Bab 2 - Tairan Persembahan untuk Kaisar
"Jadi... katakan padaku, siapa namamu yang sebenarnya?" ulang Kaisar Li Xuan, kini ia berdiri sangat dekat, seolah suara napasnya adalah bagian dari suara malam yang mengelilingi tubuh Mei Lin.
Mei Lin hanya bisa mengangkat kepalanya dengan perlahan. Kali ini, bukan dengan takut-takut, melainkan dengan tatapan yang diselimuti kabut. Kabut dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya pergi. Senyum yang samar terbentuk di sudut bibirnya.
“Nama adalah pemberian, Paduka. Tapi jiwa … jiwa tak pernah bisa dinamai dengan apapun,” jawabnya pelan, lirih, namun tajam seperti sembilu yang dibungkus sutra. “Jika Paduka menginginkan sebuah nama, sebutlah hamba apa pun yang Paduka suka malam ini.”
Kaisar Li Xuan mendekat sedikit lagi. Hidungnya nyaris menyentuh kening Mei Lin, namun ia menahan dirinya, sementara tangannya hanya melingkar di udara, tidak menyentuh, tapi kehadirannya begitu terasa.
“Baik jika itu yang kau mau. Malam ini, aku akan memanggilmu dengan nama yang lebih pantas. Bukan nama seorang pelayan ... tapi juga bukan nama seorang pembunuh,” gumamnya pelan.
Ia menjauhkan dirinya sedikit, lalu menatapnya dari kepala hingga ujung kaki. “Menarilah,” perintahnya pelan. “Buktikan padaku bahwa kamu memang persembahan yang layak dikirim untuk menggoyahkan tahta istanaku ini.”
Mei Lin menunduk dengan patuh, namun hatinya bergetar begitu keras. Inilah saatnya, bukan hanya untuk menggoda, bukan hanya untuk mencuri perhatian, tetapi untuk menyelami dalamnya pikiran sang Kaisar, satu-satunya pria yang bisa menentukan nasibnya dalam sekali kedipan mata.
Ia melangkahkan kakinya mundur, ringan seperti embun yang jatuh di kelopak bunga di pagi hari. Musik mulai terdengar, lembut dan dalam, entah darimana asalnya. Angin malam menggoyangkan tirai-tirai sutra merah, menciptakan ilusi bahwa ruang itu bergerak bersama tubuh Mei Lin.
Perlahan, ia mulai menari dengan begitu indah. Tangannya menjulur anggun, memutar seperti angin yang membelai, bukan memaksa. Pinggulnya bergoyang lembut, bukan mengundang dengan vulgar, tapi menggoda dengan misteri. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah Kaisar Li Xuan—bukan untuk meminta, tetapi untuk menantang.
Setiap gerakan yang Mei Lin lakukan seakan seperti jalinan mantra. Ia bukan perempuan biasa, dan jelas bukan penari dari paviliun mana pun. Ia menari seperti seseorang yang tahu betul bagaimana membuat jantung lelaki berdetak lebih cepat, lalu melambat perlahan, terikat dalam tempo yang ia ciptakan sendiri.
Kaisar Li Xuan tetap duduk di tepi ranjang emas, tubuhnya bersandar dengan santai, matanya mengamati dengan nyaris tanpa berkedip. Namun di dalam matanya ada sesuatu yang mulai bergolak. Api kecil yang belum menyala sepenuhnya, tapi sudah cukup untuk membakar seisi ruangan jika tersulut dengan tepat.
Mei Lin berputar sekali, lalu dua kali, dan membiarkan kain tipisnya melayang ke udara sebelum kembali menempel ke tubuhnya yang ramping. Ia menari bukan hanya dengan tubuhnya, tapi dengan napas, dengan tatapan, dengan bisikan yang tak pernah diucapkan.
Satu per satu, kancing kecil di bagian leher pakaiannya terbuka dengan sendirinya, bukan karena tangan Sang Kaisar, tapi karena ia ingin menunjukkan bahwa kendali tetap berada di tangannya. Bahwa meskipun ia tampak tunduk, sebenarnya dialah yang memegang kendali atas malam itu.
Langkah kakinya membawanya perlahan ke depan sang Kaisar. Ia berlutut di depannya, bukan dalam posisi hina, melainkan seperti seekor macan betina yang siap menerkam bila lawannya sedikit lengah. Sementara Kaisar Li Xuan mengulurkan tangannya, kali ini, ia menyentuh pundaknya, lalu menarik kain tipis itu ke bawah. Kulit Mei Lin bersinar di bawah cahaya lentera, putih seperti salju, hangat seperti anggur yang baru dituangkan.
“Kau tahu caranya membuat pria kehilangan pertahanan,” katanya pelan.
“Hamba tidak menginginkan pertahanan Paduka hilang,” sahut Mei Lin dengan napas teratur. “Hamba hanya ingin Paduka melihat.”
“Melihat apa?”
“Bahwa dalam setiap tarian, ada cerita yang ingin disampaikan.”
Kaisar Li Xuan menatapnya dalam diam. “Ceritamu adalah tentang dendam, bukan?”
Mei Lin tidak menjawabnya. Ia hanya menunduk dan menempelkan dahinya di lutut sang Kaisar, sebuah bentuk penghormatan tertinggi. Tapi juga bentuk keputusasaan yang disamarkan. Gerakannya perlahan, namun tepat. Ia menggoda, namun tak meminta. Ia membuka diri, namun tetap menyembunyikan sesuatu yang tak bisa disentuh.
Dan Kaisar Li Xuan tahu itu. Tangannya menyentuh rambut Mei Lin dan mengusapnya perlahan. “Apa kau pikir aku akan membawamu ke ranjang hanya karena tarianmu ini?” tanyanya pelan.
Mei Lin mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis. “Tidak, Paduka. Tapi hamba tahu… bahwa tarian ini bisa membelai hati yang telah lama membatu.”
Kaisar Li Xuan hanta tertawa kecil. “Lalu, jika aku menciummu sekarang, apakah itu bagian dari permainanmu juga?”
“Tidak,” jawab Mei Lin. “Itu adalah bagian dari keputusan Paduka dan dari titik itu, hamba tahu ke mana arah permainan ini akan berjalan.”
Tak ingin menghabiskan banyak waktu, Kaisar Li Xuan mengangkat tubuh Mei Lin dan memiringkan kepalanya. Lalu tanpa banyak bicara, ia menarik tubuh Mei Lin ke dalam pelukannya. Kain tipis itu terlepas sepenuhnya dari bahu Mei Lin, jatuh seperti daun musim gugur di antara mereka. Kulit bertemu dengan kulit, namun tidak ada nafsu dalam sentuhan itu. Hanya keheningan yang menggantung seperti kabut.
Lama mereka dalam diam, hanya napas yang saling menyentuh. Hingga akhirnya, Kaisar Li Xuan berbisik, “Kau bukan ditakdirkan untuk menjadi budakku. Tapi kau juga terlalu berbahaya untuk kubiarkan bebas di luar sana.”
“Hamba tahu,” jawab Mei Lin dengan suara lirih.
“Maka malam ini,” lanjut Kaisar Li Xuan, “aku akan tidur denganmu. Bukan karena tubuhmu ataupun tarianmu. Tapi karena aku ingin tahu… siapa kamu ketika semua tirai telah dijatuhkan, dan tidak ada lagi yang tersisa kecuali kebenaran.”
Mei Lin membiarkan tubuhnya dibimbing perlahan ke ranjang oleh tangan Kaisar Li Xuan yang dingin dan kuat. Ranjang emas itu seolah menjadi panggung eksekusi paling sunyi yang pernah ia datangi. Kasurnya terlalu lembut, terlalu harum, dan terlalu asing baginya. Tapi bukan itu yang membuat napasnya tercekat. Melainkan keheningan Kaisar yang duduk di sampingnya, menatapnya dari sisi tempat tidur seperti hakim yang belum menjatuhkan vonis.
"Berbaringlah," perintahnya pelan.
Mei Lin menurut. Ia memiringkan tubuhnya, perlahan, seperti daun yang jatuh di permukaan air. Rambutnya yang panjang tergerai membingkai wajahnya, jatuh ke sisi bantal berwarna merah marun yang halus seperti sutra. Ia menatap langit-langit yang tinggi dengan tirai kain tipis menggantung, berusaha menenangkan detak jantung yang kini berlari tak terkendali.
Kaisar Li Xuan tidak menyentuhnya. Belum. Tapi hawa tubuhnya terasa begitu dekat, dan keheningannya jauh lebih menggetarkan daripada sepuluh pasukan bersenjata. Mei Lin tahu permainan belum selesai. Dan saat Kaisar akhirnya memutar tubuhnya, berbaring di sisi ranjang, hanya terpisah beberapa jengkal darinya, ia tahu... malam ini akan menjadi ujian.
Ketika tubuh Kaisar merapat, membuat tubuh Mei Lin otomatis menegang. Ia berusaha bernapas perlahan, sedalam mungkin, menenangkan badai yang mengamuk dalam dadanya.
“Takut?” tanya Kaisar pelan, hampir seperti bisikan.
Mei Lin menoleh sedikit, bibirnya membentuk senyum tipis. “Seorang gadis yang tidak takut saat tubuhnya dipersembahkan, bukanlah manusia.”
