Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Hampir, Dikit Lagi.

Jika biasanya Rain terlibat dalam melayani pelanggan, kali ini tidak. Moodnya sudah rusak saat Iren datang lalu mengungkit masalah rumah tangganya lagi. Karena sedang tidak mood, Rain izin kepada Dina untuk ke luar lalu menitipkan tokoknya.

Hari memang masih siang, akan tetapi cuacanya sangat mendung. Hanya mendung, mendung yang belum tentu akan hujan. Entah langkah kakinya akan membawa ke mana, Rain terus berjalan menyusuri tepi jalanan yang sepi. Karena cuaca mendung otomatis hembusan angin sering sekali terjadi. Sesekali Rain mengesampingkan rambutnya agar tidak menutupi wajah.

Jika ada yang bertanya, apakah hatinya sedang sedih atau insecure? Tentu jawabannya tidak. Rain tidak sedih, dia juga tidak insecure dengan siapa pun. Apa kalian pernah mengalami di satu hari, tapi suasana hati sangat kosong? Tidak tahu apa yang dirasa, tetapi seperti ada yang mengganjal. Yah, mungkin seperti itu perasaan Rain saat ini.

   

Kilatan masalalu itu selalu hadir kala Rain termenung sendirian. Andai saja dulu Rain patuh kepada suaminya, patuh kepada larangan Frans dan teman-temannya agar tidak menemui Sella, pasti kejadiannya tidak akan seperti ini.

   

Tunggu dulu.

   

Berbicara soal Sella, seketika otak Rain tertuju kepada temannya itu. Untuk saat ini Sella sedang menjalani hukuman atas apa yang sudah dia lakukan. Sebetulnya Rain tidak tega, terlebih dia sedang berduka. Hanya dari kabar dan gosip Rain mengetahui perkembangannya. Tiga tahun berlalu, Rain sama sekali belum mengunjungi Sella ke rutan. Hatinya belum siap, hatinya belum kuat.

   

"Hai."

   

Sapaan dan tepukan di pundak membuat Rain terlonjak kaget. Bagaimana dia tidak kaget, sejak tadi berjalan sambil melamun. Rain menoleh menatap ke arah belakang untuk melihat pelaku yang baru saja mengageti dirinya. Sebelah alis Rain terangkat ketika wajah Haikal lah yang terpampang sempurna. Tunggu dulu, ini nyata atau halusinasi?

   

Rain mengucak matanya beberapa kali, namun pria di depannya masih ada. Senyum lembar yang mengembang benar-benar seperti nyata.

   

"Haikal? Kok bisa ada di sini sih? Lo kapan dateng?"

   

"Baru kok, tadi gue ke toko kata Dina lo ke luar, yaudah gue susul. Padahal daritadi gue panggilin, apa iya lo ga dengar?"

   

Rain menggelengkan kepalanya. Karena memang sejak tadi dia sedang melamun, jadi tidak fokus ditempat. Tangan Haikal terulur, dia menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Rain karena terpaan angin.

   

"Lo mau ke mana? Kenapa jalan sendirian? Kalau nanti lo diculik gimana?"

   

"Gue?" Rain menunjuk dirinya sendiri, "bahkan gue sendiri ga tau mau ke mana," lanjutnya sambil terkekeh.

   

Situasi menjadi awkward, entah kenapa Rain merasakan canggung saat Haikal meraih pundaknya, lalu dia memaksa untuk saling bertatapan.

   

"Liat mata gue, bukan yang lain. Kasih tau, apa yang lagi lo fikirin? Berbagi apapun sekalipun itu soal kesakitan," ujar Haikal dengan lembut.

   

Satu pukulan pelan berhasil mendarat di dada bidang Haikal. "Jangan mancing gue buat nangis, hati gue udah nyesek nih."

   

"Nangis aja kalau emang mau. Tapi kasih tau gue, siapa yang udah buat lo nangis? Perkataan apa lagi yang lo dengar?"

   

Rain menggelengkan kepalanya. "Gue ga mau nangis, gue ga mau lemah. Karna ga ada sejarahnya seorang Raina Faradista nang-"

   

"Kalau begini? Apa masih ga mau cerita?" bisik Haikal tepat di telinga Rain sebelum wanita itu melanjutkan kata-katanya.

   

Pelukan itu masih sama hangatnya, tidak ada yang berubah, tidak ada yang kurang, semuanya tampak nyaman. Ingin Rain memeluk balik, bahkan kedua tangannya sudah terangkat namun dia kembali menjatuhkan tangannya ke posisi semula.

   

"Ga tau kenapa, gue benci sama lo. Tapi gue lebih benci sama diri sendiri. Kenapa ya, Kal, dulu kita harus ketemu? Kalau tau akan kayak gini, gue lebih milih penolakan HRD daripada dateng ketemu lo."

   

"Hidup gue runyam semenjak sama lo."

   

"Gue jadi cengeng tiap dekat lo."

   

"Iya," jawab Haikal dengan singkat.

   

"Lo jahat, tapi gue ga tau kejahatan apa yang udah lo perbuat. Bingung ya sama perkataan gue? Jangakan lo, gue aja bingung habis ngomong apaan. Asli ya, si Raina ini ga jelas." Rain terkekeh di dalam dekapan Haikal.

   

Walaupun sejak tadi Haikal hanya diam, tangannya sangat aktif mengusap kepala dan juga punggung sang istri. Tidak ada dekapan balik, kedua tangan Rain masih bergelantung di sisi kanan dan kirinya.

   

"Coba Aletta ada di sini ya? Pasti sekarang kita lagi jalan bertiga, spam story."

   

"Aletta udah bahagia, dia udah jadi malaikat cantik di atas sana. Malaikat yang akan jemput kita nanti. Bisa kasih tau gue ga, siapa yang buat lo kayak gini?" tanya Haikal dengan suara pelan. Entah kenapa kalau sudah melihat Rain seperti ini, rasa emosi Haikal ikut tersulut.

   

"Mami nyuruh gue cerai sama lo."

   

Singkat, padat, jelas. Penuturan Rain sukses membuat Haikal membisu, otaknya kembali pusing memikirkan ini semua. Ini rumah tangganya, akan tetapi semua orang berlomba-lomba menjadi pemecah.

"Lo tau sesayang apa gue sama lo, 'kan?"

   

Rain mengangguk.

   

"Apa lo udah muai goyah lalu mau ikutin semuanya?"

   

Kali ini Rain terdiam. Pertanyaan Haikal memang simple, tetapi susah untuk Rain jawab. Goyah? Menyerah? Hampir, sedikit lagi.

   

"Ga ada sejarahnya gue nyerah sama perkataan orang. Gue hanya nyerah ya nanti, kalau gue benar-benar kalah dari semuanya bahkan kalah dari permainan semesta."

   

Sudut bibir Haikal terangkat, cukup puas dia mendengar jawaban Rain yang masih di dalam dekapannya.

   

"Tapi gue juga ga suka berbagi. Gue ga suka berbagi lo sama Hana, sekalipun kalian cuma ngobrol atau di suruh sama Oma." Rain melepaskan dirinya dari pelukan Haikal, lalu dia kembali berjalan ke arah depan.

   

"Makan siang yuk? Gue ke sini emang niatnya mau ajak makan siang bareng."

   

"Kok ngalihin pembicaraan?"

   

Mampuslah, Haikal gelagapan sendiri mendengar pertanyaan Rain. Haikal berdeham sambil mendekatkan dirinya ke arah Rain. "Gue ga ngalihin, gue cuma bosen sama pembahasan ini. Satu hal yang ga akan pernah berubah, yaitu hubungan gue sama Hana. Sekali teman ya tetap teman."

   

"Sip." Rain mengacungkan jempolnya. Walaupun dia tidak sreg dengan jawaban Haikal, tetapi biarlah daripada pembahasan terus berlanjut tanpa henti.

   

Haikal yang berdiri di belakang hanya diam, dia memicingkan matanya seraya menatap punggung Rain secara rinci. Tanpa aba-aba Haikal meraih tubuh Rain lalu menggendong layaknya anak bayi. Tindakan mendadak itu membuat Rain kaget, bahkan dia memekik kencang.

   

"Lo apaan sih?! Turunin gue ga?"

   

"Gue laper, pembahasan kayak gini ga bikin perut gue kenyang. Tadi udah gue ajakin baik-baik malah ga mau.

   

Tidak perduli tatapan orang, bahkan Haikal tidak perduli tubuhnya dipukuli Rain, dengan entengnya Haikal membawa masuk tubuh ramping itu ke dalam mobil.

"Dina, pinjam istri gue dulu ya!"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel