Jadi kekasihku
Mr. Scott tertawa, “Akhir-akhir ini kamu terlalu banyak bicara, Jaxx.”
“Itu karena kamu terus mempermainkanku. Mr. Scott.”
“Nyatanya tetap aku yang mengeluarkanmu dari penjara.” Setelah wajah Jaxx melunak, “Ambil proyek galeri itu dan temukan barangku di sana. Jangan membuang-buang waktu.”
Jaxx langsung pergi dari ruangan Mr. Scott dan ikut mencari Johan.
***
Tiga hari berlalu, Bill yang pergi selama tiga hari juga, belum membawa kabar baik, membuat Jaxx bingung. Ke mana kiranya Johan pergi? Tak sabar, dia pun langsung menelepon Bill, “Apa kau ketiduran di jalan?”
Bill, “Maaf, Mr. Jaxx. Sepertinya Johan disekap oleh orang penting, aku sudah menyebar semua anak buah kita, tetapi mereka tetap tak menemukan Johan di mana pun.”
Jaxx langsung menutup telepon itu dan panggilan lain masuk, nomor yang bahkan tak dia tahu siapa pemiliknya. Namun, Jaxx tetap mengangkat telepon itu, “Ya?”
Seseorang di ujung saja tertawa, “Suaramu sangat berat, kurasa kamu sedang mengalami kesulitan saat ini.”
Jaxx langsung membuang napas kasar, “Kau berhasil mendapatkan nomorku? Apa kau begitu bekerja keras untuk mendapatkannya?”
Orang itu tertawa lagi, “Apa itu penting? Kau begitu merindukanku sampai menungguku selama ini?”
“Brengsek!” Jaxx meludah, siapa yang meneleponnya saat ini, sangat membuatnya muak.
“Apa aku kehilangan Johan?”
Jaxx mengepalkan sebelah tangan, “Aku tak menyangka kau benar-benar mencuri tawananku.”
“Ha, ha, ha, dan aku tahu, kau pasti bisa menjemput Johan sendiri. Di mana dia sekarang, bukankah itu adalah tempat yang begitu berkesan untuk kita ... Mr. Jaxx?”
Jaxx menutup telepon dan menelepon Bill, menyebut sebuah tempat, dan mengajak semua anak buahnya ke sana. Benar saja, di sana Johan sudah terikat di kursi dengan mulut dilakban, dan mata berair. Jaxx langsung melepas lakban itu dan duduk di depan Johan, “Pria sepertimu bisa menangis sepanjang malam?”
Johan menggeleng, “Tolong, lepaskan aku, anakku masih kecil-kecil, aku akan mengembalikan uang itu beserta dengan bunganya, minta saja kurang berapa, aku akan langsung mengirimnya padamu hari ini juga. Tolong, lepaskan aku, Mr. Jaxx.”
Jaxx tertawa, “Aku tidak membutuhkan uangmu, aku hanya ingin proyek pembangunan galeri itu, bergabung dengan Max Konstruksi. Apa begitu saja sangat sulit untuk dimengerti?”
Johan menggeleng dan menangis lebih keras, “Tolong, pahamilah keadaanku, Mr. Jaxx.”
“Apa aku melewatkan sebuah pesta?”
Semua orang menoleh, termasuk Jaxx, melihat ada Hans di sana, musuh bebuyutan Jaxx, rasanya tak bisa menahan tawanya, “Apa kau masih berlindung di bawah ketiak wanita tua itu?”
Hans meludah dan mengacungkan pistol ke Jaxx, “Kepalamu harganya sangat mahal, aku tidak sabar untuk membeli pulau dengan vila megah di tengahnya, berpesta setiap malam, ditemani wanita cantik yang bisa memuaskanku. Apakah rencanaku terdengar bagus?”
“Ya, hanya saja aku tidak yakin kamu berani membunuhku.” Jaxx tersenyum, memukul tangan Hans sampai pistol itu terjatuh ke lantai, dan langsung memungutnya hingga keadaan menjadi cepat berbalik. Meski begitu, Jaxx tak terlalu senang karena semua anak buah Hans menodongkan pistol ke arahnya sekarang. “Aku mengenalmu dengan baik, pria sepertimu tidak akan pernah bisa membidikkan pistol dengan benar, tangannya gemetar karena dia seorang pecundang.”
“Brengsek!” Hans berniat memukul Jaxx, tetapi pistol itu lebih dulu menggores pundak, dan membuatnya berlutut seketika, “Tembak dia!” Anak buahnya pun mulai berkelahi dengan anak buah Jaxx. Dia bangun dengan susah payah, anak buahnya yang lebih banyak jumlah, membuat anak buah Jaxx kalah, tetapi luka di pundaknya, membuatnya tak berkutik saat Jaxx datang meremas pundak dan menjadikannya sandera.
“Apa kalian ingin dia mati?” Jaxx tersenyum melihat anak buah Hans berhenti menyerang, “Bawa Johan pergi!” Setelah anak buahnya ke luar bersama Johan, barulah Jaxx mendorong Hans ke arah anak buah Hans sendiri, “Sebelum membunuhku, tanyakan dulu pada wanita tua itu, apakah dia sudah merelakanku untuk mati? Kalau dia menjawab ‘ya’, aku akan menyerahkan diriku pada kalian.” Jaxx melempar pistol itu ke Hans dan pergi bersama anak buahnya.
***
Entah sudah berapa lama Erica menunggu, tetap tak melihat Jaxx atau bahkan anak buahnya mampir ke kedai kopi, terlebih di saat sepi seperti itu, Erica hanya bisa cemberut seharian. Apakah salah dia menunggu Jaxx? Pria itu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun dan membuat Erica terus bingung sampai hari ini.
Ting. Ting.
Erica menoleh dengan semangat, sedangkan wajah di sana bukankah seseorang yang ditunggunya, meski begitu, keadaan orang itu membuatnya heran, “Hans, ada apa dengan pundakmu?”
Hans tersenyum, “Hanya kecelakaan kecil. Mocca satu. Rasanya lama sekali aku tidak ke sini.”
Jessie tersenyum, “Aku yakin kamu ke sini karena Erica, bukan Mocca-nya.”
Hans tertawa, menoleh ke Erica, melihat rona di pipi, membuat hatinya mengembang, “Aku masih bisa menyetir, apakah kamu mau makan malam bersamaku?”
Erica bergeming sebentar, dia memang harus pulang sebentar lagi, tetapi dia tak terlalu tertarik dengan Hans. Meski pria itu tampan, Erica merasa Hans bukan tipenya, dan karena itu pula, rasanya sangat berat untuk menerima tawaran barusan. “Mungkin lain kali setelah pundakmu sembuh. Jangan memaksakan diri, Hans.”
Jessie menengahi, “Kalian bisa makan di restoran seberang jalan. Baru buka minggu lalu, rasanya juga enak, kalian tidak akan kecewa makan di sana.”
Erica yang tak bisa lagi mengelak, akhirnya mengangguk juga, “Aku selesai satu jam lagi, Hans.” Mendekat untuk mengantar Mocca pesanan Hans.
Jessie tersenyum, “Tidak masalah, aku bisa mengatasinya malam ini, pergilah, Erica. Kamu dan Hans sedang memiliki kepentingan, kan?”
Hans mengangguk, “Terima kasih, Jessie.”
Kini Erica dan Hans duduk berhadapan, dengan dua mangkuk ramen dan jus alpukat, serta Mocca yang baru saja dibeli tadi. Erica tersenyum, “Aku benar-benar tak ingin merepotkanmu, Hans.” Melihat beberapa orang yang selalu menemani Hans berjaga di luar restoran, cukup mengganggu, dan itulah salah satu hal yang tak disukai Erica dari Hans.
“Aku tidak pernah repot menghadapimu, Erica. Bagaimana menurutmu rasanya? Apa cocok dengan lidahmu?” Hans mulai menikmati ramen lebih dulu agar Erica tak terlalu membuang kalimat-kalimat canggung padanya.
Erica menghela napas dan mulai menikmati makanannya, “Rasanya enak, lebih enak dari ramen yang dijual di kampusku.” Melahap lagi.
“Aku senang mendengarnya.” Hans tersenyum sambil menatap Erica, “Kudengar kamu mengerjakan tugas terakhir, setelah empat tahun kuliah, apakah ada yang dekat denganmu? Seseorang yang spesial?”
Erica menggeleng, “Aku tidak pernah memikirkannya, Hans. Mereka semua sering membuatku jenuh, teman sekelasku memiliki selera yang aneh, dan aku tidak ingin terlibat dengan mereka.”
Hans menghela napas lega mendengar jawaban Erica, “Lalu? Bagaimana denganku? Aku menyukaimu sejak lama dan kurasa kamu pun juga tahu tentang itu. Apakah kamu mau menjadi kekasihku, Erica? Menerima perasaanku?”
