Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Anggap Aja Karma

"Mau sampai kapan kamu diam, Rain?"

"Masih sanggup?"

Brak!

Suara gebrakan meja membuat Rain meringis sambil memejamkan matanya. Andai di depannya bukan Iren, sudah bisa dipastikan dia akan membentak balik orang tersebut. Untung saja toko sedang sepi, hanya ada Dina yang sedang merapihkan bunga di depan.

"Raina!"

"Astaga, Mi, Mami kenapa sih? Kalau aku kena serangan jantung gimana? Mami mau liat aku mati muda?"

Iren berdecak, dia menggoyang-goyangkan lengan Rain dengan gemas. "Jawab pertanyaan Mami, Raina! Mau sampai kapan?"

"Kenapa jadi terbalik begini sih? Bukannya dulu Mami sama Ayah ngotot nyuruh aku bertahan sama Haikal? Bahkan Ayah aja ga mau tau kesakitan apa sih yang aku rasain dulu. Sekarang apa? Kalian nyuruh aku cerai sama Haikal? Ini agak lucu sih." Rain menggelengkan kepalanya. Sudah dua bulan belakangan ini Iren terus mendesak Rain untuk mengambil tindakan.

Memang sih tidak ada orangtua yang terima anaknya diusik, tetapi ini Ardi dan Iren, dua orang yang sangat acuh kalau sudah menyangkut soal Haikal. Tetapi kali ini sikap mereka berbeda, bahkan terkesan memberi jalan. Sebetulnya Rain tidak tahu harus apa, dia juga bingung dengan rumah tangganya. Semakin bertambahnya umur, masalah semakin silih berganti.

"Apa?" Rain menatap wajah Iren dengan sengit ketika Maminya terus menatap.

"Kamu serius ga sakit hati? Dengan kesalahan yang ga murni karna kamu?"

Rain terdiam, andai saja dia bisa berteriak, mungkin kata iya sudah menggema sejak tadi. Tetapi balik lagi, Rain tidak mau membuat semuanya semakin gaduh.

"Sikap apa yang udah Haikal ambil? Cuma belain kamu doang? Omongan aja? Aksinya apa? Heh, Mami emang bukan Mami kandung kamu, tapi kalau masalahnya udah harga diri, Mami ga akan terima. Aletta meninggal bukan karna kamu, berbulan-bulan kamu jaga dia dengan baik, terus udah kayak gini cuma kamu yang dapet ga enaknya?"

Habis sudah kesabaran Iren, dia bangkit dari duduknya lalu menjauh dari anaknya yang terdiam tanpa bisa menjawab.

"Kamu hamil Aletta banyak fikiran, itu juga karna Haikal 'kan? Dia lebih banyak habisin waktu buat kerja, bahkan jalan sama perempuan lain."

"Mi, udahlah, masalah itu udah lewat, toh Haikal udah jelasin kalau dia lagi ada projek baru," sahut Rain dengan cepat.

Pembahasan seperti ini sangat Rain hidarkan sejak dulu, telinganya tidak mau lagi mendengar itu. Rain bangkit dari duduknya lalu dia menghampiri Iren. Tanpa berkata apa-apa lagi, Rain memeluk tubuh wanita yang selama ini menyebalkan tetapi sialnya sangat nyaman dijadikan tempat pulang. Sedangkan Iren hanya diam, dia membiarkan anaknya memeluk tubuhnya.

"Karna Mami ga suka kamu disalahin tanpa alasan yang jelas. Kalau kamu mau pisah sama Haikal, Mami sama Ayah ga akan ngelarang."

Alih-alih menjawab Rain justru tersenyum sambil mengeratkan pelukannya. Kalau perceraian adalah jalannya, mungkin sudah satu tahun yang lalu dia mengajukan gugatan cerai. Tetapi Rain tidak dan belum mau mengambil langkah itu. Mengingat perlakuan Haikal yang tidak berubah, membuat Rain yakin dengan jalan pilihannya.

Masalah Hana biarlah menjadi angin lalu, Rain akan mengikuti jalur yang Tuhan berikan untuknya. Rain tidak akan mengalah, dia tidak akan sudi untuk berbagi. Akan tetapi kalau seandainya dia kalah, mungkin itu takdir. Garis takdir semesta untuk rumah tangganya, dan tentu saja Rain akan menerima.

Dari arah belakang Dina menatap interaksi Rain dengan Iren. Tetapi yang membuat Dina tegang adalah, tepat di sampingnya ada Rini, Ibu kandung Raina. Tadi Dina sudah mempersilahkan masuk, tetapi wanita paruh baya itu hanya diam tanpa memberi respon. Waktu memang berlalu, tetapi hubungan Rini dengan kedua anaknya masih tetap renggang.

Setelah puas memeluk Iren, Rain melerai pelukannya. Tidak ada wajah kesedihan, justru Rain tersenyum jahil menatap Iren.

"Udah mulai perhatian nih sekarang? Udah sayang dong?" Rain menaik-naikan alisnya.

"Halah! Gue bosen liat lo nangis-nangis, makanya jadi perduli!" sahut Iren sambil mengibaskan tangannya. Sontak saja hal itu membuat Rain tertawa geli. Lo gue is back!

***

Lemparan pulpen yang kencang menandakan kalau emosi Haikal benar-benar terpancing saat ini. Otaknya sudah mumet karena pekerjaan, tetapi sekarang ditambah karena ocehan kedua teman Haikal yang datang menganggu.

"Mending lo berdua cabut, ngapain sih jam makan siang ke sini? Lo berdua itu kelamaan jomblo! Cari pacar, cari istri kek!"

Haikal medengus ketika suara tawa kembali menggema di telinganya. Andai bukan teman, andai bukan kantor, mungkin kedua pria di depannya sudah habis dia hajar!

"Apaan sih, Kal? Emosian banget jadi laki. Tadi pagi ga dapet jatah atau gimana? Atau kurang?"

"Berisik, Lang!"

"Hana apa kabar, Kal? Raina? Istri pertama sama kedua akur?"

"Langit kurang ajar!" Tendangan kaki Haikal sukses mengenai dengkul Langit membuat pria itu mengaduh kesakitan. Walaupun sakit, tetap saja tawanya tidak bisa berhenti.

Orang di samping Langit tertawa geli sampai dia pindah ke sofa. Pembahasan ketiganya memang unfaedah, bahkan tidak ada sangkutannya dengan kerjaan. Langit dan Aji sudah mengetahui masalah yang sedang Haikal hadapi. Alih-alih mendapat solusi, yang ada kini Haikal menyesal telah bercerita karena menjadi baham ejekan setiap saat.

"Ji, orang kalau udah jadi bapak-bapak beda ye? Emosian, bentar lagi juga keriput muncul."

"Mau keriput kayak apa juga tetap ganteng, iya ga beb?" Aji mengedipkan sebelah matanya ke arah Haikal, "Hana sama Rain tetap mau terima. Kalau mereka ga nerima? Kita siap nampung, Bang," lanjutnya sambil terkekeh.

"Jijik banget sumpah, hahaha!" Langit mendorong pundak Aji. Sumpah, ketawa Aji sangat menular, Langit yang awalanya sudah diam jadi ikut tertawa.

Saking gelinya tertawa, Langit menyeka air matanya beberapa kali. Lihatlah sekarang, wajah Haikal sudah sangat merah menahan emosi. Langit menutup mulutnya rapat-rapat dia berusaha meredakan tawanya sebelum kena tabokan.

"Ssttt! Diem goblok, Lang! Lo mau uang bulanan dipotong?"

"Salah! Lo berdua mau gue pecat sekarang juga?" sahut Haikal dengan cepat.

Langit dan Ajid menatap Haikal dengan horor. Kalau pembahasannya sudah seperti ini, keduanya kicep tidak bisa berbuat apa-apa. Sebetulnya Haikal sendiri tidak serius, dia hanya bercanda dan Haikal yakin teman-temannya pun tahu itu. Dia hanya kesal karena masalah Hana terus saja terungit.

"Dugem yok, Kal!"

"Sinting lo! Mana ada tengah siang begini buka?"

Kening Langit mengerut, dia menatap Aji lalu kembali menatap Haikal. "Yang ngajak sekarang siapa, Pak? Nanti malem, ya kali sekarang."

"Makasih, Lang, tapi gue kapok." Haikal memutar kursinya ke arah belakang.

"Halah, kapok soal Sella waktu itu?"

"Gue belum mau jadi duda, lo ga tau aja istri gue kayak apa kalau ngamuk. Jangankan club, gue lempar handuk aja dia mencak-mencak dua puluh empat jam," sahut Haikal tanpa menoleh ke arah Langit dan Aji.

Sebetulnya bukan hanya itu alasannya, Haikal tidak mau rumah tangganya semakin berantakan. Soal Oma dan Hana saja belum selesai, lalu ultimatum mertuanya yang tidak segan-segan mengambil Rain kapan saja. Haikal pusing, dia mengumpat membuat Langit dan Aji bangkit mendekat.

"Apa kalian ga niat program hamil? Siapa tau, Kal."

Haikal kembali memutar kursinya, dia menatap Langit dengan datar. "Masalahnya bukan itu, psikis istri gue yang masih ngambang. Dua kali, Lang, dua kali kita kehilangan. Wajar kalau dia trauma sekalipun memang dikasih kepercayaan lagi."

"Jujur aja, posisi ini emang nyakitin buat Rain. Dia yang trauma, dia yang ditekan, dia juga yang makan hati liat kedekatan lo sama Hana, ya walaupun kalian ga ada rasa. Tapi gue salut, itu cewek masih mau bertahan." Setelah mengatakan itu Aji kembali mendudukan dirinya di sofa.

"Lepas aja si Rain, Kal, kasih buat gue, gapapa deh bekas temen sendiri," celetuk Langit. Mendapat tatapan tajam dari Haikal membuatnya tersenyum lebar.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel