Episode 14
Risa berjalan gontai menghampiri Reyhan, ia ingin segera pulang ke rumah dan menyelesaikan urusannya dengan para rentenir yang berniat menyita rumahnya. Entah dapat dari mana uang sebanyak itu belum lagi di tambah bunga yang tiap hari terasa kian mencekik.
Mau tinggal dimana keluarganya nanti kalo satu-satunya rumah diambil paksa, Risa memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.
Risa menarik kursi menghempaskan pinggul, angannya menerawang jauh. Mengaduk-aduk makanan di depannya yang baru sedikit ia makan, ia ingin segera menemui Ayahnya, takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Tetapi ia bingung harus memulai dari mana untuk meminta ijin.
Sejak menerima telepon Risa tak banyak bicara dan lebih sering melamun, semua itu tak lepas dari pengawasan Reyhan yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya.
''Uhuk ... mau sampai kapan makanannya di aduk-aduk terus, mau saya suapi?'' suara Reyhan membuyarkan lamunan Risa dengan senyum menyeringai.
Risa mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk, menatap Reyhan tanpa ingin mendebatnya dan mencoba menelan makanannya dengan susah payah meski terasa sulit dan hambar.
''Pak Reyhan .... '' bibir Risa terasa tercekat, jika sudah menyangkut keluarga mendadak menjadi orang paling cengeng di dunia, menghela napas berat. Sesaat ia bergeming tak mampu mengucapkan kata-kata yang berada dalam kepalanya.
''Hemm.'' Reyhan meletakkan sendoknya dan menatap Risa yang seperti kebingungan. Menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi. ''Bicara saja, Risa, tak perlu sungkan?''
''Saya mau izin pulang. Ada suatu hal mendesak yang harus saya lakukan,'' ucap Risa akhirnya.
''Iya, boleh.'' Sejenak Risa menghembuskan napas lega, menatap Reyhan dengan pandangan yang sulit diartikan dan merasa bersyukur setidaknya tak perlu derama untuk meminta ijin.
Mungkin Reyhan tak tega melihat wajah Risa yang terlihat seperti orang kebingungan dan kalut, meski berusah kuat dan menutupi semua tak lepas dari pantauan Reyhan yang terlihat lebih pendiam setelah menerima telepon.
Kini urusannya dengan Rafa untuk memberi pengertian agar tak rewel saat ditinggal nanti. Pandangannya teralih pada Rafa yang tengah asyik bermain i-pad di tangan.
Wajah Rafa terlihat blepotan meninggalkan bekas noda saos pada bibir dan pipinya, Risa mengambil tisu basah dan membersihkannya dengan telaten.
''Rafa ... Mbak Risa mau ngomong boleh? I-padnya simpan dulu, ya?'' Rafa mengangguk dan meletakkannya di meja. Risa duduk berhadapan dengan Rafa membelai lembut pipinya mulus yang chubby dan kemerahan.
''Mbak Risa mau ijin sebentar mau pulang ke rumah. Ayah Mbak Risa kangen katanya, Rafa sama Papa dan Nenek dulu ya nanti.''
''Kangen?'' sahut Rafa singkat menatap lekat manik mata Risa.
''Iya, kangen itu-- kaya Rafa udah lama enggak ketemu Papa seperti waktu ditinggal pergi keluar kota dan nggak bisa ketemu tiap hari. Rafa pernah, 'kan kaya gitu?''
''Ayah Mbak Lisa kangen, ya?''
''Jadi boleh kan, Mbak Risa pulang dulu ke rumah, kasihan Ayahnya nanti sedih. Rafa sedih enggak kalo enggak ketemu Papa?''
''Sedih, iya boleh, kasihan Ayah Mbak Lisa nanti nangis kaya Lafa,'' ucap Rafa mengangguk.
Pandangan Rafa beralih ke Reyhan yang sama sedang menatapnya dan beralih menatap Risa kembali.
''Jadi boleh, Mbak Risa ketemu Ayah?''
''Boleh,'' ucap Rafa lirih tertunduk meremas ujung bajunya, seperti ada kesedihan di matanya yang tak ia ungkapkan.
''Sini peluk dulu, jangan sedih, ya? Jadi cowok itu harus kuat. Enggak boleh cengeng, Mbak Lisa bentar kok ijinnya, nanti kita bisa main-main, ok.''
Risa mengulurkan tangan mendekap Rafa dalam pelukan mendudukkannya dalam pangkuan. Reyhan senang melihat Risa yang bisa mengambil hati Rafa, begitu keibuan dan bijak. Ada desir hangat yang menjalar, nggak banyak perempuan muda seperti dia yang telaten menghadapi anak-anak apa lagi bukan darah daging sendiri.
Risa pun mengurai pelukannya pada Rafa dan bersiap untuk pulang ke rumah setelah mendapat ijin menyambar sling bag yang berada di sampingnya, beranjak dari duduk, baru saja akan melangkah suara Reyhan menghentikan langkahnya.
''Biar saya antar,'' seru Reyhan menawarkan diri. Beranjak dari duduknya.
''Tidak usah, Pak. Kasihan Rafa sepertinya masih ingin bermain disini. Saya bisa pulang sendiri, kalo gitu saya pamit.''
''Tapi ... Ris.''
''Tidak apa-apa, Pak. Terimakasih tawarannya tapi sepertinya saya lebih baik naik ojol aja, saya duluan Pak,'' pamit Risa, Reyhan tak mampu mencegahnya lagi dan hanya bisa menatap punggung Risa yang perlahan menghilang. Walau sedikit kecewa atas penolakannya.
.
Risa berlari setelah turun dari ojol menuju rumah yang tak sabar ingin segera bertemu dan mendengar cerita lengkapnya, kebetulan ada Riki duduk di ruang tamu terlihat sedang melamun hingga tak menyadari kehadiran Risa yang berdiri di depannya.
''Ngelamun mulu, tar ayam tetangga mati lho,'' ucap Risa menepuk bahu Riki.
Riki mengerjap beberapa saat dan mengucek matanya seolah tak percaya jika kakanya berdiri di depannya.
''Ini beneran, Mbak Risa?'' ucap Riki meyakinkan dirinya sendiri.
''Ya, Iyahlah masa setan.''
''Garing banget, Mbak bercandanya.''
''Lagian muka ditekuk mulu, dah kaya kanebo kering. Cepat tua lho nanti.'' Risa masih mencoba untuk becanda agar Riki tidak terlalu sedih dan kepikiran masalah hutang, cukup ia saja yang memikirkannya.
Saat Riki dan Risa asyik bercengkrama dua debkolektor datang kembali untuk menagih hutang, menerobos masuk begitu saja.
''Heh! Mana Ayah kamu, cepat bayar hutangnya? Atau rumah ini saya sita!'' gertak pria tambun sambil menggebrak meja dengan mata melotot nyaris keluar.
''Ini cewe cakep juga, boleh juga kita pikirkan kalo kamu mau menemani kita semalaman,'' ucap pria tinggi bertato sambil mengelus jenggotnya. Riki yang mendengar kakanya di rendahkan bangkit dari duduknya berniat memukul bahkan saking emosinya kursi yang ia duduki nyaris terjungkal.
''Jaga ya mulut Abang! Selama aku hidup, enggak ada satu orang pun yang bisa menyentuh kaka aku!'' hardik Riki dengan tangan mengepal dan otot-otot dilehernya hingga menonjol menahan amarah.
''Udah, Rik. Tahan emosi kamu jangan sampai Ayah mendengarnya.'' Risa menahan pergelangan tangan Riki. ''Abang nggak usah khawatir aku pasti bakal melunasi semua hutang-hutangnya. Tolong beri kami waktu sebentar lagi.''
''Apa ngasih waktu?! Heh denger, ya! Kami sudah cukup sabar ngasih kalian kelonggaran. Sekarang minta waktu lagi, Kamu pikir kami sebaik itu. Maaf Nona kesabaran kami sudah habis!''
"Pleas! Bang beri kami waktu, aku janji bakal nglunasin semua hutang-hutangnya,'' ucap Risa memohon.
Para debkolektor saling pandang, sepertinya sedang mempertimbangkan ucapan Risa lalu mereka sama-sama mengangguk dan tersenyum menyeringai.
''Oke! Kami beri waktu dua minggu, kami tidak mau dicicil, kami mau kes, kalo sampai tidak bisa membayar juga kalian tahu akibatnya!'' gertak pira bertubuh tambun lalu mereka pun pergi dengan menendang salah satu kursi hingga terjungkal.
Risa terduduk tubuhnya terasa lemah, uang seratus juta bagaimana mendapatkannya dalam waktu sesingkat itu bahkan gajinya satu tahun pun sepertinya tidak akan cukup untuk melunasinya, tiba-tiba Riki merangkulnya menyadarkan dari lamunannya.
***
