain untuk mendekat lalu menempelkan ke keningnya.
"Gombal sama istri sendiri itu ga dosa, ga ada larangan juga. Oh iya lupa, lo 'kan lebih suka aksi ya dari pada gombal?" Belum sempat Rain menjawab, Haikal sudah lebih dulu menempelkan bibirnya.
"Aunty!"
Teriakan melengking itu membuat Rain mendorong kuat tubuh Haikal, lalu dia menatap ke arah samping dengan wajah panik. Melihat Raihan berdiri di dekat kulkas, buru-buru Rain mendekat.
"Abang? K-kamu udah bangun?"
"Udah, aunty."
Rain menggaruk pelipisnya sekilas, tiba-tiba saja jantungnya berdetak dengan kencang. Mampuslah sudah, bagaimana kalau Raihan melihat adegan tadi? Rain terus merutuki kebodohannya yang lupa kala Raihan sedang menginap.
"Abang baru dateng? Atau udah daritadi?" tanya Rain dengan hati-hati. Dalam hati Rain terus berdoa semoga jawaban Raihan tidak aneh-aneh.
"Baru turun, tadi aku nyari aunty ga ada."
Astaga! Pundak Rain seketika luruh dengan ketegangannya yang tercipta. Seperti tidak terpengaruh dengan kepanikan Rain, Haikal justru berdecak kesal karena kembali terganggu oleh Raihan.
"Abang ngapain ke sini sih?"
Raihan menoleh, dia menatap wajah Haikal dengan wajag polosnya yang bingung. "Aku nyari aunty Rain, Om."
"Kenapa ga tunggu di ruang makan? Ruang tv? Kenapa ga ke kamar aunty Silla?"
"Aku maunya aunty Rain!"
Haikal berdecak pinggang saking kesalnya. Ternyata Raihan tidak jauh berbeda dengan Ibunya yang super nyolot! Perdebatan kecil yang semakin memanas membuat Rain buru-buru menggendong Raihan lalu membawanya mendekat ke arah Haikal.
"Ayo kalian baikan dulu."
Masih dengan wajah angkuhnya Haikal membuang muka. Walaupun begitu, tangan Haikal tetap terulur kepada Raihan membuat Rain mengulum bibirnya menahan tawa. Sumpah, Rain merasa punya dua anak, belum lagi kalau Silla lagi mode oleng, lengkap sudah tiga anak.
"Aunty?"
"Iya, Bang?"
"Ad-"
"Bisa-bisanya tangan gue dianggurin?" Haikal menatap Raihan dengan horor. Tangannya sejak tadi terulur, namun anak itu lebih memilih melingkarkan tangannya ke pudak Rain.
Apa ini yang dinamakan debat sesi kedua? Rain menghela napas sambil merebahkan kepalanya di tubuh Raihan.
"Aunty, ayamnya gosong." Raihan menunjuk ke arah kompor yang mulai berasap.
Rain meringis, karena perdebatan Haikal dengan Raihan membuat Rain lupa kalau dia di dapur sedang masak! Buru-buru Rain menurunkan Raihan dari gendongannya, lalu dia mangangkat ayam tersebut. Merasa situasi mulai terbalik, Haikal mulai mepet ke meja, lalu dia pergi dengan gerakan cepat. Bagi Haikal, lebih baik menyelamatkan diri sebelum terkena amukan.
"Haikal!"
***
"Siapa yang nelepon?"
Haikal menoleh, dia mendapati sang istri tengah menatap dengan penuh selidik.
"Hana."
Rain beroh ria mendengar jawaban Haikal yang super singkat dan apa adanya. Lagi-lagi Hana, entah sikap seperti apa yang harus Rain berikan saat ini. Sedangkan Haikal, tanpa menoleh pun dia sudah tau pasti istrinya sedang melamun. Tapi mau bilang apa? Karena pada kenyataannya Hana memang menelepon.
"Lo ga usah mikir aneh-aneh, Rain. Gue sama dia ga ada apa-apa, just friend, ga lebih."
"Kal?"
Situasi mulai berbeda, dan Haikal merasakan itu. Setelah memakai jas yang Rain berikan, dia menoleh menatap sang istri dengan senyum di sudut bibirnya.
"Gimana persaan lo sama Hana?"
"Perasaan gimana?"
Rain melepaskan tangan Haikal yang berada di pundaknya lalu dia melangkahkan kakinya ke luar. "Bukannya kalian semakin dekat? Apa perasaan kalian udah sama-sama tumbuh?"
"Hey, lo ngomong apa sih? Ga ada sedikitpun perasaan gue berpaling atau terbagi, Raina. Lo dapet omongan ga enak dari mana lagi? Oma?" Haikal meraih pergelangan tangan Rain agar wanita itu berhenti berjalan.
Kini pandangan keduanya beradu, akan tetapi tidak ada kesengitan di sana. Rain tetap dengan keteduhannya, sedangkan Haikal dengan kilatan bingung dan emosi yang bercampur.
"Lo apaan sih, Kal? Gue cuma nanya, ga usah sambungin ke siapa-siapa. Kenapa lo jadi marah, sedangkan gue biasa aja?"
"Gue sama Hana ga ada hubungan lebih, lo ga usah dengerin apa kata Oma. Mereka ga berhak ikut campur, karna bahagia gue cukup ada lo. Lo, Silla, Raihan. Cukup buat gue, ga kurang sama sekali."
Rain mengangguk-anggukan kepalanya. Jawaban Haikal tidak pernah berubah, bahkan terkesan konsisten. Tetapi tetap saja Rain mempunyai hati yang bisa runtuh apalagi saat dia teringat dengan pembahasan Dewi, Omanya Haikal. Wanita paruh baya itu sangat kesal saat tahu Rain kembali gagal menjaga Aletta. Dari kejadian itu, Rain selalu disindir, bahkan Dewi tidak segan menegur dan mengungkit masalah itu di depan Rain. Ardi dan Iren mengetahui, bahkan mereka sempat protes kepada Haikal dan keluarganya. Jadilah keluarganya merenggang.
Rain juga tahu kalau Dewi ingin cucunya mempunyai keturunan, dan dia berniat mendekatkan Haikal dengan Hana. Hancur? Tentu saja. Tetapi itu dulu, sekarang Rain berusaha untuk terbiasa ya walaupun susah, sih.
"Maaf ya, Kal, maaf buat semuanya. Yaudah, mending lo berangkat, ini udah siang." Rain tersenyum sambil mengusap pelan dada Haikal.
Haikal tidak bergeming, dia masih diam dengan tubuh yang menegang menatap Rain dengan lekat. Tidak ada kemarahan di mata istrinya, tetapi Haikal sangat tahu kalau hatinya masih hancur.
"Maaf, ga lagi-lagi deh gue bahas masalah ini."
"Mau maafin ga?"
***
