Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Foto Candid

Kelopak mata Jingga bergerak pelan. Sayup-sayup pendengarannya menangkap percakapan antara Ganendra dengan seseorang. Meskipun berat, Jingga berusaha untuk membuka mata karena penasaran.

Melalui pandangannya yang masih sedikit kabur, Jingga melihat Ganendra tengah berbincang dengan seseorang di ambang pintu. "Pak?" Refleks dirinya menyapa sang suami sambil bergegas turun dari ranjang.

Ganendra dan Sandra menoleh secara bersamaan ke arah suara. "Akhirnya, bangun juga kamu," celetuk Ganendra. Sedangkan Sandra yang awalnya ceria, langsung menekuk muka.

Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Sandra sangat pandai mengendalikan diri sekaligus menguasai emosi. Sesaat kemudian, dia kembali memamerkan senyumnya yang menawan. "Selamat pagi, Nyonya Ganendra," sapa Sandra.

Baru kali ini Jingga mendengar seseorang menyapanya dengan sebutan itu. Sontak, sapaan Sandra membuat wajahnya merah merona. "Se-selamat pagi," balas Jingga gugup.

"Maaf kalau saya mengganggu pagi-pagi. Saya harus menjemput Pak Ganendra. Hari ini ada rapat penting di kantor," terang Sandra.

"Oh, iya. Silakan," sahut Jingga.

Ganendra yang berada di antara kedua wanita itu, melemparkan pandangan ke arah Jingga. "Mungkin sore aku sudah sampai rumah. Nanti kita langsung jalan," ujarnya santai.

Jingga mengernyitkan dahi. "Jalan kemana?" tanyanya bingung.

"Ck! Bukankah tadi malam kita sudah sepakat untuk jalan-jalan hari ini?" sahut Ganendra dengan nada kesal.

Sandra langsung menanggapi dengan melayangkan tatapan protes. "Pak," desisnya pelan.

"Hari ini hanya rapat saja, kan? Untuk jadwal lain bisa diatur ulang. Yang jelas, aku harus pulang sore," tegas Ganendra, lalu beralih pada Jingga. "Aku pergi dulu," pamitnya.

Sandra turut mengangguk sopan pada Jingga, lalu menyejajari Ganendra yang sudah berjalan lebih dulu.

Sebenarnya, dua orang yang melangkah beriringan itu tampak begitu serasi di mata Jingga. Sandra mencerminkan wanita karir yang cantik, cerdas dan sangat seksi. Sedangkan fisik Ganendra terlihat sangat sempurna. Pria itu adalah perpaduan kekuatan, kekuasaan dan keindahan raga.

Sorot mata tajam dan senyum Ganendra teramat mempesona. Sikapnya yang kadang galak, kadang dingin dan kadang banyak bicara, membuatnya menjadi sosok yang sangat tidak mudah ditebak. Jingga sempat tenggelam dalam sosok gagah Ganendra, sampai pria itu menghilang dari pandangan.

"Memangnya, kamu mau mengajak istrimu ke mana?" tanya Sandra ketika mereka sudah duduk bersebelahan di dalam mobil. Wajah ramah dan semringah yang dia tunjukkan kepada Jingga tadi telah memudar, berganti dengan ekspresi kesal.

Ganendra tak segera menanggapi pertanyaan Sandra. Dia malah memandang wanita muda berpakaian rapi itu dengan sorot curiga. "Papa menyuruhmu untuk menjadi sekretarisku? Lalu, siapa yang akan menggantikan posisimu?" selidik Ganendra.

"Pak Atmawirya memutuskan untuk merekrut Anggada sebagai asisten pribadi. Nantinya, Anggada yang akan menghandle semua urusan rumah dan kantor," terang Sandra.

"Oh," sahut Ganendra singkat. Sikapnya kembali acuh tak acuh terhadap Sandra. Dia malah sibuk memakai kacamata, lalu mengalihkan pandangan keluar jendela.

Ganendra bukannya tak menyadari bahwa Sandra terus memperhatikan dirinya. Namun, dia merasa malas untuk menghardik kekasih gelapnya itu. "Oh, ya. Aku lupa memberitahukan sesuatu padamu," ucap Ganendra tiba-tiba. "Aku ingin mengadakan pesta resepsi yang indah dan berkesan. Tolong, bantu aku mengatur semuanya, ya," sambungnya dengan nada santai.

Lain halnya dengan Sandra yang terkejut setengah mati. "Resepsi?" ulangnya setengah tak percaya. "Dengan Hilda saja kamu tidak pernah mengadakan resepsi!" protes Sandra.

"Aku dan Hilda hanya menikah di bawah tangan. Untuk apa dirayakan?" timpal Ganendra.

"Sepertinya kamu memperlakukan Jingga terlalu istimewa," cibir Sandra tak suka.

"Lantas, apa masalahnya? Dia istri sahku. Terserah aku mau berbuat apapun," tegas Ganendra.

Sandra tertawa sinis mendengar hal itu. "Jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta sama dia," celetuknya lirih.

Sontak, Ganendra melepas kacamatanya dan menatap Sandra tajam. "Jangan bicara konyol, Sandra! Aku tidak suka!" sentaknya.

Sandra terdiam. Dia tidak berani membuka mulut lagi sampai mobil mewah yang mereka kendarai tiba di tujuan.

"Silakan, Pak," ujar sopir pribadi Ganendra saat membukakan pintu mobil untuknya.

Tak biasanya, Ganendra tak membalas ucapan itu. Dia langsung keluar dan berjalan masuk ke lobi. Dia bahkan meninggalkan Sandra yang telah resmi menjadi sekretaris pribadinya, jauh di belakang. Moodnya tiba-tiba memburuk akibat perkataan wanita itu tadi.

"Jatuh cinta itu adalah sesuatu yang konyol," gerutu Ganendra dalam hati. Namun tak dapat dipungkiri, dari belasan gadis perawan yang sudah dia beli dan nikmati jasanya, hanya satu gadis yang membuatnya merasa sedikit berbeda.

"Jingga ...." Tanpa sadar, Ganendra menyebut nama sang istri tatkala kakinya melangkah ke dalam lift.

Sementara, nama yang dia sebut itu sedang asyik menyusuri kediaman Ganendra yang besarnya bagaikan istana.

Jingga ternyata sibuk memotret setiap sudut ruangan. Setelah puas, dia keluar dari pintu samping dan menyusuri koridor luar menuju ke taman belakang. Jingga kembali mengambil beberapa potret diri dengan latar tanaman hias yang indah.

Gadis cantik itu terlalu sibuk dengan ponselnya, sampai-sampai dia tak memperhatikan arah jalan. Jingga tak menyadari bahwa tak jauh di depannya, ada seorang pria yang juga sibuk dengan telepon genggamnya.

Akhirnya, mereka saling bertabrakan. Ponsel Jingga sampai terpental beberapa meter jauhnya hingga layarnya retak.

"Ya, ampun, hp-ku!" pekik Jingga. Harta satu-satunya itu kini tak berbentuk lagi.

"Aduh, maaf!" ucap si pria panik. Buru-buru dia memungut ponsel Jingga dan memeriksanya. "Maafkan saya, Mbak. Saya tidak sengaja," ucapnya lagi.

"Sepertinya, layarnya terlepas dari bodi hp," tutur si pria seraya memberikan ponsel itu pada Jingga.

"Ya, ampun ...." Jingga merebut telepon genggam dari tangan pria itu dan memeriksanya. "Syukurlah masih bisa dipakai mengetik pesan," ujarnya sambil mengempaskan napas lega.

"Saya akan bertanggung jawab, Mbak. Saya akan membantu memperbaiki hp-nya," ujar si pria.

Jingga yang awalnya sibuk membolak-balik ponsel, segera mengalihkan perhatian pada pria asing tersebut. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Jingga hanya mengamati pria itu dari ujung kepala hingga kaki. "Anda siapa?" tanyanya.

"Saya Anggada. Ini hari pertama saya bekerja di sini. Sebelumnya saya ditempatkan di Belanda oleh Pak Atmawirya," jelas si pria.

"Terus, anda cari siapa di sini? Pak Ganendra sedang berada di kantor," sahut Jingga ketus.

"Saya harus mengambil dokumen di ruang kerja Pak Atmawirya, tapi saya tidak tahu tempatnya. Apakah mbak bisa membantu?" tanya pria bernama Anggada itu.

"Saya juga tidak tahu. Baru tiga hari saya pindah ke sini," jawab Jingga. "Kenapa tidak bertanya satpam di depan?" cetusnya.

"Tadi saya sudah diberitahu, tapi sepertinya saya salah belok." Anggada meringis sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Jingga berpikir sejenak. "Bagaimana kalau saya antar ke Bu Darni. Dia kepala asisten rumah tangga di sini," cetusnya kemudian.

"Boleh!" Anggada tersenyum lebar sembari mengangguk. Dia mengikuti langkah Jingga menuju bagian belakang bangunan utama.

Tatkala mereka berjalan beriringan, tiba-tiba seseorang mengambil foto mereka berdua dari kejauhan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel