Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Negatif

"Sa-saya ...." Jingga menelan ludah berkali-kali. Dia tak menyangka bahwa Hilda akan memberikan penawaran semenarik itu. Jika Jingga memiliki uang sebanyak yang Hilda sebutkan, tentu dia tak akan bersedia dinikahi oleh Ganendra. "Bagaimana cara saya meninggalkan Pak Ganendra?" tanyanya polos.

"Gampang, kamu tinggal pergi dari sini," jawab Hilda enteng.

"Lalu? Status pernikahan saya?" Jingga mulai goyah.

"Tinggal ajukan cerai saja. Gampang, kan?" Hilda menjentikkan jari.

"Andai semudah itu." Jingga mengempaskan napas pelan.

"Apanya yang sulit? Ganendra bukan tipe pria yang berlutut memohon pada wanitanya agar tidak pergi. Dia cenderung cuek dan tidak peduli. Bagi Ganendra, wanita hanyalah mainan pelengkap dalam hidupnya," ungkap Hilda.

"Masalahnya ...." Jingga menggigit bibir. Dia bimbang hendak mengatakan pada Hilda jika pernikahannya dengan Ganendra, hanyalah sandiwara semata. Entah apa yang akan Ganendra lakukan padanya jika Jingga membuka rahasia besar itu pada Hilda.

"Saya dilarang menuntut cerai," ujar Jingga lesu. "Sesuai dengan surat perjanjian yang dibuat oleh Pak Ganendra, saya tidak berhak mengajukan cerai," imbuhnya.

"Omong kosong!" elak Hilda. "Ganendra itu pengusaha. Dia pasti akan menyetujui apapun yang menguntungkan baginya. Percayalah padaku. Dia tidak akan menolak kalau kamu memberikan uang lima ratus juta secara tunai padanya. Coba saja!"

"Tapi ...."

"Kalau tidak percaya, lihat saja. Besok aku akan membawakan uang itu diam-diam padamu. Kita bisa bertemu di taman samping atau halaman belakang, yang penting tidak ketahuan Ganendra," potong Hilda.

"Bagaimana, ya?" Jingga semakin galau.

"Buktikan kalau kamu memang benar-benar tidak ingin merusak rumah tangga orang," tegas Hilda.

Jingga tertegun. Jauh di lubuk hatinya, dia membenarkan ucapan Hilda. Tak seharusnya Jingga menghancurkan pernikahan seseorang. "Baiklah, Kak. Aku setuju," ujarnya lirih.

"Bagus!" seru Hilda semringah. "Aku pergi dulu. Besok, tunggu aku di taman labirin di halaman belakang, jam empat sore. Jangan telat, karena aku tidak punya waktu lama."

"Iya, Kak." Jingga mengangguk sambil terus memerhatikan sosok Hilda yang berbalik menuju pintu dan berusaha membukanya.

"Sial! Pintunya dikunci dari luar!" umpat Hilda. "Pasti Gaga mencegah supaya aku tidak bisa memergoki dia bercinta dengan Sandra," gumamnya.

"Apa, Kak?" tanya Jingga yang mengira bahwa Hilda tengah berbicara kepadanya.

"Oh, eh, tidak apa-apa." Hilda menoleh ke arah Jingga sambil melemparkan senyuman palsu. Dia mengurungkan niat untuk berusaha keluar, dan memilih berbaring diri di sofa, sembari membayangkan apa yang tengah Ganendra lakukan dengan Sandra.

Nyatanya, Ganendra memang benar-benar sedang live meeting bersama jajaran komisaris dan sang ayah yang masih berada di luar negeri. Tanpa terasa, pertemuan secara online itu berlangsung hingga beberapa jam lamanya, sampai Ganendra tak menyadari bahwa waktu sudah beranjak malam.

Dia baru sadar ketika jarum jam besar di koridor luar ruang kerja, berdentang sebanyak sepuluh kali. Setelah menutup rapat penting itu, Ganendra menutup laptop dan berniat kembali ke kamar. Dia sama sekali tak memedulikan Sandra yang terus memperhatikan ke arahnya.

"Kamu tidak ingin mengantarku pulang? Biasanya kamu perhatian," sindir Sandra setengah merajuk.

"Itu dulu sebelum kamu menuntut macam-macam," sahut Ganendra acuh tak acuh.

"Bagaimana kalau aku benar-benar hamil, Ga?" Sandra buru-buru mencekal lengan Ganendra.

"Kalau begitu kamu tes saja dulu. Nanti kita buktikan bersama-sama, apakah kamu benar-benar hamil atau tidak," tantang Ganendra.

"Oke! Dengan syarat kamu ikut pulang ke apartemenku. Kita tes sama-sama besok pagi!" desak Sandra.

"Ck! Ribet sekali!" Ganendra berdecak kesal. "Ya, sudahlah! Dari pada kamu terus menggangguku," putusnya kemudian. "Aku siap-siap dulu!" Namun, baru dua langkah berjalan, Sandra kembali mencengkeram lengan Ganendra.

"Ada apa lagi, sih?" gerutu Ganendra.

"Jika aku benar-benar hamil, maka kamu harus nikahi aku dan menceraikan istri-istrimu," tuntut Sandra

"Astaga." Ganendra tertawa pelan. "Aku sangat yakin bahwa kamu tidak hamil. Kalaupun kamu hamil, aku tetap akan bertanggung jawab terhadap bayi di dalam kandungan, tanpa harus menikahimu," tegasnya. "Ingat, Sandra. Tidak ada yang bisa mengatur atau memerintahku. Apalagi kamu!" Telunjuk Ganendra menyentuh pucuk hidung Sandra.

Dia kemudian berbalik dan melangkah tergesa menuju kamar. Perlahan dan hati-hati, Ganendra membuka kuncinya. Sebuah pemandangan yang terlihat tak biasa, Hilda tertidur pulas di sofa, sedangkan Jingga terlelap dalam posisi meringkuk di ranjang.

Akan tetapi, perhatian Ganendra lebih tertuju pada Jingga. Gadis itu terlihat begitu polos dan murni. Pria rupawan itu berjalan mendekat. Diperhatikannya wajah Jingga lekat-lekat. Ada perasaan damai yang tak dapat dijelaskan, menelusup dan menghangatkan relung hatinya.

"Ah." Ganendra menggeleng kencang, demi menghalau perasaan aneh tersebut. Dia kembali fokus pada tujuannya, yaitu bersiap-siap untuk mengantarkan sekaligus menginap di apartemen Sandra.

Malam semakin larut ketika Ganendra tiba di ruangan apartemen Sandra. Tak putus asa, kekasih gelapnya itu terus melancarkan rayuan. Namun, Ganendra sama sekali tak tergoda. "Tidurlah. Aku tidak mau kesiangan. Besok aku harus ke kantor pagi-pagi," ujarnya seraya mendorong pelan tubuh Sandra.

Ganendra menuntun sekretaris pribadi papanya itu ke dalam kamar. Sementara dia sendiri memilih untuk beristirahat di sofa ruang tamu.

"Kamu tidak ingin tidur berdua denganku di sini?" Sandra yang tak dapat menyembunyikan sorot mata kecewa, bergegas mengikuti Ganendra.

"Sudah untung aku mengantarmu kemari," sahut Ganendra dingin. Dia menutup kedua matanya dengan lengan sebagai isyarat bahwa dia tak ingin bicara lagi.

Melihat sikap Ganendra yang dingin, Sandra hanya bisa mengalah dan kembali ke kamarnya. Tak lupa dia mematikan saklar ruang tamu, agar Ganendra dapat berisitirahat lebih nyaman.

Sepeninggal Sandra, Ganendra membuka mata. Dia langsung bangkit dan mengeluarkan ponsel. Dia mengoperasikan telepon genggamnya itu sampai pagi.

Ganendra memang berniat untuk tidak tidur. Dia berjaga-jaga dari rencana licik yang mungkin saja dilakukan oleh Sandra.

Tepat pukul enam pagi, alarm ponsel Ganendra berbunyi. Dia segera mengambil beberapa kotak test pack yang sempat dia beli tadi malam dalam perjalanan ke apartemen Sandra.

Ganendra lalu mengetuk pintu kamar Sandra dan menunggu sampai beberapa menit hingga kekasih gelapnya itu membuka pintu.

"Ga? Masih pagi," sapa Sandra seraya menguap. Muka bantalnya jelas terlihat.

"Aku tak sabar ingin mengetahui hasilnya." Ganendra menyodorkan tumpukan test pack pada Sandra, membuat wanita muda itu tak bisa mengelak.

Sandra mengambil tiga kotak sebelum masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, dia keluar sambil memasang wajah kecewa.

"Negatif," ucap Sandra lemah.

Lain halnya dengan Ganendra. Paras tampannya terlihat semringah. "Tuh, kan? Apa kubilang," ujarnya.

"Ini tidak adil!" Sandra yang sebal, langsung melemparkan test pack itu ke lantai. Namun, Ganendra tak peduli.

Pikirannya kini hanya tertuju pada Jingga. Dia ingin segera pulang dan mengucapkan selamat pagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel