Bab 1 : Pekerjaan
Beberapa bulan sebelumnya...
"Perkenalkan, ini pacar baruku, Cherry."
PLAK..
Suara nyaring itu langsung membuat hening seisi restoran burger cepat saji. Berpasang-pasang mata penasaran memandang ke arah asal suara itu.
"Dasar cewek gatel!" teriak seorang gadis setelah menampar keras, pipi gadis di depannya. "Disana banyak cowok lain yang lebih ganteng, lebih kaya, lebih baik dari pacarku! Lihat! Itu, itu, dan itu.. Semuanya cowok macho dan keren. Tapi.. tapi kenapa.. kenapa kamu justru memilih Doni?! KENAPA?!" jeritnya semakin lantang dengan kedua tangan siap mencekik leher.
Untung saja si cowok bernama Doni dengan sigap, segera menjauhkan kedua tangan itu.
"Hentikan Tania!" desis Doni dengan mengibaskan pelan pergelangan tangan mantannya. Doni langsung berbalik, memberikan perhatian penuh dengan menyentuh lembut pipi Cherry yang kena tampar. "Kamu baik-baik saja, Cherry? Maafkan aku. Ini tidak semudah yang kupikirkan. Pipimu sakit?"
"Berdarah," bisik Cherry meringis.
Doni mengambil cepat tisu di meja, lalu mengusap lembut sudut bibir Cherry yang luka dan berdarah. Tania yang melihat adegan penuh perhatian itu, menghentakkan kakinya dan kembali meradang.
"AAARRGGHH.. KAMU!" Dengan mata memerah, Tania menudingkan jari telunjuknya ke arah pelakor yang sedang dihibur pacarnya. Tania mengusap kasar air matanya yang tidak mau berhenti mengalir. Tania bergerak cepat, kembali mendekati pelakor itu hingga membuatnya bersembunyi, merapat di belakang punggung Doni.
"Heh cewek ganjen!" hardik Tania yang berusaha meraih Cherry, tapi terus dihalangi Doni. "Jangan rayu pacarku! Jangan pura-pura menjadi korban! Akulah korban disini! Aku!"
"Tania! Duduk dan bicara baik-baik. Kita sudah jadi pusat perhatian orang banyak," bujuk Doni dengan meraih lengan Tania, lalu menariknya duduk di kursi.
Tubuh Tania gemetar hebat, menutupi wajahnya yang berlinang air mata dengan kedua tangannya.
"Tania, dengar.. kita sudah putus. Aku sudah jelaskan kenapa kita putus. Itu semua karena kamu terlalu egois dan posesif. Aku tidak punya ruang bahkan untuk bernafas." Doni mengusap rambutnya dengan frustasi. "Kita sudah putus. Please, jangan ganggu aku lagi. Kita punya kepentingan sendiri-sendiri."
Tania menggeleng-geleng cepat. "Aku tidak mau putus! Aku masih sayang sama kamu, Doni. Aku masih cinta sama kamu. Aku masih peduli sama kamu!" jeritnya semakin tak terkendali. "A-aku akan per-perbaiki kesalahanku. Aku akan jadi apa pun yang kamu mau, Doni. Tapi please.. kita jangan putus ya," desaknya meraih tangan Doni lalu menggenggamnya erat.
"Hentikan, Tania." Doni mengibaskan tangannya dengan kasar hingga tubuh Tania tersentak ke belakang. "Hubungan kita berdua sudah tidak sehat lagi. Percuma dilanjutkan jika hanya saling menyakiti. Dan yang paling penting, aku sudah tidak sayang lagi sama kamu."
"Bohong!" Tania berteriak tak terima. "Aku tahu kamu berkata bohong. Please, jangan katakan itu, Doni. Aku tahu sayangmu hanya untukku. Aku.."
"Cukup Tania."
Doni menghembuskan napas kasar. Tania, cewek yang sudah berpacaran dengannya selama dua tahun, sangatlah posesif. Dirinya tidak boleh berdekatan dengan cewek, bahkan area 100 meter harus steril dari cewek. Tania selalu cemburu berat jika ada teman kampus cewek yang kerja kelompok dengannya. Doni sudah tidak tahan lagi. Dirinya merasa seperti tahanan, harus selalu memberi kabar dimana dan dengan siapa. Lebih parah, pernah suatu kali ponselnya lupa di off kan sehingga berdering nyaring saat ujian. Siapa lagi kalau bukan kekasih posesif yang menelpon dan mencecarnya habis-habisan. Alhasil, Doni langsung diusir keluar karena mengganggu suasana ujian.
Semua hal sepele yang bikin sakit kepala itu, sudah mengikis semua rasa sayangnya pada Tania. Namun sang mantan tidak mau mengerti. Terus saja muncul dan mengganggu. Doni harus bertindak tegas. Satu-satunya cara adalah meminta bantuan seseorang untuk menyamar jadi pacarnya untuk bisa lepas dari belitan Tania.
"Doni sayang, beri aku kesempatan satu kali lagi. Aku.. aku janji akan berubah. Lagipula sikap posesifku karena aku terlalu sayang padamu, Doni. Please jangan tinggalkan aku." Tania terus merengek.
Doni menggeleng dan mundur menjauhi Tania. "Sebaiknya kita berteman saja, ah tidak-tidak.. lebih baik kita tidak saling kenal saja."
"Apa?!" Mata Tania yang merah membelalak kaget. "Segitu besar rasa bencimu padaku? Bahkan untuk berteman denganku pun kamu tidak mau?"
"Bu-bukan begitu maksudku." Doni jadi frustasi. Di satu sisi, dirinya tidak ingin terlalu menyakiti Tania, tapi gadis itu terlalu keras kepala.
"Memang begitu maksud Doni," sahut Cherry kasar. "Berhubungan dengan mantan itu tidak baik untuk kesehatan mental, terlalu banyak drama bikin asam lambung naik. Jadi mulai sekarang, anggap saja orang asing."
"DIAM KAMU!" Tania membentak marah. "Aku tidak bicara denganmu!"
"Aku pergi dulu, Tania." Doni menarik tangan kekasih barunya, berjalan cepat meninggalkan mantan yang masih terisak-isak, menjerit memanggil-manggil namanya.
Kemudian...
"Maaf. Aku tidak tahu kalau ternyata Tania main tangan," sesal Doni tak enak melihat pipi Cherry memerah.
"Tidak masalah." Cherry tersenyum dengan menggelengkan kepala. "Urusan kita sudah selesai?"
"Ah ini uang fee untukmu. Anggap saja untuk ganti rugi rasa sakit," ucap Doni lembut sambil menyentuh pipi yang terlihat memar itu.
Cherry tersentak dengan sentuhan lembut itu. Refleks, Cherry bergerak mundur dua langkah, menjauh dari jangkauan Doni. "Aku baik-baik saja."
Sikap dingin itu membuat Doni salah tingkah. Sekali lagi Doni meminta maaf dan berkata, "Kamu gadis yang baik, mau menjalin hubungan serius denganku?"
"Maaf, aku tidak bisa. Perjanjian kita tidak boleh melibatkan konflik kepentingan," ucapnya dengan senyum tipis. "Terima kasih untuk fee nya. Senang bekerja untukmu."
"Tunggu..," cegah Doni ketika melihat cewek itu mulai berbalik pergi. Dirinya merasa berat berpisah dengan cewek ini. "Lain waktu, apa bisa kita bertemu sebagai teman, bukan sebagai klien?"
"Maaf, tidak bisa." Cewek itu menggeleng tegas. "Aku sedang tidak ingin berhubungan dengan siapapun."
"Baiklah. Kalau begitu sampai jumpa." Doni mengangguk lesu.
Cherry bergegas pergi, sebelum drama babak lanjutan terjadi. Langkahnya berjalan cepat menuju toilet umum.
"Huft, untung saja toilet sepi," gumam Cherry sembari menatap bayangannya di cermin wastafel. "Panas. Hari ini cuacanya gerah. Aku nyaris meleleh," imbuhnya melepaskan wig rambut pendek model bob dari kepalanya.
Menatap bayangan sosok asli dirinya, paras cantik dengan rambut lurus sebahu itu tersenyum manis. "Halo diriku. Ingat, jangan pernah lupa wajahmu sendiri ya."
Lilac, gadis cantik yang menyamar sebagai Cherry. Lilac mempunyai pekerjaan yang sedikit unik. Sudah dua tahun sejak kelas akhir di SMU, Lilac bekerja dalam bidang jasa penyewaan. Sebut saja jenis pekerjaan Lilac sebagai pacar sewaan, pelakor sewaan, perawat sewaan, sekretaris sewaan, sopir sewaan, dan lain-lain, kecuali rahim sewaan. No way.
Lilac selalu ingat garis batas yang dibuatnya untuk setiap klien. Kontak fisik hanya sebatas pelukan, merangkul, dan ciuman di pipi. Jika klien menginginkan kontak fisik yang menjurus lebih intim, maka dengan tegas Lilac akan menolak pekerjaan itu.
"Astaga sudah jam segini," pekik Lilac panik melihat jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Pekerjaan berikutnya adalah bekerja sebagai pramusaji di kafe milik keluarganya. Uang adalah prioritas utamanya saat ini. "Aku bisa dirajam Violet jika terlambat datang."
Cepat-cepat, Lilac menambahkan bedak di wajahnya terkena tamparan, resiko tambahan dari pekerjaannya.
"Oke. Bekas tangan cewek drama itu sudah tersamarkan," ucap Lilac yang mendekatkan wajahnya ke cermin, agar detail kecil tidak terlewatkan. "Dan selanjutnya.." Lilac menghela napas panjang sebelum memasang wig lain di kepalanya.
Seketika, seraut wajah lain nampak di pantulan cermin wastafel. Sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya saat menempelkan sebuah tahi lalat palsu di dekat hidung kirinya. Lalu sentuhan terakhir, Lilac mengenakan kacamata besar berbingkai hitam.
Lilac pun kembali berpenampilan palsu ini karena..
"Ah sudahlah. Aku harus berangkat sekarang. Semangat."
Lilac mengepalkan tangannya ke udara, lalu berlari meninggalkan toilet.
Bersambung...
