Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Panas Membara

"Le-lepaskan aku," pinta Jingga memelas.

"Uang darimana itu, Sayang? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Ganendra melepaskan dagu Jingga. Sebagai gantinya, pria berambut hitam legam itu beralih menangkup wajah cantik sang istri dan menariknya mendekat.

"A-aku ...." Jingga memejamkan mata rapat-rapat. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi dia tak berani berbohong. Namun, di sisi lain dirinya tak berani menyebut nama Hilda.

"Menurut perkiraanku, kamu masih baru di sini. Kegiatanmu hanya sebatas di kamar dan meja makan. Tidak mungkin bukan kamu mendapatkan uang ini dari pegawaiku?" terka Ganendra. "Satu-satunya yang berani membujukmu untuk berbuat bodoh seperti ini hanyalah Hilda."

Jingga menelan ludah. Dia sudah bertekad untuk tidak menyebutkan nama itu. Apalagi Hilda sudah berkali-kali menegaskan bahwa Jingga tidak pantas menjadi seorang pelakor.

"Jingga ... kenapa diam? Hm?" Ganendra menyentuh bibir ranum gadis itu, lalu mengecupnya lembut. Bayangan percintaan mereka berdua, kembali melintas dalam kepalanya. Memantik hasrat yang selama ini tertahan. Kecupan ringan berubah menjadi ciuman panas penuh gairah, sampai-sampai Jingga kewalahan.

"Pak, jangan!" Susah payah Jingga mengelak. Dia memalingkan muka, berniat menjauh dari Ganendra. Akan tetapi sia-sia. Sang suami terlalu kuat untuk dia kalahkan.

Ganendra semakin bernafsu ketika Jingga terus memberontak. Tanpa aba-aba, dia mengangkat tubuh ramping itu dan membaringkannya ke ranjang. Ganendra mengungkung Jingga yang tak mampu lagi melawan.

Dia memegangi kedua pergelangan tangan Jingga dan mengarahkannya ke atas kepala gadis malang itu. "Jangan pernah sekali-kali menantangku, Sayang. Kamu istriku dan selamanya tetap akan seperti itu," tegas Ganendra.

"Kamu pikir, Hilda mendapatkan uang itu dari mana? Penghasilannya sebagai artis tak sepadan dengan gaya hidupnya yang mewah. Aku lah yang mencukupi seluruh kebutuhan Hilda. Itu berarti, uang lima ratus juta yang kamu tawarkan padaku, sejatinya adalah uangku juga," beber Ganendra sambil tertawa mengejek.

"A-aku minta maaf. Tolong, jangan begini." Lirih Jingga memohon. Kakinya sudah kesemutan karena tubuh kekar Ganendra berada di atas tubuhnya. Begitu pula kedua tangan Jingga yang dicengkeram sedemikian kuat oleh Ganendra.

"Tidak semudah itu, Jingga. Aku bukanlah orang yang mudah memaafkan." Ganendra menyeringai puas ketika melihat Jingga ketakutan. "Aku bisa saja melupakan kesalahanmu ini, tapi ada syarat yang harus kamu penuhi," ujarnya tepat di telinga Jingga.

"Apa?" Jingga berusaha keras untuk fokus, tapi bibir Ganendra nakal bermain-main di lehernya.

Ganendra menghentikan aksinya, lalu memusatkan perhatian sepenuhnya pada wajah cantik yang tampak sayu itu. "Layani aku," jawabnya pelan, tetapi cukup untuk membuat sekujur tubuh Jingga gemetar.

"Ayo, tidak usah malu-malu. Bukankah kita sudah sering melakukannya selama seminggu penuh?" goda Ganendra.

"Aku ... tidak ingin menjadi perusak rumah tangga anda dan Kak Hilda," sahut Jingga pilu.

"Terlambat, Sayang. Kamu sudah bersedia menikah denganku. Kita sah menjadi suami istri. Lagipula, hubunganku dengan Hilda telah rusak sejak dulu," ungkap Ganendra. "Sekarang jangan banyak bicara dan cepat layani aku!"

Jingga menatap lekat-lekat bola mata coklat terang milik Ganendra. Entah apa yang dulu membuatnya tertarik hingga memiliki perasaan berbeda terhadap pria yang kini menjadi suaminya itu.

Ganendra hanyalah laki-laki brengsek yang kerap berbuat sesuka hati. Dia bukan tipe pria yang memedulikan perasaan pasangan. Apalagi Ganendra hanya menganggap Jingga sebagai istri pura-pura. Namun, dia juga tak bisa mencegah tingkah nakal pria yang kini mencumbu bibir, leher dan dada.

Ganendra sangat menikmati aroma wangi alami yang menguar dari tubuh molek Jingga. Aroma gadis yang tak terjamah oleh banyak pria. Hanya dia yang mendapat kehormatan untuk mengeksplor permukaan kulit kuning langsat yang halus dan memabukkan. "Jingga," desahnya lirih.

Suara Ganendra yang berat dan dalam, terdengar begitu seksi di telinga Jingga, meruntuhkan nuraninya. Seandainya saja pertemuan pertama mereka dilalui dengan cara yang benar dan normal, mungkin Jingga tak akan merasa bersalah seperti ini. Tanpa terasa, sebulir air menetes dari sudut mata gadis lugu itu. Tangisan lirih yang semakin lama semakin kencang, akhirnya membuat Ganendra risi.

Ganendra mengempaskan napas pelan, lalu melepaskan cengkeraman. Dia memilih untuk beringsut menjauh dan turun dari ranjang. Gairah yang sempat membakar diri dan akal sehatnya, menguap seketika saat melihat air mata Jingga.

Jingga terheran-heran melihat sikap Ganendra. Gadis itu sampai menghentikan tangisnya dan memperhatikan gerak-gerik pria yang kini berjalan masuk ke kamar mandi.

Sementara Ganendra juga kebingungan menghadapi dirinya sendiri. Tak biasanya dia merasa terganggu dan tak nyaman melihat seorang wanita menangis.

Biasanya Ganendra sama sekali tak peduli. Apalagi jika dia merasa sudah membayar mahal untuk wanita-wanita itu.

"Ah, sialan kamu, Jingga," gerutu Ganendra. Terpaksa dia menyalakan shower dan berdiri di bawah guyuran air untuk mendinginkan kepala dan suhu tubuhnya yang membara.

Beberapa menit kemudian, Ganendra keluar dari kamar mandi. Dia langsung memasuki walk in closet tanpa menoleh. Dia sengaja tak menghiraukan Jingga yang masih terjaga dan terus memperhatikan dirinya.

Ganendra buru-buru berganti pakaian, lalu bergegas keluar. Dipungutnya koper uang yang tadi sempat dia lemparkan ke lantai.

"Pak, mau ke mana?" panggil Jingga saat Ganendra sudah menggapai pegangan pintu.

Ganendra menoleh sekilas ke arah Jingga sebelum membuka pintu. "Bukan urusanmu," jawabnya dingin sambil berlalu.

Ganendra melangkah tergesa menuju garasi luas yang berdiri terpisah dari bangunan utama. Dia memilih satu dari sekian mobil mewah yang dikoleksinya selama beberapa tahun terakhir.

Ganendra kemudian melajukan mobilnya kencang ke kawasan apartemen mewah di pusat kota.

Sesampainya di tempat yang dituju, Ganendra langsung menuju lantai tempat apartemen Hilda berada.

Ganendra tak kesulitan membuka pintu, karena dia juga memiliki akses khusus sekaligus kunci cadangan.

"Hilda?" seru Ganendra, tatkala berhasil masuk dan menyadari bahwa ruang apartemen itu terlalu sepi. Terlebih seluruh lampunya dalam keadaan mati.

Ganendra terpaksa menyalakan setiap titik saklar yang ada di apartemen mewah sang istri siri. "Hil?" panggilnya lagi untuk memastikan bahwa memang tak ada seorangpun di sana.

"Bagus, semoga saja aku memergoki Hilda berselingkuh, atau pulang sambil membawa pria lain," gumamnya pada diri sendiri. Ganendra pun memutuskan untuk menunggu sembari duduk santai di sofa ruang tamu.

Akan tetapi, keinginan Ganendra itu tak terkabul. Satu jam kemudian, Hilda datang. Tubuhnya sempoyongan saat masuk ke apartemen. Wanita cantik itu bahkan kesulitan menutup pintu.

Hanya dari tingkah Hilda saja, Ganendra sudah dapat menyimpulkan bahwa istri sirinya itu sedang mabuk.

"Darimana saja kamu, Hil?" tanya Ganendra nyaring, membuat Hilda berjingkat saking terkejutnya.

"Ga-Gaga? Kapan datang?" Hilda tergagap dan terlihat salah tingkah.

"Baru saja," jawab Ganendra singkat.

"Tumben kamu jemput aku di sini. Nggak biasanya, lho. Aku merasa sangat tersanjung," celoteh Hilda.

"Aku kemari bukan untuk menjemputmu, tapi mengantarkan ini!" Ganendra menunjukkan koper kecil yang sedari tadi dia bawa, "ini punyamu, kan?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel