Bab 4 - Sentuhan Panas Sang Kaisar
Langkah kaki berat dan mantap terdengar dari balik pintu disaat Mei Lin belum sempat menyesap sendok kedua supnya ketika daun pintu kamar kembali terbuka.
Sang Paduka kembali masuk, ia masih mengenakan jubah panjang berwarna hitam dengan bordiran naga emas di lengan dan dadanya. Rambutnya telah disanggul rapi oleh tangan pelayan istana, tapi sorot matanya seolah belum puas untuk memejamkan matanya.
“Belum makan?” tanyanya dengan datar, tapi langsung menuju tempat duduk di sisi ranjang.
Mei Lin menunduk sopan. “Baru akan, Paduka.”
Ia menoleh ke arah makanan, tapi tangannya seketika ditahan. Jari-jari Kaisar menggenggam pergelangan tangannya, hangat dan kokoh. “Aku tidak suka ketika kau bangun lebih dulu tanpa memelukku seperti tadi,” gumamnya, terlalu jujur, terlalu intim untuk seorang penguasa.
Mei Lin menelan ludahnya dengan susah payah. Sebagian dari dirinya ingin melepaskan tangan itu. Tapi sebagian lainnya... merasakan detak jantung yang tak ia inginkan.
“Hamba pikir Paduka sudah memiliki banyak agenda yang lebih penting pagi ini,” jawabnya pelan.
Kaisar Li Xuan tersenyum miring. “Bahkan naga pun ingin pulang ke sarangnya ketika ia sudah lelah dengan dirinya sendiri. Dan pagi ini, aku pulang ke kamu.”
Mei Lin tertawa kecil, penuh nada getir yang disembunyikan dalam senyuman halus yang ia perlihatkan. “Paduka bicara seolah hamba adalah rumah bagi Paduka, padahal hamba hanya tamu yang tak lama lagi akan terusir dari istana ini.” Ia tak bermaksud membuatnya terdengar sedih, tapi keheningan yang menyusul menguak kenyataan.
Sementara Kaisar Li Xuan menatapnya lama dan dalam. “Tamu tak akan kupeluk sepanjang malam,” katanya akhirnya. “Dan tamu tak kubiarkan tidur di ranjangku tanpa pengawal di depan pintu yang berjaga sepanjang hari.”
Mei Lin menahan diri untuk tidak terjebak pada kelembutan yang ia rasakan itu. Ini yang ia takutkan. Bahwa kebaikan lelaki ini… bisa jadi jebakan paling manis dalam istana.
“Hamba datang ke sini dengan niat yang jelas, Paduka,” ujarnya, mencoba tegas. “Bukan untuk jatuh cinta, bukan juga untuk memohon perhatian.”
Kaisar Li Xuan menggenggam jemarinya lebih erat. “Tapi tubuhmu mengkhianatimu semalam.”
Kini, tubuh Mei Lin membeku. Nafas Kaisar Li Xuan terasa di dekatnya dan begitu panas. “Kau bisa berpura-pura dingin. Tapi tubuhmu memanggilku. Aku tahu itu, Selirku.”
Mei Lin mengangkat dagunya perlahan, tatapannya tak goyah sedikitpun. “Tubuh bisa dibujuk, Paduka. Tapi hati ... tidak.”
Sepersekian detik terjadi keheningan di antara mereka, Mei Lin tak bergeming saat Kaisar Li Xuan mendekat, napasnya makin terasa di sela-sela udara pagi yang belum sepenuhnya hangat. Tangannya masih menggenggam pergelangan Mei Lin, lalu dengan gerakan lambat namun pasti, ia menelusuri jemari itu hingga mencapai pundaknya.
“Tubuhmu mungkin bisa kau kendalikan, tapi lihat matamu, Mei Lin,” bisiknya, matanya tak lepas dari wajah gadis itu. “Mereka tak bisa berbohong.”
Mei Lin ingin membalas dengan kalimat tajam, tapi bibirnya tertahan saat jemari Kaisar Li Xuan menyentuh dagunya—lembut, namun penuh kuasa. Ia mengangkat wajahnya, dan pada detik berikutnya, bibir mereka bertemu.
Ciumannya tak terburu-buru. Dalam, menyelidik, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi di balik lapisan hati Mei Lin yang telah ia duga keras. Mei Lin sempat ingin menjauh, namun jari-jari Kaisar Li Xuan telah menyusup di belakang tengkuknya, menariknya lebih dekat lagi.
Tubuhnya tertahan dalam dekapan itu, dan saat tangan sang Kaisar Li Xuan menyusuri lengannya perlahan, napasnya seakan tercekat. Meski otaknya berteriak agar ia mundur, tubuhnya membeku dalam kehangatan yang asing. Ciuman itu terputus ketika Kaisar Li Xuan menunduk dan menyentuh keningnya dengan keningnya sendiri, napas mereka bertukar cepat dan berat.
“Jangan paksa aku untuk membacamu, Mei Lin. Kau bukan buku yang ingin kututup.”
Mei Lin menelan ludah, mencoba menyusun napas yang mulai kacau. “Paduka... terlalu baik pada seseorang yang tak berniat tinggal.”
Kaisar Li Xuan tersenyum miring mendengarnya. “Maka tugasku adalah membuatmu tak ingin pergi dari sisiku.”
Tangannya menyingkirkan helaian rambut dari wajah Mei Lin, lalu menelusuri rahang gadis itu dengan ibu jarinya—gerakan penuh kelembutan yang tak sejalan dengan reputasi dinginnya sebagai Kaisar Li Xuan. “Tak usah terburu-buru jatuh cinta,” bisiknya, “Tapi jangan terlalu percaya bahwa kau bisa lari.”
Ia mencium sekali lagi, kali ini lebih pendek, hanya sejenak menyentuh sudut bibir Mei Lin yang masih terbuka karena napas terengahnya. Suara ketukan lembut terdengar dari balik pintu kayu ukir yang menjulang tinggi membuat keduanya tersentak dan membuat Kaisar Li Xuan menyudahi aksinya.
“Paduka,” suara dari luar terdengar sopan dan jernih. “Hamba mohon izin masuk. Hamba adalah pelayan pribadi Nona Mei Lin.”
Mei Lin sontak menoleh, tubuhnya masih berada dalam pelukan sang Kaisar yang ternyata belum juga berniat melepaskannya.
“Masuklah,” ujar Kaisar Li Xuan singkat, namun tetap dengan nada berwibawa. Ia tidak memedulikan bahwa tubuhnya masih menyentuh Mei Lin begitu dekat. Seolah tak ada yang salah dengan pemandangan itu.
Pintu terbuka perlahan. Seorang gadis muda berwajah manis masuk dengan langkah rapi dan penuh hormat. Rambutnya disanggul rapi dengan hiasan giok kecil di sisi kanan, bajunya berwarna biru pucat khas pelayan istana yang sudah memiliki posisi tetap.
“Hamba bernama Xiu Zhen,” ucapnya sambil membungkuk dalam. “Mulai hari ini, hamba akan melayani segala keperluan Nona selama tinggal di istana. Segala kebutuhan pribadi, pakaian, makanan, penghubung dengan dapur utama, atau hal-hal lain, mohon langsung diperintahkan pada hamba.”
Matanya sempat menatap ke arah ranjang, lalu cepat-cepat menunduk lagi tanpa memperlihatkan ekspresi apapun. Profesional. Ia tampak sudah terbiasa melihat hal-hal seperti ini.
Mei Lin hanya bisa mengangguk kaku, sedikit terkejut karena tak menyangka akan diberi pelayan pribadi. “Terima kasih, Xiu Zhen,” katanya pelan, mencoba terdengar tenang meski hatinya masih berkecamuk akibat peristiwa tadi.
Kaisar Li Xuan tersenyum tipis, lalu akhirnya bangkit dari tempat tidur dan mengambil jubah sutranya. “Perintahku padamu, Xiu Zhen, hanya satu,” ucapnya pada sang pelayan. “Lindungi dan layani Mei Lin seolah kau melayani aku sendiri. Jika terjadi kesalahan, aku akan meminta pertanggungjawaban langsung padamu.”
Xiu Zhen kembali membungkuk dalam. “Hamba mengerti, Paduka.”
Setelah Kaisar pergi, Xiu Zhen mendekat perlahan pada Mei Lin dan dengan suara pelan berkata, “Izinkan hamba membantu Nona bersiap.” Wajahnya tenang, suaranya lembut. Berbeda jauh dari para pelayan sinis yang sejak awal hanya memandang Mei Lin dengan cemoohan diam-diam.
***
Mei Lin duduk di depan cermin besar berbingkai emas yang dipahat rumit, membiarkan Xiu Zhen menyisir rambutnya dengan telaten. Tak ada kata yang terucap beberapa saat, hanya suara halus sisir yang menyapu helaian rambut panjangnya.
Xiu Zhen yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara. “Rambut Nona sangat indah,” katanya lembut. “Lurus, lembut, dan hitam seperti sayap burung merak.”
Mei Lin menatap pantulan gadis itu dari cermin. Ia tampak terdengar tulus. “Kau pandai memuji,” balas Mei Lin ringan, meski tak bisa menyembunyikan senyum tipis di bibirnya.
“Hamba tidak sedang memuji,” Xiu Zhen menjawab dengan nada datar namun tidak dingin. “Hamba hanya berkata jujur. Nona berbeda dari para wanita istana lainnya. Wajah Nona tidak menyimpan niat buruk... setidaknya belum.”
Mei Lin sedikit mengernyit, lalu berbalik pelan. “Kau sudah lama tinggal di istana?”
“Sejak usia sepuluh tahun,” jawab Xiu Zhen. “Hamba diajari melihat banyak hal yang tidak terlihat di permukaan. Termasuk niat seseorang.”
Mei Lin menatap Xiu Zhen lama, lalu bertanya pelan, “Apa yang kau lihat dariku?”
Xiu Zhen menunduk sebentar, lalu berkata dengan jujur, “Hamba melihat seseorang yang berusaha tampak kuat, tapi tidak tahu harus percaya pada siapa. Seorang gadis yang datang ke sarang naga dengan hati yang ingin tetap utuh... tapi tahu bahwa hatinya bisa terbakar kapan saja.”
Mei Lin terdiam. Entah mengapa, kata-kata itu terasa lebih mengusik dari pada tatapan nyinyir para pelayan lain. Karena kali ini... terasa terlalu tepat. Ia menarik napas pelan. “Aku tidak berniat melibatkan perasaan di tempat ini.”
Xiu Zhen menyambung ucapannya dengan setengah berbisik, “Tapi perasaan tidak selalu meminta izin, Nona. Kadang ia datang, bahkan ketika hati kita sudah menutup pintu rapat-rapat.”
Mei Lin memejamkan mata sejenak. Hening. Berat. Tapi ada kelegaan kecil yang menjalari dadanya. Akhirnya, ia berkata lirih, “Jangan panggil aku ‘Nona’ kalau hanya kita berdua. Namaku Mei Lin.”
Xiu Zhen tersenyum kecil. “Baik... Mei Lin.”
