Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sekretaris Baru

"Ga?" Hilda berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya. "Apa itu?" tanyanya pura-pura tak mengerti.

"Seharusnya aku yang bertanya, apa ini?" Ganendra bangkit dari sofa, lalu berjalan mendekati Hilda. Dia menempelkan koper kecil yang cukup berat itu ke dada istri sirinya.

"Kamu memberikan uang itu untuk Jingga, sementara uang itu kamu dapatkan dari aku. Lelucon macam apa ini, Hil?" geram Ganendra. 

"Oh, jadi gadis murahan itu yang membocorkan semua," desis Hilda.

"Dia tidak membocorkan apapun!" sangkal Ganendra. "Aku yang terlalu pintar untuk membaca segalanya."

Hilda terkesiap. Wajah cantiknya memucat. Rasa pening akibat minuman beralkohol yang dia tenggak saat berpesta dengan teman-temannya tadi, menghilang seketika. "Ga ...." Bibirnya bergetar saat menyebut nama sang suami. Sedangkan otaknya berputar keras untuk menutupi rencananya yang telah gagal.

"Ga, kamu tahu, kan? Aku sangat mencintaimu. Aku tidak rela membagimu dengan siapapun," rayu Hilda. Luwes, jemari lentiknya bermain-main di antara kancing kemeja Ganendra.

Namun, Ganendra seolah tak rela dirinya jatuh dalam tipu daya Hilda. Dengan gerakan cepat, dicekalnya pergelangan tangan wanita yang berprofesi sebagai artis terkenal ibukota itu. "Seharusnya kamu setuju untuk bercerai denganku, jadi kamu tak perlu merasakan sakitnya dimadu," ejek Ganendra dengan nada dingin.

"Brengsek kamu, Ga!" Dalam waktu sepersekian detik, raut muka Hilda langsung berubah. Kini dia dikuasai amarah. Sekuat tenaga Hilda mencoba untuk melepaskan tangannya yang berada dalam cengkeraman Ganendra. Setelah berhasil, dia gunakan tangan itu untuk menampar pipi sang suami sekencang mungkin.

Saking kerasnya tamparan itu, pipi Ganendra sampai memerah. Bahkan sudut bibirnya berdarah terkena ujung kuku Hilda yang runcing. Anehnya, putra tunggal Atmawirya Wiratmaja itu sama sekali tak membalas. Ganendra hanya tertawa pelan sambil mengusap setitik darah itu menggunakan ujung ibu jari.

"Apa yang kamu harapkan, Hil? Jelas-jelas kita tidak cocok. Perjodohan kita dulu adalah sebuah kesalahan. Menyerah sajalah," ujar Ganendra enteng.

"Tidak akan!" sentak Hilda. "Hanya aku satu-satunya yang berhak menyandang nama besar Wiratmaja. Aku tidak akan mengizinkan wanita manapun mengambil kesempatan itu dariku!"

"Ya, sudah. Yang penting aku telah mengingatkanmu. Saranku, jangan bermimpi terlalu tinggi, supaya tidak terlalu kecewa," ucap Ganendra.

Mendengar hal itu, emosi Hilda semakin terbakar. "Kamu lihat saja, Ga. Siapa yang akan menjadi pemenangnya! Aku, atau perempuan tidak jelas itu!"

"Perempuan yang kamu bilang tidak jelas itu sudah sah menjadi istriku. Dia jauh lebih kuat darimu di mata hukum," timpal Ganendra. Tak terkira rasa puas yang dia rasakan saat melihat raut wajah Hilda yang semakin tak karuan.

"Aku pulang dulu. Ini sudah terlalu larut. Jingga pasti sudah menungguku pulang. Dia sangat manis, lugu dan begitu menggemaskan. Aku tidak sabar untuk bermain-main dengannya malam ini." Ganendra sengaja memanas-manasi Hilda. Walaupun demikian, apa yang dia ucapkan barusan adalah suatu kebenaran. Setidaknya, itulah yang Ganendra rasakan.

Hilda menutup mulutnya rapat-rapat. Dia tidak sanggup membalas kalimat Ganendra dan hanya bisa melihat punggung lebar suaminya itu bergerak menjauh, kemudian menghilang di balik pintu apartemen. "Sialan!" pekik Hilda nyaring seraya melepas sebelah high heels dan melemparnya ke pintu yang sudah tertutup rapat.

Sementara itu, Jingga kesulitan tidur. Entah kenapa, angannya terus membayangkan mimik muka Ganendra yang tampak kecewa. Sudah berkali-kali Jingga berpindah posisi tidur. Menyamping, telungkup, hingga telentang. Namun, semua itu tidak membantu. Matanya masih lebar terjaga. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.

"Ck!" Jingga berdecak pelan. Dia memutuskan untuk turun dari ranjang. Ragu-ragu tangannya membuka pintu kaca yang menjadi penyekat antara ruangan kamar dengan balkon, lalu berjalan keluar.

Jingga menumpukan sikunya di pagar balkon yang terbuat dari semen. Bagian atas pagar tersebut, membentuk cekungan yang ditumbuhi tanaman hias merambat. Di setiap ujung tanaman, terdapat bunga-bunga kecil yang mulai mekar. Jingga tertarik untuk menyentuh pucuk bunga itu. Dia juga mencoba menghirup aromanya.

"Bunga itu tidak berbau," celetuk seseorang tiba-tiba. Jingga begitu terkejut. Dia langsung berbalik dan mendapati Ganendra sudah berdiri gagah di belakangnya. 

"Pa-pak?" ucap Jingga terbata.

Ganendra mengamati Jingga dari ujung kepala hingga kaki. Gadis itu memakai T-shirt polosnya miliknya, dipadu dengan celana boxer yang juga milik Ganendra. Dua-duanya memiliki ukuran yang terlalu besar untuk dipakai Jingga yang mungil. "Sedang apa di sini?" tanyanya datar.

"A-aku tidak bisa tidur," jawab Jingga.

"Apa kamu tidak merasa dingin? Jangan sampai kamu masuk angin, terus sakit. Bisa repot aku nanti. Belum lagi kita akan melangsungkan pesta resepsi dalam waktu dekat," papar Ganendra.

"Pesta resepsi?" ulang Jingga kebingungan.

"Iya, pernikahan kita harus dirayakan. Semua orang harus tahu bahwa kamu adalah istriku," jelas Ganendra.

"Tapi, kan ...."

"Bisa tidak, kamu tidak protes? Kepalaku pusing," sungut Ganendra sambil berbalik meninggalkan Jingga sendiri di balkon. Pria rupawan itu melepas kemejanya, lalu mengempaskan diri ke ranjang. Dia memejamkan mata untuk beberapa saat sebelum membukanya kembali.

Ganendra menoleh ke arah Jingga yang masih terpaku di balkon. "Kamu sedang apa sih? Aneh sekali. Ayo, masuk sini!" titahnya.

Jingga buru-buru menuruti perintah Ganendra. Dia menutup pintu balkon rapat-rapat dan bersiap untuk berbaring di samping suaminya. Namun, sesampainya di tepi ranjang, lagi-lagi Jingga membeku.

"Kenapa lagi?" Ganendra mendengkus kesal.

"A-aku tidur di mana?" tanya Jingga polos.

"Ya, ampun!" Ganendra meraup wajahnya kasar. Dia bangkit dalam posisi setengah duduk, lalu menarik tangan Jingga kuat-kuat. 

"Aw!" Jingga memekik pelan, seiring keseimbangannya yang hilang akibat ulah Ganendra. Gadis cantik berambut panjang itu terjatuh tepat di samping tubuh atletis yang terpampang jelas di depan matanya.

"Jangan berisik! Cepat tidur! Besok kuajak jalan-jalan!" Ganendra melingkarkan tangan dan mendekap Jingga. Tubuh keduanya menempel erat.

Hidung Jingga menyentuh dada bidang Ganendra. Tercium jelas aroma sabun bercampur parfum mahal yang menguar dari permukaan kulit pria tampan itu. Dia juga dapat merasakan hangat napas Ganendra menyapu pucuk kepalanya.

Jingga merasakan kehangatan dan kenyamanan luar biasa, membuat rasa kantuk hadir dengan mudah. Dia terlelap berbantalkan lengan Ganendra.

Seperti biasa, Jingga tertidur bagaikan orang pingsan. Dia sama sekali tak sadar tatkala Ganendra bangun lebih dulu. Bahkan saat Ganendra memercikkan air di mukanya, Jingga masih tetap mendengkur halus.

"Ya, ampun." Ganendra mulai putus asa membangunkan Jingga. Diapun membiarkan gadis itu dan memilih untuk merapikan diri di walk in closet. Beberapa menit kemudian, Ganendra sudah tampil rapi dalam balutan jas dan dasi berwarna senada.

Tepat pada saat Ganendra keluar kamar, Sandra sudah berdiri di depan kamar sembari memasang wajah semringah. "Selamat pagi, Pak Ganendra," sapanya lembut.

"Kenapa pagi sekali kamu datang? Memangnya kamu tidak ke kantor?" tanya Ganendra penuh selidik.

"Pak Atmawirya menyuruh saya datang ke kediaman Wiratmaja lebih dulu," jawab Sandra dalam bahasa dan nada bicara formal, berbeda dengan saat dia merayu Ganendra di apartemennya kemarin.

"Bukannya pertemuan hari ini diadakan secara langsung di kantor pusat?" tanya Ganendra lagi.

"Justru itu. Pak Atmawirya menugaskan saya untuk melayani anda, terhitung sejak hari ini," tutur Sandra dengan senyum yang terus terkembang di wajah cantiknya.

"Maksudnya?"

"Mulai sekarang, saya tidak lagi menjadi sekretaris pribadi Pak Atmawirya. Anda lah atasan saya yang baru," jelas Sandra antusias.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel