Uang Pengganti
Jingga terbangun saat ponselnya berdering nyaring. Gadis itu tak segera mengangkat telepon. Dia diam sejenak sambil mengumpulkan kesadaran.
Jingga mengucek mata sebelum mengeja nama yang tertera di layar ponsel. "Om Lukman?" gumamnya heran.
Buru- buru dia menerima panggilan itu. "Halo, ada apa, Om?" sapa Jingga.
"Tidak apa-apa, Nak. Om hanya ingin tahu kabarmu? Apa ... Pak Ganendra memperlakukanmu dengan baik?" tanya Lukman ragu-ragu.
Perhatian yang cukup terlambat bagi Jingga. Namun demikian, dia tetap membalas hal itu dengan sikap yang cukup baik. "Seperti yang om katakan kemarin. Pak Ganendra pasti akan membahagiakan aku," jawab Jingga.
"Syukurlah. Om tak bisa membayangkan kalau dia menyakitimu. Om pasti akan merasa sangat bersalah," sesal Lukman.
"Jangan khawatir, aku ...." Jingga terpaksa menjeda kalimatnya saat menyadari bahwa Hilda sudah tidak ada di kamar Ganendra.
"Nanti kutelepon lagi, Om." Jingga mengakhiri panggilan secara sepihak. Dia beringsut turun dari ranjang dan berniat untuk mencari keberadaan Hilda.
Saat itulah, Jingga mendengar suara gemericik di kamar mandi. Dia menduga bahwa itu adalah Hilda yang sedang membersihkan diri.
Tak berpikir panjang, Jingga langsung membuka pintu kamar mandi. Namun, betapa terkejutnya dia tatkala menyadari bahwa bukan Hilda yang berada di bawah shower, melainkan Ganendra yang sedang asyik membasuh badan dengan posisi membelakangi dirinya.
Untuk kesekian kali, Jingga melihat tubuh polos pria yang kini menjadi suaminya itu. Raga Ganendra selalu tampak sempurna. Gagah, dan tanpa cela.
Jingga sempat terpaku di tempatnya, hingga dia tersadar ketika Ganendra mematikan shower. Gadis cantik itu tergesa-gesa keluar dari kamar mandi, lalu menutup pintunya perlahan.
Jantungnya belum juga berdetak normal tatkala dia merasakan tepukan pelan di pundak. "Aw!" Refleks, Jingga memekik.
Dia membalikkan badan dan mendapati Ganendra sudah berdiri gagah di hadapannya. "Pak, sa-saya ...." Jingga tak dapat berkata-kata. Dia terlalu terpana sekaligus gugup saat memperhatikan Ganendra yang hanya memakai handuk putih menutupi bawah pinggang hingga lutut.
Dada bidang, lekukan otot serta sisa-sisa buliran air yang masih membasahi permukaan tubuh Ganendra, membuat Jingga sama sekali tak bisa fokus.
"Hilda sudah pulang sebelum aku datang tadi pagi," jelas Ganendra, seolah tahu isi hati Jingga.
"Oh, sa-saya tidak tahu ...." Jingga terbata. Dia terlalu gugup dan malu untuk membalas tatapan Ganendra yang seakan menghujam tepat ke dadanya.
"Kamu tidur atau pingsan?" ledek Ganendra. "Mana ileran pula!"
"Hah?" Jingga terbelalak. Dia buru-buru mengusap wajah sambil bercermin untuk mencari sisa air liur yang mungkin masih menempel di pipi.
Tawa Ganendra semakin kencang melihat tingkah Jingga. "Terlambat. Aku sudah mengelapnya tadi!" ucapnya santai.
Seketika, Jingga menoleh dan melotot. "Tadi malam saya dan Kak Hilda mencoba keluar kamar, tapi anda menguncinya dari luar. Akhirnya kami menunggu sampai ketiduran," ujar Jingga setengah protes.
"Oh, jadi kamu memanggil dia 'kak' sekarang? Sudah akrabkah kalian?" pancing Ganendra.
"Ka-kami ...." Jingga terbata, lalu membuang muka. Dia tak ingin Ganendra curiga bahwa dirinya dan Hilda telah merencanakan sesuatu.
"Saranku ... jangan terlalu akrab dengannya. Dia terlalu licik untuk kamu yang naif," ucap Ganendra sambil melangkah santai ke walk in closet. Beberapa menit kemudian, dia sudah keluar dan berpakaian rapi. "Aku akan sibuk di kantor seharian ini. Mungkin aku akan pulang sedikit malam. Kalau ingin apa-apa, kamu tinggal minta pada Bu Darni. Dia kepala asisten rumah tangga di sini," jelasnya.
"Iya, Pak. Terima kasih." Jingga mengangguk malu-malu. Bahasa tubuhnya masih tampak kaku. Namun, entah kenapa Ganendra suka melihatnya.
"Ya, sudah. Aku berangkat dulu," pamit Ganendra seraya tersenyum samar.
Jingga menarik napas lega ketika Ganendra sudah menghilang di balik pintu. Kini dia hanya perlu bersiap-siap dan menunggu sampai Hilda datang di tempat yang sudah disepakati.
Tepat pukul empat sore, Jingga sudah berdiri di bagian depan taman labirin. Dia tampak cemas setiap kali melihat pegawai rumah Ganendra melintas. Tak berselang lama, sesosok tubuh semampai dengan langkahnya yang gemulai, datang menghampiri.
Hilda tersenyum lebar, lalu melepas kacamata hitam dan meletakkannya di atas kepala. Tanpa basa-basi, Hilda menyodorkan koper kecil berwarna hitam pada Jingga. "Lima ratus juta, pas! Berikan itu pada Ganendra nanti malam, dan minta dia menceraikan kamu," tutur Hilda.
"Kalau dia menolak, bagaimana?" tanya Jingga was-was.
"Aku yakin dia tidak akan menolak. Kalaupun iya, kamu harus mencari cara untuk terlepas dari jeratnya. Ingat, Jingga! Kamu tidak boleh menjadi perusak rumah tangga orang!" tegas Hilda mengingatkan. Telunjuk lentik berhiaskan kuku runcing berkuteks merah itu terarah lurus ke wajah cantik Jingga.
"I-iya, Kak!" balas Jingga.
"Bagus! Jangan lupa kabari aku tentang perkembangannya!" Hilda memberikan selembar kartu nama miliknya pada Jingga sebelum melenggang pergi.
Setelah istri siri Ganendra itu tak tampak dari pandangan, Jingga bergegas kembali ke kamar sambil mendekap koper uang. Dia menunggu di sana sampai Ganendra pulang, tepat pukul sebelas malam.
Jantung Jingga berdebar kencang saat Ganendra membuka pintu dan masuk ke kamar. Wajah tampan suaminya itu tampak lelah dengan rambut sedikit acak-acakan.
Ganendra sendiri cukup terkejut tatkala menangkap sosok Jingga yang berdiri tak jauh dari ranjang. "Tumben belum tidur?" tanyanya sembari memicingkan mata. "Apa itu?" tunjuk Ganendra ke arah koper kecil di genggaman Jingga.
"I-ini untuk anda." Jingga memberanikan diri mendekat pada Ganendra, lalu menyodorkan koper itu.
"Apa isinya?" Ganendra menatap Jingga curiga.
Dengan tangan gemetar, Jingga membuka koper itu lebar-lebar dan menunjukkan tumpukan uang pecahan seratus ribu pada Ganendra.
Muka Ganendra refleks memerah. "Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini?" tanyanya penuh penekanan.
"Di sini ada uang lima ratus juta, Pak. Saya ingin memberikan uang ini untuk anda," jawab Jingga. Dia menunduk dalam-dalam demi menghindari tatapan tajam Ganendra.
"Uang?" Ganendra mengernyitkan dahi.
"Iya, uang ini untuk membayar sisa utang om saya. Dengan demikian, saya tidak perlu menjalani pernikahan kontrak ini. Anda bisa melepas saya sekarang," papar Jingga lirih.
"Oh, begitu rupanya." Ganendra tersenyum penuh arti. Dia menutup koper tersebut, kemudian mengambilnya dari tangan Jingga. Tak disangka, Ganendra malah melemparkan koper itu ke lantai.
"Kamu berani menantangku rupanya," desis Ganendra. Dia meraih dagu Jingga dan membuatnya mendongak. "Siapa yang menyuruhmu? Uang dari siapa itu?" cecar Ganendra.
"Itu uang saya." ujar Jingga berbohong.
"Jingga ...." Ganendra mencengkeram dagu istrinya semakin erat, sampai-sampai Jingga meringis kesakitan. "Jangan kamu pikir, karena aku sudah bersedia bercanda denganmu, lalu kamu bisa bersikap seenaknya begini."
"Ah, sakit ...." rintih Jingga.
"Sakit, kan? Aku akan menyakitimu lebih parah dari ini kalau sampai kamu berani meminta pergi lagi," ancam Ganendra.
