Bab 1 – Tirai Sutra Bertahta Emas
Kain sutra berwarna merah menggelantung dari langit-langit yang tinggi, bergoyang pelan ditiup angin malam dari jendela yang sengaja terbuka. Lentera minyak berkelap-kelip, menyinari tubuh Mei Lin yang kini duduk bersimpuh di atas kasur berhias emas di beberapa sisi ranjang. Rambutnya disanggul setengah, dengan leher jenjangnya yang terbuka, dan dada putihnya membayang samar di balik kain tipis yang nyaris tak layak disebut sebagai pakaian.
"Aku bukan perempuan yang bisa dibeli," bisiknya dalam hati, meski malam ini seluruh tubuhnya disiapkan untuk dijual—kepada pria yang paling berkuasa di negeri ini.
Pintu kamar berukir naga yang berada jauh di depannya tersebut terbuka secara perlahan membuat Mei Lin menoleh ke arahnya. Langkah kaki terdengar mendekat, terasa berat, dingin, dan penuh kuasa. Hawa di ruangan tersebut berubah menjadi panas. Mei Lin menahan napasnya dengan susah payah, sementara jari-jarinya mengepal erat di atas pahanya yang tak tertutup kain sedikitpun.
Ia sudah tahu jika ini bukan sekadar malam pertamanya tinggal di istana, tetapi ini adalah malam pertamanya sebagai persembahan kepada sang tuan. Dan pria itu… adalah Kaisar di istananya sendiri.
Kaisar Li Xuan memasuki ruangan tanpa suara sedikitpun. Jubah hitamnya berkilau halus terkena cahaya temaram yang dihasilkan lampu-lampu di kanan kirinya, dengan rambut panjang yang sudah diikat tinggi, matanya tajam menelusuri tubuhnya dari kepala hingga kaki. Tak ada hasrat di matanya, hanya tatapan yang menelisik, seperti menilai barang yang baru saja ia miliki.
"Kau pelayan dari negeri selatan?" tanyanya pada akhirnya ketika ia sampai di depan Mei Lin.
Mei Lin menunduk dengan patuh, berusaha menyembunyikan kebencian yang menggelegak di balik kerendahan hatinya. "Hamba, Paduka."
"Bangkit," perintahnya dingin.
Mei Lin mengangguk dan berdiri dengan perlahan. Tidak ada sedikitpun rasa malu yang ia tunjukkan, melainkan dengan gerakan kehati-hatian yang sudah terlatih. Gerakan yang dirancang untuk memancing perhatian, tapi juga menyimpan rahasia besar di baliknya. Kaisar Li Xuan berangsur mendekat, jari-jarinya menyentuh dagu Mei Lin, dan mengangkat wajahnya ke cahaya lentera.
"Kulitmu halus," gumamnya. "Matamu terlalu berani," tambahnya tersenyum samar dengan mengusap lembut bibir ranum milik Mei Lin.
Mei Lin menjawabnya dengan lirih, "Hamba dilatih untuk melayani Paduka dengan tubuh dan mata, Paduka."
Kaisar Li Xuan tersenyum miring. “Kau sepertinya bukan pelayan biasa.”
Suara itu seperti sembilu yang menyayat hati Mei Lin. Sang Kaisar sudh tahu terlalu banyak, atau sekadar mencurigai—keduanya bisa menjadi hukuman mati bagi Mei Lin. Tapi ia tetap berusaha untuk tenang, mengangkat dagunya sedikit, seperti menantang tapi juga menunduk dalam waktu yang bersamaan.
"Hamba hanyalah persembahan dari negeri selatan. Putri yang ditukar demi perdamaian, Paduka," jelasnya dengan penuh hormat.
“Perdamaian?” tanya Kaisar Li Xuan menyeringai, jari-jarinya yang dingin masih menempel di kulit wajah Mei Lin. “Perdamaian tidak pernah nyata dalam politik, itu hanya dilakukan ketika jeda untuk persiapan perang berikutnya,” bisiknya tepat di depan bibir Mei Lin.
Mei Lin tidak menjawabnya, ia hanya bisa mengatupkan bibirnya erat, berharap Kaisar Li Xuan tak memangkas jarak di antara keduanya agar tak menyatukan bibir mereka, tapi, ia tahu itu, justru karena itulah ia ada di sini malam ini. Sebagai umpan ... sebagai alat ... dan sebagai bidak dari permainan yang jauh lebih besar dari dirinya.
Kaisar Li Xuan melepaskan sentuhannya dan berjalan mengitari ranjang itu seperti harimau yang tengah menilai mangsa di depannya. Tapi ada sesuatu dalam langkahnya yang membuat Mei Lin menyadari—Kaisar ini tidak tertarik padanya secara pribadi. Ada maksud lain dari tatapannya itu.
“Berapa umurmu?” tanyanya sembari mengamati ukiran naga di kepala ranjang.
"Delapan belas tahun, Paduka."
"Masih terlalu muda. Tapi kau sudah bisa menyembunyikan rasa takutmu dengan sangat baik," pujinya sembari menganggukan kepala.
“Hamba dilatih untuk itu,” jawab Mei Lin lagi, kali ini terdengar lebih tegas.
“Katakan padaku, siapa gurumu?” tanya Kaisar Li Xuan, mendadak mengalihkan pandangannya dan menatap tajam. “Kau bukan hanya seorang putri biasa. Gerakmu… matamu… bukan milik perempuan biasa,” tebaknya tepat sasaran.
Deg.
Pertanyaan itu seperti anak panah yang menancap langsung ke jantung miliknya. Mei Lin menyadari dirinya terlalu sempurna sebagai seorang pelayan. Terlalu banyak mengendalikan dirinya. Dan Kaisar ini … terlalu cerdas.
Ia menghela napasnya panjang, berusaha menahan getar yang nyaris muncul dari bibirnya. “Guruku adalah Madam Zhu dari Paviliun Bunga Giok. Ia mengajarkan sopan santun dan tarian untuk para putri, Paduka,” jelasnya dengan penuh rasa hormat.
“Madam Zhu mengajarkan tarian, bukan cara menahan napas saat takut akan dibunuh,” sahutnya cepat. “Siapa nama aslimu?” tanya Kaisar Li Xuan lagi.
Mei Lin mengerjapkan matanya. Hatinya menegang ketika mendengar pertanyaan itu. “Mei Lin, Paduka.”
“Nama yang diberikan saat lahir?” tanyanya mencecar.
Mei Lin menggigit bibirnya menghilangkan ketegangan yang ia rasakan. “Itu nama satu-satunya yang hamba miliki,” jawabnya penuh hormat.
Kaisar Li Xuan tertawa kecil mendengarnya. “Kau terlalu pintar berbohong, tapi tidak cukup lihai untuk menipuku sepenuhnya.” Kini, jari-jarinya turun perlahan menyusuri sisi lehernya, namun tatapannya tetap terpaku pada sorot mata Mei Lin. "Ada racun dalam tatapanmu. Tapi juga ada sesuatu yang ... mengundang," bisiknya.
"Hamba tidak bermaksud untuk menantang," kata Mei Lin, tapi dalam nadanya tersembunyi bayangan tipis dari dendam lama.
Kaisar Li Xuan mengelilinginya lagi, langkahnya tak bersuara, hanya terdengar desiran jubah yang menyapu lantai marmer di bawahnya. Ia menghentikan langkahnya dan berdiri di belakangnya, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka seperti pedang yang belum dijatuhkan.
"Nama aslimu bukan Mei Lin."
Mei Lin semakin terpaku. Satu kalimat itu cukup membuat jantungnya berdegup tak beraturan. Dia tahu? Tapi ia tetap berusaha menunduk, tidak menjawab apapun. Ia tahu aturan permainan ini: siapa yang bicara lebih dulu, akan kalah.
"Aku tahu siapa yang mengirimmu," lanjut Kaisar Li Xuan. "Dan aku tahu... kau membawa lebih dari sekadar tubuh untuk ditawarkan kepadaku."
Mei Lin menahan napasnya susah payah.
"Mereka pikir aku akan lemah saat diberi umpan seindah ini," lanjut Kaisar Li Xuan. "Tapi mereka hampir lupa, aku tidak lapar akan tubuh yang mereka tawarkan ... tapi aku lapar akan sebuah kebenaran," jelasnya yang membuat hati Mei Lin kembali berdegup kencang.
Mei Lin mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata tajam milik sang Kaisar. Mata itu… terlalu jernih untuk seorang pria yang sudah mencicipi kekuasaan mutlak. Tapi juga terlalu dalam untuk bisa ditebak.
"Jika Paduka tahu hamba bukanlah pelayan biasa, mengapa tidak menyingkirkan hamba, Paduka?"
"Karena aku ingin tahu: apa tujuanmu datang ke sini? Untuk membunuhku?" Nada suaranya masih tenang, tapi di balik ketenangan itu ada bahaya yang mengendap.
Mei Lin tersenyum tipis. "Jika hamba ingin membunuhmu, Paduka, hamba tidak akan berdandan seperti boneka dan menyisir rambut setiap helainya agar terlihat lemah di hadapan Paduka."
Kaisar Li Xuan tertawa. Tawa kecil yang asing di ruangan sebesar ini. Tapi tawanya tidak menandakan kelonggaran. Justru sebaliknya. Dia tertarik. Dan itu membuat segalanya menjadi lebih rumit.
"Jadi... katakan padaku, siapa namamu yang sebenarnya?"
