Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 - Kecemburuan Selir Utama

Mei Lin menatapnya tajam, dalam hatinya, ada suara yang gemetar. Tapi bukan ketakutan—melainkan sebuah peringatan. Ia harus kuat. Ia tidak boleh membiarkan perasaannya semakin larut, meskipun kehangatan Kaisar Li Xuan nyaris mematahkan benteng pertahanannya.

"Aku datang ke sini bukan untuk jatuh cinta," gumamnya dalam hati. “Tapi mengapa detak jantungku… terasa begitu hidup saat bersamanya?”

Mei Lin perlahan bangkit dari pangkuan Kaisar Li Xuan. Gerakannya lembut namun menyisakan jejak hangat di tubuh pria itu. Kaisar Li Xuan menegakkan tubuhnya, otot-otot rahangnya menegang saat merasakan tekanan singkat dari tangan halus Mei Lin yang secara tak sengaja menekan pahanya saat ia beranjak.

Tanpa berkata apa pun, Mei Lin berjalan perlahan ke meja kecil yang berada di samping kursi takhta. Di sana, terhidang semangkuk buah delima yang telah dibelah dengan rapi. Ia mengambil satu bagiannya, lalu menggigitnya pelan—gerakannya terlampau lambat, seolah ia tahu setiap tindakannya sedang disaksikan dengan penuh perhatian oleh Kaisar Li Xuan.

Cairan manis delima membasahi bibirnya yang ranum. Ia menjilatnya dengan perlahan, lalu menoleh pada sang Kaisar. Dengan mata yang menantang namun tatapan masih menyimpan banyak misteri, Mei Lin kembali mendekat. Langkah kakinya seirama dengan denting musik lembut yang masih mengalun di dalam ruangan. Ia duduk kembali di pangkuan Kaisar Li Xuan, kali ini posisi tubuhnya lebih dekat dari sebelumnya.

Mei Lin menyodorkan buah yang sudah ia gigit—tak dengan tangan, melainkan dengan bibirnya. “Paduka ingin mencicipi?” bisiknya di sela tarikan napas, suara napasnya seperti desir angin yang menelusup di malam penuh rahasia.

Kaisar Li Xuan tak menjawabnya. Matanya mengunci ke bibir Mei Lin, lalu ke delima yang mengilap merah. Sebuah senyum samar muncul di wajahnya, namun tangannya mencengkeram pinggang Mei Lin lebih erat. Detik itu, suasana menjadi lebih dari sekadar godaan biasa. Ada intensitas, ada tarik-menarik kekuasaan dan kelembutan, seolah mereka sedang menari dalam medan pertempuran yang tak kasat mata.

Mei Lin kembali melenggokkan tubuhnya pelan, meneruskan tariannya di pangkuan Kaisar Li Xuan, tapi kini bukan sekadar gerakan seni. Ini adalah strategi. Pesona. Dan juga jebakan yang ia siapkan untuk seorang pria yang terbiasa mendapatkan segalanya—kecuali kendali atas dirinya.

Kaisar Li Xuan menatap bibir Mei Lin yang menyodorkan potongan delima dengan tatapan yang sulit terbaca—separuh kekaguman, separuh hasrat yang ia sembunyikan di balik wajah dingin seorang penguasa. Namun kali ini, ia tidak berniat menyembunyikan apa pun.

Perlahan, ia mendekat. Jemarinya yang besar dan hangat mencengkeram lembut tengkuk Mei Lin, menahan agar wajah gadis itu tetap berada di tempatnya. Jarak di antara mereka hanya tinggal sehembus napas. Dan ketika matanya terkunci pada mata Mei Lin, ia bisa melihat ada sedikit gemetar di sana—entah karena takut, atau karena tegang yang tak bisa dipungkiri.

Tanpa kata, Kaisar Li Xuan menyambut potongan delima itu. Namun alih-alih mengambilnya dengan mulut biasa, ia membiarkan bibir mereka bersentuhan terlebih dulu. Sebuah ciuman singkat, setengah mencicip, setengah menguji batas. Rasa manis dan asam buah itu tercampur dengan hangat napas mereka yang menaut, membuat tubuh Mei Lin menegang sejenak.

"Aku tidak tahu," bisik Kaisar Li Xuan pelan, suaranya rendah dan berat, "mana yang lebih manis… delima ini, atau bibirmu."

Tangannya kini melingkar di pinggang Mei Lin, menahannya agar tetap berada di tempat, seakan enggan membiarkannya menjauh. Ia tidak sekadar menikmati permainan ini—ia memimpinnya. Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda dari sekadar hasrat pria dewasa. Ada ketertarikan yang lebih dalam… sesuatu yang belum ia akui, bahkan pada dirinya sendiri.

“Jangan ganggu aku dengan tarianmu, kalau kau tak siap aku menyambutnya dengan lebih dari sekadar tatapan,” lanjutnya, kini matanya menelusuri wajah Mei Lin, rahangnya, lalu turun ke leher yang berkilau terkena cahaya.

Mei Lin membalas dengan senyum samar, namun dalam hatinya, ia tahu—permainan ini tidak bisa ia kendalikan sepenuhnya. Ia harus tetap pada rencananya… tidak jatuh terlalu dalam. Namun ketika tatapan mata Kaisar begitu dekat, dan ciumannya meninggalkan jejak hangat, Mei Lin tahu: perasaannya sedang diuji.

Di tengah kemesraan yang seang mereka rasakan, sebuah langkah tergesa terdengar di depan pintu aula pribadi sang Kaisar. Suara perhiasan beradu menggema sebelum seorang selir utama melangkah masuk tanpa izin penuh. Tatapan matanya tajam menyapu ruangan, dan membeku ketika melihat pemandangan di singgasana.

Mei Lin masih duduk di pangkuan sang Paduka. Meski sudah merapatkan tubuhnya untuk menutupi bagian bajunya yang terbuka, aura keintiman yang baru saja tercipta jelas belum menguap sepenuhnya.

Selir utama menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan ledakan emosi. "Mohon maaf, Paduka," ucapnya datar namun penuh nada getir. "Hamba kira... tempat ini tak sedang dipakai untuk pertunjukan."

Kaisar Li Xuan menoleh perlahan, namun tak segera memerintah Mei Lin turun. Sebaliknya, tangan sang Paduka masih bertengger santai di pinggang selir barunya itu, isyarat diam yang cukup untuk membakar hati sang selir utama.

Mei Lin menunduk dengan sopan, tapi tak mundur sejengkal pun. Dalam hati ia tahu jika ini adalah bagian dari permainan kekuasaan di istana. Ia hanya salah satu bidak, namun jika harus bertahan, maka ia tak boleh gentar.

"Aku memanggil Mei Lin ke sini," ujar Kaisar Li Xuan dingin. "Dia sedang menampilkan sesuatu yang menarik untukku."

Selir utama menahan napasnya, lalu membalas dengan senyum tipis. "Tentu saja, Paduka. Apa pun yang bisa menghibur ... walau hanya sebentar."

Mei Lin merapatkan tubuhnya sedikit lebih erat, bukan dalam keinginan, tapi sebagai tameng. Ia tahu, pakaian ini bisa dijadikan senjata melawan dirinya sendiri jika ia lengah. Namun kali ini, ia memilih untuk kuat.

Dalam hati, Mei Lin membatin, "Istana ini bukan tempat untuk lemah. Jika mereka ingin menjatuhkanku dengan sorotan dan cemburu, biarlah. Aku datang bukan untuk jatuh hati… tapi untuk bertahan hidup."

Selir utama melangkahkan kakinya mendekat, langkahnya anggun namun penuh dengan tekanan. Ia berdiri tak jauh dari singgasana, membiarkan aroma parfumnya memenuhi udara—aroma yang dulu hanya ia sendiri yang kenakan saat bersama sang Kaisar.

"Aku tidak tahu bahwa istana kini membuka pertunjukan tari dari... rakyat jelata," ujarnya dengan senyum manis yang menusuk. "Sungguh menghibur, meski sedikit... aneh."

Mei Lin tersenyum lembut menatap selir utama, kemudian menunduk sedikit. "Maaf jika hamba belum sehalus para selir yang lebih dahulu berada di istana ini. Hamba hanya berusaha menyenangkan hati Paduka, walau dengan segala keterbatasan yang hamba miliki."

Kaisar tersenyum tipis, jelas menikmati duel halus itu.

Selir utama kembali menyipitkan matanya. "Oh, kau tak perlu merendah seperti itu. Beberapa perempuan memang pandai memanfaatkan 'keterbatasan' untuk menarik perhatian seseorang. Apalagi bila tubuh dijadikan alat utama untuk melakukannya."

Mei Lin tetap tenang, tatapannya jernih namun tajam. "Terkadang, Paduka hanya perlu... sesuatu yang segar. Sesuatu yang belum biasa ia lihat setiap hari."

Seketika, suasana menjadi dingin, para dayang yang datang bersamaan dengan selir utama hanya berani menatap dari sudut ruangan dengan menahan napasnya, tak berani bersuara.

Kaisar Li Xuan, masih dengan tangan di pinggang Mei Lin, tertawa kecil mendengar perdebatan di antara para selirnya. "Cukup. Aku menyukai percakapan yang tajam... tapi jangan sampai melukai satu sama lain. Selir utamaku, kau tentu tahu, istana ini tak hanya milikmu seorang."

Selir utama menundukkan kepalanya menahan emosi. "Tentu, Paduka. Hamba hanya khawatir akan kesehatan dan... kesucian tata krama di istana."

Mei Lin tidak berkata apa-apa, ia hanya tersenyum kecil. Tapi dalam hatinya, ia sadar jika setiap kata adalah ujian. Dan setiap senyum adalah tameng.

Kaisar Li Xuan menatap Selir Utama dengan tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan. Tangan kirinya masih melingkar di pinggang Mei Lin yang duduk anggun di pangkuannya, sementara senyum di bibirnya terukir setipis silet.

“Selirku yang bijak,” ucapnya pelan namun mantap, “kau tentu tahu bahwa sebagai seorang Kaisar, aku diberi hak penuh untuk menentukan... siapa yang akan menemaniku, malam ini ataupun malam-malam berikutnya.”

Selir Utama mengatupkan rahangnya, wajahnya tetap tersenyum namun jelas retak di sana-sini. “Tentu, Paduka,” balasnya dengan nada datar. “Namun hamba hanya takut... pilihan Paduka tak tahan lama jika hanya mempertimbangkan penampilan luar semata.”

Mei Lin tak berkata apa pun, namun tubuhnya merapat sedikit ke dada Kaisar—gerakan halus yang seolah menjadi pernyataan diam bahwa ia tidak tergoyahkan oleh sindiran.

Kaisar Li Xuan menurunkan tangannya ke tangan Mei Lin dan menggenggamnya ringan. “Tak perlu khawatir. Aku tahu apa yang kubutuhkan. Kadang, yang baru justru membawa angin segar bagi istana yang terlalu lama berputar di lingkaran yang sama.” Ia lalu menoleh ke Mei Lin, menatapnya dengan senyum hangat. “Bukankah begitu, bunga musim semi?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel