Bab 3 - Selir dalam Cengkeraman Nafsu
“Kau terlalu jujur untuk seorang mata-mata,” ucap Kaisar Li Xuan dengan menyunggingkan senyum kecil.
Ia bergerak menyentuh pundak Mei Lin. Sentuhan yang begitu ringan, tapi menyulut gelombang dingin yang merambat ke dalam tubuhnya. Sementara Mei Lin tak bergerak, ia hanya mengedipkan mata perlahan, mencoba mengatur napasnya lagi, karena di balik ketakutannya, ia tahu, jika ia goyah malam ini—maka segalanya akan runtuh.
"Aku tidak akan menyakitimu malam ini... jika itu yang kau takutkan," gumam Kaisar Li Xuan seolah mengerti apa yang dirasakan Mei Lin.
“Tapi Paduka bisa membunuh hamba tanpa harus melukai kulit hamba,” sahut Mei Lin perlahan. Ia merasa tubuh KaisarLi Xuan bergeser lebih dekat. Punggung tangannya kini menyentuh pipi Mei Lin, membelai dengan perlahan seperti menguji emosi di balik wajahnya. Mei Lin menutup matanya, membiarkan dirinya hanyut sejenak dalam gelombang keheningan dan rasa gentar yang merambat di antara napas mereka.
Untuk mengalihkan rasa takutnya, Mei Lin mulai membayangkan tengah berada di padang rumput di Selatan. Tempat ia dulu menari dengan bebas di antara bunga liar, sebelum semuanya berubah, sebelum dirinya dijadikan alat untuk diplomasi dan dendam yang membara. Ia mengingat wajah gurunya, Madam Zhu, yang berkata: "Jika tak mampu melawan dengan pedang, menarilah seperti ular yang mematikan dari dalam."
Dan ia pun mulai membuka percakapan. Suaranya rendah dan lembut, tapi mengandung ritme yang tenang, seperti mantra untuk menenangkannya sendiri. "Paduka... tahukah bahwa di Selatan, para putri diajari cara menari untuk menipu rasa takut pada diri mereka sendiri? Mereka menari bukan untuk menggoda pria lain ... tapi untuk meyakinkan diri mereka bahwa mereka tak akan mati malam itu."
Kaisar Li Xuan menatapnya tanpa berkedip. "Dan kau salah satu dari mereka?"
Mei Lin menganggukan kepalanya, “Aku yang terbaik di antara mereka dalam menari di atas ketakutanku,” jawabnya lirih.
Mereka terdiam cukup lama. Kaisar seperti tengah membaca sesuatu jauh di dalam matanya. Kemudian, ia menyentuh pipi Mei Lin, lalu turun ke dagunya, dan berhenti di sana. Kaisar Li Xuan menunduk, lalu membisikkan sesuatu di telinganya, “Kau berbeda dari semua perempuan yang pernah menginjakkan kaki di tempat ini.”
Mereka berbaring di tempat yang sama, tapi kali ini dengan ketenangan yang ganjil di antara mereka. Tubuh Kaisar kembali merapat, tangannya melingkari pinggang Mei Lin dengan erat. Tapi ia tidak memaksa, dan tidak menuntut. Ia hanya terdiam. Dan dalam keheningan itu, Mei Lin memejamkan matanya, memusatkan pikiran pada detak jantungnya yang mulai melambat.
Ia mengulang-ulang mantra dalam hatinya. "Aku tidak akan mati malam ini. Aku tidak akan hancur malam ini. Aku hanya sedang menari di sisi seekor naga, dan aku harus tetap hidup untuk membakar seluruh sarangnya nanti."
***
Cahaya pagi hari menyusup pelan lewat celah tirai tipis yang menggantung tinggi. Udara di dalam kamar masih terasa dingin, dan aroma kayu cendana dari dupa malam tadi belum benar-benar pudar. Mei Lin perlahan membuka matanya, masih dengan napas yang tenang dan dada yang terasa berat—bukan karena beban tubuh, tapi karena kenyataan yang mulai meresap kembali ke pikirannya.
Tubuhnya masih dalam dekapan Kaisar Li Xuan. Lengan Li Xuan melingkar mantap di pinggangnya, menciptakan jarak yang nyaris tak ada di antara mereka. Dada pria itu naik turun secara perlahan, stabil, seperti aliran sungai tenang yang menyembunyikan arus deras di dalamnya. Wajahnya begitu dekat, napas hangatnya menyentuh pelipis Mei Lin.
Ia belum bangun. Atau mungkin memilih diam dalam keheningan ini. Mei Lin tetap dalam diamnya, ia tak bergerak sama sekali. Ada jeda hening di mana ia hanya menatap langit-langit, membiarkan pikirannya mengembara bebas—tapi kali ini tanpa rasa takut seperti semalam. Yang tersisa hanya suara dalam dirinya, yang pelan-pelan menguat kembali, seperti akar pohon yang menembus tanah setelah badai panjang.
“Ini hanya awal. Jangan lengah. Kau datang ke sini bukan untuk jatuh… tapi untuk menjatuhkan.”
Ia menelan ludah pelannya dengan kasar. Jantungnya masih berdetak kencang, dan ia bersyukur untuk itu. Tapi ia juga sadar bahwa bahaya paling halus bukanlah pedang di leher—melainkan lengan yang mendekapmu seolah kau adalah miliknya.
Perasaan itu… pelan-pelan mencoba masuk ke dalam elung hatinya, tapi Mei Lin seakan menolaknya. “Jangan bodoh.” Ia menggertakkan giginya dalam hati. “Dekapan ini bukan perlindungan. Ini jebakan yang dibungkus hangat.”
Tangannya perlahan bergerak, ingin melepaskan diri, namun lengan Kaisar justru mengerat. Seolah tubuhnya tahu, bahkan dalam tidur, bahwa wanita di pelukannya adalah sesuatu yang tak boleh lepas begitu saja.
"Jangan pergi..." gumamnya, setengah sadar. Suara itu lirih. Berat. Seakan berasal dari dasar jiwanya.
Mei Lin memejamkan matanya kembali. Hatinya seakan mengencang. Bukan karena kata-kata itu menggugah rasa—tapi karena ia tahu, inilah awal dari bahaya paling mematikan: kasih semu yang membuatmu ingin tetap tinggal.
Ia harus mengingat alasan ia menginjakkan kaki di istana ini. Ia bukan gadis yang dikirim untuk dimanjakan, dicintai, atau dikagumi. Ia adalah mata pisau tersembunyi dalam bunga. Dan bunga tak pernah jatuh cinta pada tangan yang memetiknya.
“Jangan bodoh, Mei Lin. Jangan pernah pikir kau bisa mencairkan hati naga. Kau hanya sedang menari di ujung apinya.”
Ia membiarkan tubuhnya tetap diam. Tapi dalam benaknya, strategi mulai disusun ulang. Ia harus lebih cepat, lebih hati-hati, dan lebih kebal. Karena jika Kaisar terus menahannya seperti ini setiap pagi… maka yang perlu ia khawatirkan bukan kematian.
Saat cahaya pagi semakin terang, Kaisar Li Xuan membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada wajah Mei Lin yang masih terjaga, tenang namun jelas tak sepenuhnya nyaman. Ia mengamati wanita itu beberapa saat, sebelum akhirnya menarik napas panjang dan berkata dengan suara berat khas bangun tidur:
"Aku menyukai pagi seperti ini." Jemarinya bergerak pelan menyusuri lengan Mei Lin, tanpa terburu-buru. "Hangat. Tenang. Dan kau, di sisiku."
Mei Lin menahan napasnya sejenak, lalu memilih tidak menjawab. Ia hanya menundukkan pandangannya, memusatkan perhatian pada irama napasnya sendiri agar tetap terkendali.
Kaisar Li Xuan menarik tubuhnya perlahan agar bisa duduk bersandar di kepala ranjang. Ia mengamati gadis di sebelahnya, lalu mengulurkan tangan dan mengusap lembut pipinya.
"Mulai hari ini," ucapnya tenang, tapi sarat akan perintah, "aku ingin kau selalu mengenakan kain tipis saat berada di dekatku. Yang menerawang, yang membuat mata tak ingin berpaling dari tubuh indahmu ini."
Mei Lin menoleh pelan, menatap pria itu dengan tatapan datar namun penuh kontrol. Tidak marah, tidak juga terkejut. Ia sudah menduga.
"Aku adalah selirmu, Paduka," jawabnya tenang. "Jika itu yang kau perintahkan, maka akan aku taati."
Kaisar Li Xuan menatapnya lama. "Jangan katakan itu dengan suara sedingin es. Aku ingin kau menyadari posisimu. Kau bukan hanya selir. Kau adalah milikku."
Kata terakhir itu mengunci udara di dada Mei Lin sesaat. Tapi ia tersenyum tipis, penuh kepura-puraan yang telah ia latih sejak lama.
"Segala milik Paduka, hanya untuk Paduka. Jika aku harus menjadi api, maka biarlah aku membakar hanya di hadapanmu."
Kaisar Li Xuan menyeringai kecil. "Kau pandai bermain kata rupanya. Tapi jangan terlalu sering menyulut api, Mei Lin… kau bisa terbakar sendiri."
Mei Lin menunduk hormat, menyembunyikan tatapannya yang berubah gelap.
"Atau mungkin aku akan membakar singgasanamu, sebelum kau sempat menyadarinya." gumamnya dalam hati.
Kaisar Li Xuan kemudian beranjak, memberi isyarat pada pelayan untuk mempersiapkan pakaiannya. Tapi sebelum ia benar-benar meninggalkan ranjang, ia menoleh sekali lagi pada Mei Lin.
"Nanti malam, aku ingin kau menari. Di kamar ini. Untukku saja. Dan pakailah sesuatu yang membuat para dewa pun iri."
Lalu ia pergi.
Mei Lin masih duduk di sana, sendiri, dalam helai kain malam yang nyaris tak menutupi apa pun. Tapi kini matanya bukan lagi mata seorang wanita yang ketakutan seperti semalam. Itu mata seorang pemain yang tahu bahwa pertarungan baru saja dimulai.
“Baik, Paduka. Aku akan menari…”
"…tapi bukan untuk menyenangkanmu. Melainkan untuk mengalihkan pandanganmu… sebelum aku menghunuskan belati.”
Tak lama setelah Sang Paduka meninggalkan kamar, seorang pelayan wanita masuk dengan nampan perak berisi makanan pagi—bubur ketan putih, sup ayam hangat dalam mangkuk porselen tipis, dan sepoci teh melati yang masih mengepul.
Pelayan itu masih muda, namun sikapnya menandakan bahwa ia sudah lama berada di lingkungan istana. Ia berjalan dengan begitu angkuh, dagunya terangkat sedikit, dan matanya melirik Mei Lin dari kepala hingga kaki, memindai tubuh yang hanya dibalut kain tidur tipis.
Ia meletakkan nampan di meja kecil tanpa suara, tapi tatapan matanya berbicara banyak. Julid. Iri. Tajam.
“Ah… rupanya selir baru belum diajari cara mengenakan pakaian yang pantas setelah pagi tiba,” katanya setengah berbisik namun jelas ditujukan pada Mei Lin. “Tapi mungkin memang itu caramu mempertahankan perhatian Paduka, ya?”
Mei Lin tak langsung menoleh. Ia tetap duduk di atas ranjang, menarik selimut hingga menutupi dada dan bahunya. Wajahnya tetap tenang, terlalu tenang untuk gadis yang baru saja menerima sindiran kasar.
Pelayan itu masih berdiri di sana, menunggu tanggapan. Ketika tak mendapatkannya, ia melanjutkan, kali ini dengan nada lebih menusuk. “Kau pikir sedikit wajah manis dan kulit mulus cukup untuk membuatmu bertahan di sini? Banyak yang datang sebelummu, semuanya berpikir bisa menaklukkan Paduka. Tapi lihat… mereka sekarang hanya bayang-bayang di ujung koridor istana barat.”
Mei Lin perlahan menoleh. Sorot matanya tak berubah—dingin dan tajam, seperti pisau dalam sarung sutra. “Apakah tugas pelayan istana sekarang sudah termasuk mengomentari selir yang dipilih langsung oleh Kaisar?”
Pelayan itu mengangkat dagunya angkuh. “Aku hanya mengingatkan kau. Anak-anak sepertimu biasanya mudah terbakar oleh perhatian sesaat. Padahal di sini… yang bertahan bukan yang paling cantik, tapi yang paling licik.”
Mei Lin tersenyum. Senyum kecil yang tak sampai ke mata. Ia turun dari ranjang, berdiri perlahan, membiarkan kain tidurnya melorot sedikit dari pundak. Ia mendekat, pelan tapi pasti, hingga jaraknya dengan pelayan itu hanya sejengkal. Suara Mei Lin begitu tenang, tapi menyimpan ujung pisau tersembunyi.
“Kalau begitu, seharusnya kau sudah jadi permaisuri sekarang. Karena jelas… kau sangat ahli dalam kelicikan.”
Wajah pelayan itu menegang setelah mendengar kalimat pedas dari Mei Lin..
Mei Lin mendekatkan wajahnya, berbisik di telinga gadis itu, “Tapi sayangnya, yang Paduka peluk semalam… bukan kau.”
Pelayan itu menggigit bibirnya, lalu membungkuk buru-buru, menahan marah. “Mohon maaf, Nona Selir. Silakan menikmati sarapannya.” Ia lalu berbalik cepat, hampir setengah berlari keluar dari kamar.
Sementara Mei Lin menatap punggungnya menghilang di balik pintu, lalu mendesah pelan. Ia tahu, musuh dalam selimut mulai memperlihatkan taring. Tapi ia juga tahu satu hal: ia tidak datang ke sini untuk jadi pecundang dalam permainan ini. Ia duduk kembali, mengambil cangkir teh, dan menyesapnya pelan. “Bagus,” gumamnya. “Semakin cepat mereka membenciku, semakin cepat aku tahu siapa yang harus kuhancurkan lebih dulu.”
