Bab 5 - Tarian Panas untuk Kaisar Li Xuan
Malam mulai menjelang, angin musim semi menyelinap lembut ke sela-sela kisi jendela yang tak tertutup rapat. Di dalam kamarnya yang remang dengan dihiasi wangi melati, Mei Lin berdiri di hadapan cermin tinggi, mengamati bayangannya sendiri. Malam ini—ia tahu—tak ada jalan untuk bersembunyi dari tatapan sang Paduka.
Ia membuka wadah kecil dari giok berisi minyak bunga persik, lalu melulurkannya perlahan ke kulitnya yang pucat. Jemarinya bergerak lembut, menyusuri lengan, bahu, leher, hingga dada yang dibalut kain tipis. Wangi manis dan hangat menyelimuti tubuhnya, memabukkan bahkan untuk dirinya sendiri.
Xiu Zhen membantunya mengenakan pakaian malam itu—sehelai hanfu berwarna merah gelap dengan potongan dada rendah, lembut membingkai lekuk tubuhnya. Belahan kaki tinggi memperlihatkan kulit pahanya yang halus, sementara selendang tipis menghiasi lengannya seperti asap yang menari. Detik berikutnya, Xiu Zhen menyerahkan sebuah jubah untuk dipakainya ketika menuju aula dalam.
“Apakah pakaianku terlalu berani, Xiu Zhen?” tanya Mei Lin lirih, sedikit ragu dengan mengamati lekuk tubuhnya yang terlihat sempurna.
Xiu Zhen tersenyum samar di balik pundaknya. “Paduka bukan lelaki yang mudah terpengaruh oleh tampilan seperti ini. Tapi malam ini... Nona akan menjadi satu-satunya yang ia lihat.”
Mei Lin menarik napasnya panjang. Ia sudah menari untuk istana, untuk mengamankan tempatnya. Tapi malam ini berbeda—ini bukan tentang memikat, ini tentang menegaskan keberadaannya di mata sang kaisar.
"Ayo antar aku ke aula dalam," perintah Mei Lin setelah memastikan penampilannya sempurna.
Xie Zhen menganggukan kepalanya penuh hormat, "Mari, Nona."
Di aula dalam, lentera-lentera emas menggantung dan cahayanya menari di permukaan lantai batu. Para pejabat sudah lama pergi begitupun dengan Xiu Zhen yang hanya mengantar sampai pintu depan. Hanya tersisa Kaisar Li Xuan yang masih duduk di tahtanya, menanti—dengan tatapan dingin yang menyimpan bara.
Ketika tabuh lembut mulai dipukul, Mei Lin melangkah masuk dengan melepas jubah yang dikenakannya. Tubuhnya bergerak dengan pelan, seperti arus air yang tenang tapi mematikan. Setiap gerakan lengan, liukan pinggang, bahkan putaran kecil kakinya seperti bahasa rahasia yang hanya bisa dibaca oleh pria di singgasana itu.
Sesaat ia menunduk dan menatap mata Kaisar Li Xuan dari balik tirai rambut panjangnya, waktu seolah berhenti. Ia bukan lagi gadis biasa dari luar istana. Ia adalah tantangan. Ujian. Hasrat. Dan kaisar Li Xuan—untuk pertama kalinya malam itu—tidak mengedipkan matanya sedikit pun.
Tirai kain sutra yang melambai lembut tersibak oleh gerakan Mei Lin yang semakin memabukkan. Dalam keheningan yang penuh ketegangan, Kaisar Li Xuan tetap duduk di singgasananya, namun tubuhnya tak lagi santai. Sorot matanya tajam, mengikuti setiap detil gerakan gadis itu seolah ia sedang membaca kitab suci yang membuka rahasia langit.
Saat Mei Lin mulai melangkah mendekat, mengayunkan pinggul perlahan, Kaisar Li Xuan mengusap rahangnya kasar, ia seolah tengah menahan tarikan naluri yang mulai mengusik ketenangan wajah dinginnya. Napasnya tidak berat, tapi dalam. Ia bersandar sedikit ke depan, tangan satunya kini bergerak pelan menyentuh dadanya, tepat di atas jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Mei Lin melingkarkan selendang tipisnya ke lengannya sendiri, lalu menariknya perlahan seperti sedang membuka rahasia di baliknya. Dan ketika ia duduk perlahan di pangkuan sang Paduka—seluruh ruangan seolah tak lagi bernyawa.
Kaisar Li Xuan seketika terdiam. Namun tangannya langsung terangkat, menahan pinggang Mei Lin. Jemarinya mencengkeram halus, seperti menahan diri agar tak mencabik batas yang belum diizinkan. Tubuhnya seketika menegang. Jiwa laki-lakinya melonjak, bukan hanya karena tarian itu, bukan hanya karena lekuk tubuh dan pakaian yang nyaris menghapus jarak—tetapi karena perempuan di hadapannya ini... tahu persis siapa dirinya. Dan tetap berani menantangnya.
Mata mereka bertemu satu sama lain. Dan dalam tatapan itu, Mei Lin bisa merasakan api yang nyaris tak terkendali di balik wajah sang Kaisar yang selalu angkuh.
“Berhenti,” ucap Kaisar akhirnya, suaranya rendah, berat, dan penuh makna.
Mei Lin tak tahu, apakah itu perintah... atau permohonan ... tetapi ia menghentikan tariannya dan berdiri beberapa langkah di depan Kaisar Li Xuan. "Maaf, Paduka?" tanyanya dengan raut kebingungan.
KaisarLi Xuan tak menjawabnya, tetapi jari jemarinya mengusap rahang dengan lambat, seolah menahan sesuatu yang mendesak dari dalam dadanya. Sekali waktu, ia menunduk, menyembunyikan senyum samar yang sulit ditebak artinya.
"Ke sini," ucapnya pelan, namun mengandung kuasa mutlak.
Langkah kaki Mei Lin ringan namun mantap. Suara gelang peraknya beradu pelan seiring gerak tubuhnya yang kembali mendekat. Tak ada ketakutan yang terpancar dari matanya, hanya kepastian dan kendali.
“Paduka menginginkan sesuatu?” tanyanya lirih, berhenti tepat di hadapan sang Kaisar.
Kaisar Li Xuan mengangkat sebelah alisnya. “Aku ingin kau menari lebih dekat. Di sini,” ujarnya, menepuk pahanya sendiri.
Deg.
Itu adalah undangan—atau perintah—yang tak bisa dihindari.
Mei Lin menatap matanya sejenak, memastikan bahwa ini adalah bagian dari permainan mereka. Sebuah ujian. Sebuah penilaian. Ia menunduk sedikit, lalu dengan gerakan lembut, ia duduk perlahan di atas pangkuan Kaisar Li Xuan. Tubuhnya tetap menari, tapi kini lebih lembut, lebih halus, gerakan yang seperti bisikan angin—menggoda tapi tak sepenuhnya vulgar. Seolah menabur racun yang manis dan berbahaya.
Kaisar Li Xuan tak berkata-kata. Hanya dadanya yang naik turun sedikit lebih cepat. Tangannya tidak langsung menyentuh, tapi otot-otot di lengannya menegang, seakan menahan diri dari sesuatu yang begitu mendesak.
"Apakah tarian ini cukup, Paduka?" bisik Mei Lin, wajahnya mendekat, nyaris menyentuh pipinya.
Kaisar Li Xuan menahan napasnya. Ia menoleh perlahan hingga bibir mereka berjarak napas. "Kau menari seperti angin… tapi membawa badai bersamamu," gumamnya.
Mei Lin tersenyum samar. Ia tahu ia sedang mengaduk badai di dada Kaisar Li Xuan. Tapi ia juga tahu, badai itu adalah bagian dari rencana besarnya.
Mei Lin masih duduk anggun di pangkuan Kaisar Li Xuan, tubuhnya bergerak lambat—tidak lagi seperti penari di hadapan raja, melainkan seperti seorang dewi yang menyihir korbannya perlahan.
Jari-jarinya menyentuh dada sang Kaisar Li Xuan, hanya sebatas ujung kuku, menyusuri garis hiasan emas di jubahnya. "Paduka tampak tegang," bisiknya, lembut namun penuh keberanian.
Kaisar Li Xuan menatapnya dengan mata setajam pedang. Tangan besarnya kini bergerak, akhirnya menyentuh pinggang ramping Mei Lin. Cengkeramannya kuat, tapi tidak menyakitkan. “Kau membuat seluruh ruang ini terasa panas dengan hanya satu tarian darimu, Mei Lin. Apa kau selalu seperti ini… atau hanya untukku?”
Mei Lin membalas tatapannya. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Aku hanya menari untuk orang yang pantas.”
“Kau sedang bermain api.” Suara Kaisar Li Xuan merendah, namun nadanya menggetarkan.
“Aku tidak takut terbakar,” jawabnya, berbisik di telinganya.
Seketika Kaisar menariknya sedikit lebih dekat, hingga tubuh mereka bersentuhan tanpa sekat. Mei Lin merasakan panas dari tubuh pria itu, tapi ia tetap tenang. Ini adalah bagian dari permainannya—membuat Kaisar Li Xuan percaya bahwa ia dikendalikan, padahal secara perlahan, ialah yang sedang menggenggam.
Mereka terdiam sejenak. Tak ada yang berkata apa-apa, namun udara di antara mereka seolah menggelegak, penuh ketegangan dan sesuatu yang nyaris tak terucapkan.
Kaisar Li Xuan mengusap pipinya, lalu menurunkan tangannya ke leher Mei Lin, menahan dengan lembut tapi tegas. “Jika kau bukan milikku seutuhnya malam ini… aku tak yakin bisa menahan diri lebih lama.”
