Bab 4 : Sedikit panik
Keesokan harinya...
"Pagi-pagi, kamu mau kemana bawa tas koper?" Violet melipat tangan, bertanya ketus. Violet berdiri di depan pintu rumah, menghalangi Lilac yang hendak keluar.
"Aku.. mau ke.. ke.." Jari Lilac bergerak ke kanan kiri, seolah di ujung sana sini ada jalan keluar. Lilac mengusap tengkuknya, bingung bagaimana memberikan jawaban. Bicara jujur kena semprot, bohong pasti didamprat. Lilac mengumpat dalam hati... "Brengsek, rencana mau pergi sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan, eh sekarang malah orangnya menghadang dengan wajah garang macam malaikat pencabut nyawa."
"Lilac mau menginap di vila Agnes di desa," sahut mama yang tiba-tiba muncul di belakang Lilac, sedikit meremas lengan putrinya untuk memberikan dukungan. "Keluarga Agnes punya acara, Lilac diminta membantu. Tenang saja, bantuan Lilac tidak sia-sia. Agnes sudah janji akan memberi amplop kok."
"Berapa hari?" Violet kembali bertanya ketus.
Lilac melirik mamanya dan menjawab dengan gugup. "Se-sebulan."
"Sebulan?! Ck, lama sekali," gerutu Violet menendang tas koper Lilac. "Sahabat ya sahabat, tapi kalau sampai merepotkan orang lain selama sebulan, itu tidak wajar. Dua hari saja perginya. Kafe sedang ramai, kamu jangan keluyuran tidak jelas."
Lilac hendak membantah, tetapi mamanya langsung memberi kode untuk menyanggupi, agar bisa segera pergi.
"A-kan kuusahakan secepatnya pulang," ucap Lilac menggertakan gigi. "Ma, Violet, aku pergi dulu," pamitnya bergegas kabur.
*****
Butuh waktu lebih dari satu jam untuk tiba di vila mewah Keluarga Ebony, yang berada jauh dari pusat kota.
Pagi ini, Lilac dijemput mobil dari Tuan Revan. Lilac bersikeras agar mobil itu standby di minimarket yang cukup jauh dari rumahnya. Dirinya tidak ingin memancing keributan dengan Violet yang dipastikan akan melotot melihat dirinya dijemput mobil mewah. Berdebat dengan Violet yang mirip si lambe turah, sungguh membuat lelah hayati.
Selama perjalanan, Lilac duduk dengan gelisah. Kenyamanan di jok mobil mewah tidak membuatnya rileks. Semua ini gara-gara perkataan terakhir Pak Nando, bahkan semalam dirinya tidak bisa tidur nyenyak. Perkataan itu adalah...
"Kita sudah tiba, Nona Lilac."
Lilac yang melamun, tersentak kaget. Lilac bergegas mengucapkan terima kasih pada pak sopir, lalu buru-buru turun dari mobil.
"Selamat datang."
"Pak Nando, anda disini?" Lilac terkejut karena sekretaris tuan muda itu sudah muncul di depan teras vila. "Apa anda punya pintu doraemon, pintu kemana saja? Kemarin, kita baru bertemu, lalu aku yakin anda pasti sibuk dengan pekerjaan hingga larut malam. Biasanya orang kaya kan gila kerja semua. Lalu sekarang sudah tampil rapi disini."
Pak Nando tergelak geli. "Itu pekerjaan saya, Lilac. Dimana pun Tuan Revan membutuhkan saya, maka disanalah saya. Mari silakan masuk. Tuan Revan sudah menunggu anda."
Lilac berjalan beriringan dengan Pak Nando, menuju area kolam renang dengan beberapa pohon kelapa yang menghiasi.
PYAR..
"Bodoh! Apa yang kamu lakukan, hah?!"
"Ma-maaf Tu-tuan Re-van. Saya tidak sengaja."
"PERGI!"
Lilac bergidik mendengar suara bentakan dari seorang yang duduk di kursi roda, membelakanginya. Pria itu memarahi seoang pelayan muda yang menangis ketakutan. Sepertinya pelayan itu gugup hingga tak sengaja menjatuhkan segelas jus jeruk dan tumpahan itu mengenai kemeja sang tuan muda.
"Pak Nando, apa itu.. Tuan Revan?" tanya Lilac ragu-ragu. Lilac bergidik ngeri memikirkan harus berhadapan dengan atasan buas selama satu bulan.
Pak Nando mengangguk.
"Tapi seingatku, Pak Nando mengatakan kalau kaki Tuan Revan sudah sembuh dan bisa berjalan lagi, tapi kenapa masih duduk di kursi roda?"
"Tuan Revan, sebenarnya dia.." Pak Nando menghela napas frustasi. "Kaki Tuan Revan sudah pulih, hanya saja karena matanya masih belum bisa melihat, jadi dia berpikir percuma berjalan jika tidak bisa melihat arah."
Mulut Lilac membeo tanpa suara.
"Selamat siang, Tuan Revan." Pak Nando sedikit membungkuk di samping kursi roda itu untuk menyapa.
"Hmm.." Pria di kursi roda itu sedikit memiringkan rahangnya.
Deg-deg-deg..
Sontak Lilac menyentuh dadanya yang mendadak bergemuruh tak terkendali. Ketika memandang rahang samping tuan muda itu, Lilac mendadak pusing, bahkan kakinya sempat terhuyung ke belakang.
"Whoi-whoi... aku kenapa? Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Hanya melihat sedikit wajahnya, aku langsung terpesona? Aku kan sudah banyak melihat cowok-cowok ganteng dan keren sebelumnya," gumam Lilac sedikit menepuk-nepuk kedua pipinya. "Sadar Lilac, sadar. Jangan pernah melanggar peraturan yang kamu buat sendiri. Tidak boleh jatuh cinta pada klien. Tuan muda ini kaya, terkenal, serta terpandang. Meski saat ini, tuan muda itu cacat dan tidak bisa melihat, tapi dia tetap bukan satu dunia denganmu. Lagipula jangan bermimpi di siang bolong, gadis bodoh. Kamu disini untuk bekerja dengan fee satu milyar, bukan malah termehek-mehek dengan tuan muda kaya nan arogan itu. Paham, Lilac?!" rutuknya jengkel dalam hati.
"Lilac."
"Ah ya. Saya disini, Pak Nando."
"Siapa dia?" tanya Tuan Revan datar. Kepalanya setengah menoleh, tanpa benar-benar menghadap Lilac.
"Perawat pribadi tuan."
"Perawat pribadi?!" Tuan Revan menggeram galak. "Disini banyak pelayan, buat apa menambah orang lagi, hah? Vilaku bukan tempat penampungan. Usir dia. Aku tidak butuh!"
Lilac menggigit bibir bawahnya, takut. Tapi kakinya terpaksa mendekati kuris roda tuan muda itu, karena Pak Nando memerintahkannya untuk mendekat. Ditekannya kuat-kuat perasaan panik, cemas, sekaligus ngeri. Baru kali ini dirinya merasa terintimidasi dengan klien.
"A-apa yang bisa saya lakukan, Pak Nando?"
"Antar Tuan Revan ke kamarnya. Kamu harus membantunya mengganti kemejanya yang basah."
"Gan-ti ba-ju? A-aku?!" Lilac menunjuk dirinya sendiri dengan panik.
Pak Nando mengangguk. "Mulai hari ini tugasmu melayani semua kebutuhan pribadi Tuan Revan."
Mendengar deskripsi detail pekerjaannya, seketika Lilac sesak napas, seolah ada seseorang yang merebut semua pasokan oksigennya.
"Ta-tapi aku.."
"Dia bisa kerja tidak?!"
"Bisa, Tuan Revan. Saya yang memilihnya sendiri. Saya yakin, Lilac bisa memuaskan anda."
Mata Lilac membelalak, memelototi Pak Nando yang tersenyum misterius padanya. Lilac meraung dalam hati. "Sial, apa maksud perkataannya itu?! Adakah maksud terselubung dengan menempatkanku di sisi tuan muda arogan itu? Apa aku akan dijadikan mangsa dari hewan buas?"
"Kamu masih mau kerja tidak? Cepat lakukan!"
"Ba-baik." Lilac buru-buru memegang dorongan kursi roda itu, lalu mendorongnya pelan.
Pak Nando berbisik di telinga Lilac, ketika melewatinya. "Kalau kamu bisa bertahan satu bulan menghadapi Tuan Revan, saya akan menambah fee mu lagi. Apa dua milyar cukup untukmu?"
Lilac meringis dan menampilkan senyum palsunya. "Dua milyar? Apa anda menyuruhku menjual diri, hah? Brengsek!" desisnya kesal.
Pak Nando terbatuk-batuk karena menahan rasa gelinya.
"APA YANG KAMU LAKUKAN?! CEPAT DORONG, AKU KEDINGINAN!"
"Baik."
Akhirnya Lilac hanya bisa terus mendorong kursi roda itu.
"Kamarku lurus, bodoh! Apa Nando tidak memberitahumu, hah?!"
"Maaf Tuan Revan, saya buta arah. Rumah anda terlalu besar, jadi saya tidak ingat letak kamar anda."
"Dasar bodoh!"
Lilac hanya bisa menghela napas kasar. Sabar-sabar, demi dua milyar, harus rela diejek dan dikata-katai.
"Tuan, anda ingin mengenakan kemeja warna apa?" tanya Lilac hati-hati ketika deretan kemeja warna-warni di dalam lemari.
Mendengar pertanyaan Lilac, Tuan Revan langsung menyebur jengkel. "Warna apa? Sialan! Ambil kemeja apa saja, toh mataku juga tidak bisa lihat! Dasar idiot!"
Lilac mengepalkan kedua tangannya, menahan diri untuk tidak membalas serangan verbal itu. Di akhir ucapannya selalu ada kata-kata makian.
Tanpa banyak bertanya lagi, Lilac segera mengambil kemeja paling norak warnanya.
"Permisi Tuan Revan, sa-ya akan membuka kemeja baju anda."
Bersambung...
