Prolog
"Dimana.."
"Kamu dimana, Lilac?"
Keringat membasahi dahi Revan. Dicarinya di setiap sudut kegelapan, gadis yang selalu dirindukannya siang dan malam. Revan berlari tanpa arah dan tujuan hanya untuk mencari gadis yang sudah menghangatkan hatinya.
"Lilac, kamu kah itu?"
Seorang gadis cantik berdiri anggun, mengulurkan tangannya sembari tersenyum lembut, mengundang Revan untuk datang mendekat.
"Aku disini, Revan. Aku menunggumu."
"Lilac," bisik Revan parau. "Jangan pergi. Lilac.."
Tiba-tiba gadis bernama Lilac berbalik dan mulai menjauh. Tawa renyahnya menggema, menyelimuti seluruh panca indera Revan.
Hosh-hosh-hosh.
Revan terbangun dari tidurnya, terengah-engah dan basah kuyup oleh keringat.
"Lilac, aku merindukanmu." Revan mendesah frustasi. Tangannya yang lesu mengusap wajahnya yang bersimbah keringat. "Aku janji, jika menemukanmu, aku tidak akan pernah melepaskanmu."
Sejak Lilac pergi dari hidupnya, Revan selalu bermimpi tentangnya. Terkadang mimpi itu begitu dekat hingga sosok itu nyaris bisa disentuhnya. Namun, tidak jarang sosok Lilac serasa jauh tidak tergapai.
Jam 02.10
Jam tangan Rolex yang tergeletak di meja nakas, menunjukkan pukul dua dini hari. Revan kembali membaringkan tubuhnya ke ranjang. Salah satu lengannya diletakkan di atas kedua kelopak matanya yang perlahan memejam kembali.
Harusnya saat ini juga, dirinya bisa bertemu dengan Lilac. Tetapi Revan tahu, Lilac butuh waktu untuk menenangkan diri setelah kejadian intim di lantai ruang kerjanya. Besok, Revan berjanji pada dirinya sendiri, akan menyuruh Nando, asisten pribadinya untuk mengantarnya menemui Lilac. Akhir-akhir ini, Revan memang sangat sibuk mengurus perusahaan yang sedikit terbengkalai setelah dirinya absen akibat kecelakaan fatal.
Lelah membuat Revan mulai mengantuk kembali.
"Lilac.."
Revan kembali menjumpai Lilac dalam mimpinya. Senyum terulas di bibirnya. Ingatan dirinya terguling bersama di lantai, dilanjutkan bergulat dengan Lilac, membuat perasaan puas kembali terngiang-ngiang di otaknya.
"Lilac, aku menginginkanmu." Revan bergumam dalam tidurnya.
Revan tidak pernah lupa detail pertama kali dirinya bercinta setelah kecelakaan mengerikan itu terjadi. Selalu dalam tidurnya, tidak pernah ada wanita lain yang menjadi pemeran utama dalam mimpi erotisnya, selain Lilac-nya. Vonis impoten dari dokter sudah membuat dunianya runtuh, namun Lilac yang manis telah mengembalikan kepercayaan dirinya, bahkan memberikan perasaan puas serta nyaman seperti pulang ke rumah.
"Aku suka rasamu, Lilac." Revan terus meracau dalam mimpinya.
Sejurus kemudian, kening Revan tiba-tiba berkerut. Titik-titik keringat kembali bermunculan di dahinya. Kepala Revan bergerak gelisah di atas bantalnya. Tangannya terangkat seolah berusaha menggapai sesuatu.
"Lilac.."
Kali ini dalam mimpinya, Revan berhadapan dengan dua sosok cantik. Keduanya terlihat sangat anggun dengan rambut panjang yang tergerai bebas di gaun tidur polos tertutup berwarna putih. Salah satu dari mereka, sudah berada dalam pelukan Revan, sementara yang lain nampak mundur menjauh.
"Lilac.." Revan memeluk gulingnya sangat erat, ketika dirinya dalam mimpi itu memeluk tubuh mungil Lilac-nya.
Hosh-hosh-hosh..
Revan kembali terbangun kaget, hingga posisinya terduduk di ranjang. Diacak-acaknya rambutnya dengan frustasi dan mengumpat...
"Brengsek! Kenapa mimpi bersama Lilac tidak selalu indah?"
Revan menyibakkan selimutnya dengan kasar, lalu turun dari ranjang. Di kamar mandi, dibukanya shower lalu dibiarkannya tubuhnya disegarkan dengan air hangat. Tangannya mengepal, memukul ubin kamar mandi.
"Dalam mimpi, aku selalu salah memilih," geram Revan dengan amarah tertahan. "Tapi aku tidak akan salah saat benar-benar bertemu denganmu nanti."
Dalam mimpinya, Revan selalu salah memilih. Kesalahan itu disadarinya ketika gadis dalam pelukannya tertawa jahat, hingga dari wajahnya yang cantik keluar banyak ular berbisa. Sementara gadis lainnya hanya tersenyum lembut dan akhirnya menghilang dalam kegelapan.
"Dua gadis satu wajah."
Bersambung...
