Ini akan membuatmu rileks
Erica berhenti mengunyah dan meletakkan sumpit, “Hans, bukankah ini terlalu cepat? Aku tahu kita memang sudah lama saling kenal, tetapi dengan keadaanku yang begitu jauh denganmu-”
“Aku tidak peduli dengan apa pun keadaanmu, Erica.” potong Hans.
“Aku tahu. Setidaknya biarkan aku berusaha agar lebih seimbang denganmu, agar lebih pantas di sampingmu, setelah ujian akhir ini, aku yakin bisa menjadi apa yang aku impikan, dan saat itu aku akan memikirkan pertanyaanmu.” Erica tak bisa menolak Hans terang-terangan. Pria itu baik dan lembut, tetapi hatinya tak pernah bisa terima. Tak ada yang menyukainya selama ini, apa karena Jaxx? Bahkan kalau dipikir Jaxx pun juga tak menyukainya. Apa yang Erica harap?
Hans menghela napas, “Baiklah. Aku ingin semua tetap baik sampai kamu bisa menjawab perasaanku, Erica.”
Erica tersenyum dan mengangguk. Lanjut makan, ingin pertemuan ini segera usai, dia tak tahan dengan tatapan banyak orang di sekitarnya. Hans terlalu mencolok dibanding dengannya yang terlalu biasa begini.
***
Entah hari berlalu sampai kapan lamanya, Erica tak menghitung, dia hanya tahu kalau hatinya semakin lama semakin kacau, tetapi sebelum dia benar-benar putus asa, lonceng di pintu kedai berbunyi, Bill dan Abi datang, Erica menyambut dengan penuh semangat.
“Hai, Erica. Mocca satu. Mr. Jaxx sedang sibuk, jadi dia tidak ikut.” Bill menoleh, “Kau?” Setelah Abi memesan, dia duduk bergabung dengan Jessie, sekedar bercengkerama, lama-lama kedai kopi ini terasa hangat, seperti pulang ke rumah rasanya.
Erica mengantar pesanan Bill dan Abi, ikut duduk di sana, meski pembicaraan semakin lama semakin hambar, Erica tetap tersenyum menanggapinya. Sampai akhirnya Erica menyerah, “Apakah aku boleh titip sesuatu untuk Jaxx?”
“Ya, tentu saja.” jawab Bill.
Erica menyerahkan kunci ke Bill, “Setiap Sabtu aku di galeri sepanjang hari, menyiapkan tugas akhir dan apa pun yang menyangkut hobiku, tolong sampaikan ke Jaxx, aku akan menunggunya di sana. Dengan itu dia bisa masuk kalau aku ketiduran.”
Bill mengangguk, “Aku akan menyampaikannya.” Sepulang dari kedai kopi, Bill dan Abi langsung menemui Jaxx, “Ini dari Erica.” Langsung memberikan kunci tadi, “Dia menunggu setiap Sabtu.”
Jaxx hanya menatap kunci itu sekilas, “Aku sudah bilang kalau aku selalu sibuk?” Jaxx masih mengurus semua hal dengan laptopnya.
Bill mengangguk, “Dia tetap menyuruhku akan memberikan itu.”
Jaxx menghela napas dan menoleh ke Abi, “Aku ingin bersenang-senang malam ini. Apa kamu mengikuti Johan?”
Abi, “Ya, aku menyuruh tiga orang berjaga, sesuai jadwal, besok pertemuan dengan Mr. Scott, sorenya akan ada peninjauan di lokasi yang kita targetkan.”
“Bagus! Kita pulang, aku akan mandi dan cari makan, baru setelah itu bersenang-senang.” Jaxx menyimpan apa yang baru dikerjakan dan mematikan laptop. Baru setelahnya ke luar dari ruang kerja yang selalu menguras tenaga itu.
Hampir tengah malam, bar yang didatangi terlalu membosankan, Jaxx tak tahu kenapa tempat ini jadi tak menyenangkan begini sekarang.
“Hai, Tampan.” Wanita cantik mendekat dan langsung duduk sambil membelai paha Jaxx, “Sangat sayang kalau malam ini dilewatkan begitu saja.”
Jaxx terkekeh, “Pergilah, aku sedang malam meladenimu.” Jaxx meneguk minumannya lagi.
Wanita itu tertawa, “Aku punya sesuatu yang bisa mengusir pusing di kepalamu, Tuan. Semua akan terlupakan dan otot-ototmu menjadi rileks, setelah itu kita bisa bersenang-senang sampai pagi.”
Jaxx terkekeh lagi, “Apa memangnya?”
Wanita itu memamerkan pil di telapak tangannya, “Sungguh, ini akan membuatmu rileks, Tuan.”
Jaxx mengambil pil itu dan meneguknya, terang saja, tubuhnya memanas, dia pun menoleh dan tertawa menatap wanita itu, “Di mana kamarnya?”
Wanita itu berdiri lebih dulu dan mengajak Jaxx ke kamar yang biasa digunakan untuk menyenangkan tamu. Permainan bertempo terlalu cepat, bahkan di saat dirinya sendiri belum siap, dan durasinya juga cukup lama. Tak hanya itu, bahkan lutut wanita itu rasanya kebas dan Jaxx tetap tak berhenti, “Apakah, ahhh, masih lamaaa? Oghhh, Jaxx.”
Jangan wanita itu, Jaxx saja tak mengerti kenapa dengan dirinya, pikirannya seolah berada di tempat lain, dan miliknya yang tak mau menyerah, membuat Jaxx memilih mencabutnya saja, dan langsung memakai kembali pakaiannya, “Ini cukup untukmu beristirahat selama beberapa hari.” Jaxx ke luar dari kamar itu dan mengajak Bill dan Abi pergi.
Tanpa banyak tanya, Abi langsung pulang, ketiganya hanya diam, bahkan tak ada musik yang beralun, hingga saat hampir masuk garasi, Abi berhenti ketika Jaxx memanggilnya, “Ya, Mr. Jaxx?”
“Antar aku ke tempat Erica.” Jaxx rasa apa yang terjadi karena Erica, dia harus menjernihkan pikirannya lagi sebelum semua semakin runyam.
Abi melempar pandang ke Bill, “Tetapi ini hampir pagi, Mr. Jaxx.”
“Siapa yang peduli? Antar saja aku ke sana.”
Abi pun memutar kemudi dan menuju rumah Erica.
Di tempat lain ... alarm berdering membelah hening. Erica menggeliat dan mandi sebelum mendekat ke meja seninya. Melihat lukisan Jaxx setengah jadi, dia pun tersenyum, “Apa dia akan ke sini hari ini?” Rasanya jadi malu sendiri memikirkan Jaxx. Pria itu tak tergapai dan dia tetapi mencintai dengan gila. “Ayolah, Erica! Kau harus fokus kalau mau lulus dengan nilai bagus.” Erica pun membuka jurnal dan mulai mengerjakan tugas.
Sepertinya cukup lama, Erica menggeliat merasakan punggung yang mulai lelah, dia pun bangun, mencari sesuatu di kulkas, roti dingin itu sepertinya cukup untuk mengganjal perut. Segigit demi segigit dan akhirnya Erica tersenyum, “Rasanya sangat lama aku melakukan hal seperti ini dan tetap tidak ada yang berubah. Apa aku terima saja tawaran Hans? Tidak ada yang memperhatikanku dengan benar seperti Hans, tetapi bagaimana dengan Jaxx?” Erica tersenyum dan menggigit rotinya lagi sambil menghela napas.
Klik.
Erica menoleh mendengar pintu studionya dibuka oleh seseorang, terlebih dengan sosok yang berdiri di sana, untuk sekedar tersenyum saja rasanya canggung, dan Erica berdiri dengan tubuh yang setengah kaku, “Jaxx?”
Jaxx mengedipkan mata, mendengar suara itu, dia langsung menoleh dan mendekat ketika menemukan Erica, lalu berdiri tepat di depan Erica.
Erica seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya, “Jaxx, kamu-” Tak sanggup melanjutkan ucapannya karena Jaxx sedang memagutnya saat ini.
Jaxx tersenyum, “Aku tidak tahu kau sedang makan roti.”
Erica menunduk dan menggigit bibir bawahnya sendiri.
Jaxx langsung menarik dagu Erica agar menatapnya, “Jangan pernah menggigit bibirmu, kalau kau ingin, aku akan menggigitkannya untukmu.” Memagut bibir Erica lagi, bahkan memeluk juga, Jaxx merasa darahnya berdesir dengan cepat, dia pun menggendong Erica dan mengedarkan pandangannya, “Di mana kamarmu?”
Erica menunjuk tempat tidur, “Di sana. Kamu bisa beristirahat, aku tidak akan mengganggumu, Jaxx.”
Seolah tuli, Jaxx langsung ke sana dan menurunkan Erica, lalu membuang pakaian yang dikenakan, “Aku ingin meminta bayaranku, Erica. Kau bilang akan memberikan apa pun, kan? Aku ingin minta ini. Apakah kamu keberatan? Sebelum karyamu jadi adalah waktu yang tepat untuk membayar karena aku tidak mau kau kabur setelah mendapatkan nilai sempurna.”
Erica cukup dewasa untuk tahu apa maksud ucapan Jaxx, meski dia tak pernah melakukannya, bukan berarti tidak tahu, dia pun juga mulai melepas pakaiannya seperti apa yang Jaxx lakukan, “Aku ... aku belum ... belajar dengan baik, Jaxx.” Dia lupa harus belajar apa saat bertemu dengan Jaxx begini. Erica takut Jaxx kecewa dan pergi begitu saja seperti kemarin.
Jaxx terkekeh, “Buka saja kakimu dan aku akan mengajarimu bagaimana cara belajar dengan benar.”
Meski malu setengah mati, Erica tetap membuka kakinya seperti yang dikatakan Jaxx, membiarkan Jaxx melakukan apa pun di bawah sana, dan Erica meremas selimut untuk menahan gejolak yang sulit untuk diartikan.
Jaxx mendongak, “Mendesahlah, Erica. Aku ingin mendengar suaramu. Kau harus mendesah saat kusentuh.”
Erica mengangguk. Saat Jaxx menjilat kembali, dia pun melakukan apa yang Jaxx perintah, “Aahhh, ooughhh ....”
Jaxx merayap, “Panggil namaku, Erica.” Menggesekkan miliknya dan siap memasuki Erica.
“Ooughhh, Jaxx. Ahhhh, ooughhhh ....”
***
Erica terbangun. Satu-satunya jendela menunjukkan sudah tengah hari dan tangan Jaxx yang melingkar di perut, menegaskan kalau apa yang baru saja terjadi memang nyata. Sambil meringis, Erica turun perlahan dari kasur, senyumnya juga mengembang. Meski baru kehilangan, tak akan kecewa karena Jaxx orangnya, pria tampan itu memikat hati dengan keterlaluan.
Jaxx menggeliat. Sisi di sebelahnya kosong, dia pun bangun, dan mandi. Baru saja keluar dengan handuk yang melilit, Erica datang dengan kantong di tangan, “Kau meninggalkanku?” Berjalan ke lemari pakaian Erica, melihat satu kaos cukup besar, Jaxx mengenakannya.
Erica meletakkan makanan di meja dan mendekati Jaxx, “Sepertinya ini cukup.” Setelah Jaxx menerima celana pendek itu, Erica kembali ke meja tadi, “Aku membeli makanan. Hanya ini yang paling dekat. Untung saja aku kembali tepat waktu.” Tersenyum saat Jaxx menatapnya dan menyodorkan makanan yang sudah ditata di piring.
Jaxx menatap makanan itu, “Tidak buruk.” Melahap, menghabiskan dengan cepat, dan meneguk juga apa yang Erica disiapkan Erica, “Aahhhh ... kau libur hari ini? Tidak ke kedai?” Jaxx berdiri, dia tertarik dengan apa yang ada di studio ini, jadi dia berkeliling untuk melihat-lihat.
“Iya, setiap Sabtu aku mengambil libur, aku harus menyelesaikan semua tugasku. Aku ... senang kamu datang, Jaxx. Meski mungkin bukan Sabtu, aku pulang jam sembilan.” Erica merapikan bekas Jaxx dan menyusul Jaxx.
“Kau yang membuat semua ini?” Jaxx mengambil patung-patung kecil seukuran botol minuman dan mengagumi karya Erica dalam hati.
Erica tersenyum, “Ya. Kelasku cukup mahal, dengan sedikit karya yang tak seberapa itu, aku bisa membeli bahan lain. Cukup menguntungkan.”
“Setelah lulus?” tanya Jaxx.
“Menjadi seniman di Galeri Aganta gajinya sangat besar, tetapi mereka tidak pernah menerima seniman jalanan, setelah aku lulus dengan karya pertamaku, aku akan ke sana. Aku ... ingin hidup lebih baik.” Erica memang memimpikan itu selama ini.
Jaxx menghela napas, “Kurasa kau hanya terinspirasi patung Cleopatra kemarin.” Meletakkan patung kelinci yang dipegangnya, tetapi sebuah patung di tengah meja terlalu mencolok, dan Jaxx langsung menoleh ke Erica, “Apa ini?”
Erica menoleh, “Ouh!” Mengambil kain dan menutupinya, “Aku ... itu ... hm ....” Menggigit bibir bawahnya karena tidak tahu harus mengatakan apa.
Jaxx menarik dagu Erica dan mencium bibir Erica singkat, “Sudah kukatakan, jangan gigit bibirmu, kau bisa memintanya padaku kalau ingin menggigitnya.” Erica menunduk dan Jaxx kembali membuatnya mendongak, “Patung apa itu?” tanyanya lagi yang masih penasaran.
“Aku ... kamu ingin aku ... tahu ukuranmu, kan? Jadi ... aku membuatnya.”
“Lalu?” Jaxx tak habis pikir dengan miliknya yang menyerupai patung di meja studio Erica.
“Hm ... sepertinya ... ukurannya kurang tepat. Aku akan memperbaikinya.” Erica mundur karena Jaxx terus mendekatinya.
Terkekeh, “Aku tidak tahu kalau kamu benar-benar mesum.” Melihat Erica tersudut di meja makan, Jaxx mengurung dengan dia tangan di sisi agar Erica tidak kabur.
“Kamu bilang akan kembali setelah aku bisa melakukannya dengan benar, kan? Jadi, aku ... belajar meski belum baik.”
Jaxx tertawa mendengar jawaban Erica, “Menurutmu itu dilbo dengan ukuranku?”
“Aku hanya membutuhkan alat untuk belajar, Jaxx.” Erica menggigit bibir, merasa tersudut dengan semua pertanyaan Jaxx, dan seperti biasa, Jaxx menarik dagu dan mencium bibirnya.
Jaxx menghela napas dan berjalan untuk duduk di sofa, melepas celana yang dikenakan, dan menantang Erica, “Tunjukkan apa yang kamu pelajari padaku.”
“Sekarang? Bukankah kita baru saja melakukannya tadi?” Erica tetap enggan mendekat.
“Memangnya kenapa? Kamu sendiri yang bilang kalau bahan senimu harganya mahal, kan? Tentu saja bayaranku juga mahal. Kalau aku menginginkannya lagi? Apa itu juga menjadi salahku?” Jaxx tahu berdebat dengan Erica memang mudah.
Erica menghela napas dan mendekati Jaxx. Berlutut di depan Jaxx dan siap melakukan apa yang dipelajari meski tak yakin semuanya baik.
Baru saja melihat Erica mengikat rambut, Jaxx menunjuk meja studio Erica dengan dagunya, “Ambil dasiku yang kau simpan. Gunakan itu, Erica. Aku ingin apa yang kamu kerjakan, membawa nilai sempurna untuk karyamu, jadi lakukan semuanya dengan baik dan sesuai dengan arahan dariku.”
Erica berdiri kembali dan mengambil dasi Jaxx sebelum kemudian berbalik dan berlutut seperti tadi.
Di tempat lain ... Mr. Scott berjabat tangan dengan Johan, “Setelah ini aku akan mengirim seseorang untuk menjagamu dan keluargamu. Jangan kawatir.”
Johan mengangguk, “Terima kasih, Mr. Scott. Aku pulang dulu.”
Seseorang masuk tanpa mengetuk dan tersenyum melihat Scott menatapnya nyalang, “Selamat siang, Mr. Scott. Kau bekerja di hari Sabtu?”
