Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 : Revan

"Permisi Tuan Revan, sa-ya akan membuka kemeja baju anda."

Revan bisa merasakan jemari pelayan baru itu gemetar saat membuka kancing kemejanya satu per satu. Hampir saja Revan tidak sabar atas pelayanan dari pelayan baru itu. Belum sempat menegurnya, tiba-tiba aroma mint yang menyegarkan menguar menyapa indera penciumannya.

"Harumnya.. Apa ini aroma tubuh pelayan baru itu?" gumam Revan tanpa suara. Sekali lagi, Revan menarik napas panjang untuk lebih menikmati aroma segar dari pemiliknya. Karena matanya tidak bisa melihat, inderanya yang lain menjadi lebih sensitif. "Aneh, biasanya aku tidak peduli, bahkan merasa muak dengan parfum-parfum murahan yang dipakai para pelayan di vila. Tapi, aroma mint ini... berbeda."

Srek-srek..

Revan merasakan sentuhan ringan di bahunya ketika pelayan baru itu berupaya melepaskan kemejanya. Kedua tangan Revan mengepal kuat ketika merasakan kedua tangan pelayan itu ragu-ragu menyentuh kulitnya. Denyutan tak terduga dari milik pusakanya, membuatnya tersentak kaget.

"Brengsek!" umpatnya tanpa suara.

"Ma-maaf Tuan Revan, a-pa saya menyakiti an-da?" tanya pelayan itu panik dan menjauh.

Aneh! Perasaan apa ini? Tiba-tiba saja perasaan kecewa dan kehilangan melanda Raven ketika merasakan pelayan itu menarik diri darinya. Namun untuk menutupi perasaannya, Revan malah membentaknya kasar...

"Tidak! Cepat selesaikan!" 

"Ba-baik." 

Bibir Revan tersenyum miring saat merasakan sentuhan itu lagi. Tangan-tangan mungil nan halus itu mulai bergerak cepat untuk meloloskan kemeja dari tubuh maskulinnya. Ketika pangkal pahanya kembali berdenyut lagi, Revan menarik napas panjang, mencoba untuk bersikap santai.

Oh, betapa dirinya merindukan gairah yang dikiranya telah padam akibat kecelakaan yang menimpanya. Dulu, gairah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitasnya. Wanita demi wanita berdatangan silih berganti, berebut untuk memuaskannya, tanpa terkecuali Diana, tunangannya. Namun, kecelakaan sialan itu telah merenggut kemampuannya sebagai pria.

"Siapa sebenarnya pelayan baru ini? Dia gadis perawan atau wanita dewasa? Atau jangan-jangan dia seorang janda kembang?" Revan bertanya -tanya dalam hati. "Kenapa dia begitu mudah membangkitkan gairahku? Bahkan Diana pun tidak sanggup membangkitkan minat milik pusakaku untuk beraksi, sekalipun dengan sentuhan erotisnya yang biasanya selalu kusukai. Aneh! Pelayan ini hanya menyentuh ala kadarnya, tapi naluri jantanku langsung bereaksi. Aku..."

Lamunan Revan terhenti ketika mendengar suara pelayan itu terkesiap lirih.

Bibir Revan tersenyum miring, jantungnya pun bergemuruh bangga, menikmati pujian lirih dari pelayan baru itu yang mengagumi dada bidang serta perut yang berkotak-kotak. Meski dirinya hanya duduk di kursi roda selama setahun terakhir, namun hasil latihan gym bertahun-tahun membuat tubuh macho nya masih sanggup menghipnotis kaum hawa.

"Heh! Mau berapa lama kamu membiarkanku kedinginan?" Revan mengumpat ketus karena pelayan di depannya hanya bengong menatap dada telanjangnya. Meski dirinya buta, namun Raven tetap bisa merasakan tatapan yang menghujam ke arahnya. Revan semakin frustasi karena denyutan sialan itu semakin menggila.

"Maaf Tuan Revan. Saya hanya.. saya hanya..," ucap pelayan itu gugup. Lalu terburu-buru meraih salah satu lengan Raven dan... "Ini kemeja anda."

"Hmm. Siapa namamu?" 

"Lilac. Nama saya Lilac, Tuan Revan."

Mendengar jawaban gugup dan panik dari pelayan baru itu, Revan memijat pangkal hidungnya. Sebenarnya Revan tidak ingin menakut-nakuti Lilac dengan sikap kasarnya. Namun dalam setahun terakhir, kondisi tubuhnya yang rapuh dan melemah akibat kecelakaan, seringkali membuatnya tak sabar dan jengkel.

Revan yang biasanya penuh vitalitas, kini hidupnya harus bergantung penuh pada orang lain. Ketidakmampuan tubuhnya, karena tidak bisa melihat, bergerak bebas, dan yang lebih parah lagi tidak mampu melakukan aktivitas ranjang, membuat Revan tidak terima. Hal itu membuat temperamennya menjadi sangat buruk. Para pelayan selalu bersikap defensif padanya, tidak terkecuali Lilac saat ini.

"Setelah ini, bantu aku mencukur jenggot. Kamu bisa kan?" Revan kembali bertitah dengan ketus.

"Tapi sa-ya belum pernah melakukannya."

Revan menggeram tak suka. "Buka ponselmu sekarang! Lihat toturialnya di internet, lalu langsung praktekkan. Ingat, jangan sampai menggores wajahku. Aku akan membunuhmu kalau membuatku lecet."

"Ba-baik Tuan Revan."

Revan hanya menunggu tidak lebih dari lima menit. Salah satu alisnya terangkat saat mendengar Lilac bertanya..

"Dimana saya bisa mendapatkan perlengkapan cukur anda, Tuan Revan?"

"Harusnya ada di wastafel," jawab Revan dengan nada sedikit kagum atas kemampuan Lilac yang mampu memahami hal baru dengan cepat. "Kamu sudah bisa? Sanggup mencukur jenggotku tanpa membuatku terluka?"

"Akan saya usahkan," jawab Lilac menyakinkan. "Sekarang, saya akan membawa anda ke wastafel untuk memudahkan mencukur."

Revan merasakan kursi rodanya bergerak, lalu berhenti. Sebuah handuk lembut dililitkan di area leher dan dada, agar air tidak membasahi kemejanya.

"Saya mulai ya."

"Hmm."

Revan menggertakan giginya ketika Lilac, si pelayan baru itu mulai menyapukan busa lembut di sekitar wajahnya. Tangan mungilnya yang awalnya bergerak ragu, lambat laun semakin cekatan dengan pisau cukur.

Hembusan napas hangat bercampur aroma mint yang menguar dari tubuh pelayan itu, benar-benar membuat Revan mabuk kepayang. Kedua tangannya terasa gatal, ingin rasanya menarik pinggang Lilac dan memeluknya erat. Revan juga tidak sabar ingin melumat bibirnya. Terlebih milik pusakanya yang kini menggeliat bak raksasa yang terbangun dari tidur panjangnya, merindukan untuk dibalut kehangatan yang membawanya pada kepuasan.

"Sudah selesai, Tuan Revan."

Revan tersentak dari lamunan erotisnya. Gugup, seolah kepergok berbuat mesum, Revan buru-buru mengarahkan tangan kanannya ke pipi, dagu, serta lehernya untuk melihat hasil kerja Lilac, si pelayan baru itu.

"Kerja bagus."

"Terima kasih, Tuan Revan."

Kruyuk..

Salah satu alis Revan mencuat tinggi.

"Kamu.. lapar?" Selama ini, tidak ada yang berani mengeluarkan suara di depannya tanpa seizinnya, apalagi bunyi kurang ajar seperti perut kelaparan. 

"Maaf Tuan Revan. Tadi saya terburu-buru datang kemari, jadi belum sempat sarapan," ucap Lilac gugup.

"Hmm." Entah mengapa, Raven merasa iba dengan kondisi pelayan baru yang kelaparan itu. "Kalau begitu, bawa aku ke meja makan."

"Baik."

"Tunggu."

"Ya?"

Revan menggigit bibir bawahnya, resah untuk memastikan sesuatu.

"Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan Revan?" tanya Lilac bingung.

"Berapa usiamu?" Revan sudah tak tahan lagi dengan rasa penasarannya. Intingnya sebagai pria tidak mungkin salah. Revan yakin bahwa Lilac adalah seorang gadis muda. Ditambah lagi, imajinasinya mengenai Lilac, si pelayan baru ini, sudah terbentuk sempurna di otaknya. Seraut wajah mungil nan cantik, dengan rambut panjang hitam legam sepunggung, bibir merona yang ranum, pinggang yang ramping serta kedua kaki yang putih dan mulus.

"Hah? Usiaku?"

Revan mengangguk. "Suaramu terdengar ringan dan jernih. Tanganmu terasa halus saat menyentuhku. Gerakanmu cekatan meski agak gugup. Dari aromamu yang wangi, sepertinya kamu pandai merawat diri. Kutebak usiamu antara 20 sampai 25 tahun."

"Eng.. kurang lebih, Tuan Revan. Tapi yang pasti, saya hanya gadis biasa yang harus bekerja mencari uang." 

Entah kenapa, jawaban Lilac yang penuh misteri, membuatnya jengkel. Revan menyambar pergelangan tangan Lilac, yang berdiri di dekatnya. 

"Aduh..," rintih Lilac tertahan.

"Dimana Nando menemukanmu, hah?! Di pelosok desa? Kolong jembatan? Jangan berbicara angkuh padaku," Revan mendesis. Ditariknya Lilac mendekat, hingga hidung Lilac menyentuh ringan ke pipinya.

Kontak fisik yang tak terduga itu membuat keduanya membeku.

Revan mengibaskan kasar tangan Lilac.

"Kita ke meja makan."

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel