Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Karet Gelang

Ganendra merasa sulit sekali untuk konsentrasi. Masih terus terngiang di dalam kepalanya tentang perkataan Sandra yang menuduh dirinya tengah jatuh cinta. "Ck!" Ganendra mengacak-acak rambutnya kasar. Dia lalu meraih segelas air yang memang sudah disediakan untuk setiap anggota rapat.

Ganendra seolah tak memedulikan presentasi yang dipaparkan oleh anak buahnya di depan para komisaris. Dia meneguk air sampai habis dan meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja. Tak berhenti sampai di situ, Ganendra malah mengetuk-ngetukkan gelas itu ke permukaan meja. Tentu saja hal itu mengganggu orang-orang di sekitarnya.

Mereka mengarahkan tatapannya pada Ganendra, tak terkecuali Sandra yang duduk tepat di sampingnya. Wanita muda yang tampak sangat cantik dalam balutan blazer pink dan rok span ketat berwarna senada itu langsung berdehem.

"Oh, maaf," ucap Ganendra menyadari kesalahannya. "Silakan lanjutkan."

"Kamu kenapa sih, Ga?" bisik Sandra.

Namun, Ganendra tak menjawab. Dia berusaha untuk kembali fokus pada rapat pagi itu.

"Nih, supaya kamu tidak galau terus-terusan." Sandra menyodorkan telepon genggamnya pada Ganendra. Dia menunjukkan pada sang atasan beberapa foto yang dikirimkan oleh nomor tak dikenal.

Ganendra mengernyit memperhatikan gambar-gambar yang diambil secara diam-diam itu. Untuk memastikan bahwa penglihatannya tak keliru, dia merebut ponsel Sandra dan mendekatkannya ke wajah. Tak salah lagi, itu adalah foto Jingga yang tengah berjalan bersama seorang pria.

"Siapa pria asing itu? Kenapa dia bisa masuk ke rumahku?" tanya Ganendra teramat lirih.

"Itu Anggada, asisten baru Pak Atmawirya," balas Sandra tak kalah lirih. "Coba lihat, akrab sekali mereka, ya. Padahal baru ketemu. Apa Jingga memang mudah akrab dengan pria tak dikenal?" ujarnya memanas-manasi.

"Berapa kali harus kukatakan, San? Itu semua bukan urusanmu," hardik Ganendra pelan seraya mengembalikan ponsel milik Sandra. "Sekali lagi aku merasa terganggu oleh tingkahmu, aku tak segan-segan memindahkanmu ke divisi lain, atau kupecat sekalian," ancamnya.

Sandra tertegun sejenak, lalu tersenyum pahit. Ancaman itu terdengar begitu menyakitkan bagi dirinya, sehingga Sandra memutuskan untuk tak bicara lagi sampai rapat selesai.

Sementara itu, Jingga tengah santai berbaring di ranjang mewah Ganendra. Setelah mengantarkan Anggada ke Bu Darni, dia memilih untuk kembali ke kamar sang suami sambil membawa beberapa karet gelang.

Dengan telaten, Jingga mengikat ujung atas dan bawah telepon genggamnya menggunakan karet, sehingga layarnya dapat menempel kembali dengan bodi ponsel. Setelah itu, dia mencoba mengetik pesan kepada Echa, teman kuliah yang masih rutin berkomunikasi dengannya meski Jingga sudah cuti kuliah selama dua semester. "Syukurlah, masih bisa dipakai," gumamnya pelan.

Tak berselang lama, sang sahabat membalas pesan Jingga. "Kapan ke kampus? Sayang, lho. Kamu sudah masuk semester akhir."

Jingga membaca tulisan sahabatnya itu dan termangu untuk sesaat. Dirinya mulai bimbang, antara melanjutkan kuliah atau berhenti. Mengingat terakhir kali dia memutuskan cuti karena kekurangan biaya.

"Nanti kutanya suamiku. Apakah aku boleh lanjut kuliah atau tidak," balas Jingga beberapa saat kemudian.

Tak berselang lama, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk datang dari Echa. Jingga tertawa kecil. Sahabatnya itu pasti penasaran dengan isi pesan yang baru saja dia kirimkan.

Benar saja. Echa langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan, sesaat setelah Jingga mengangkat teleponnya.

"Kamu nggak bercanda kan, Ngga? Kapan kamu menikah? Kok tiba-tiba sudah punya suami?" cecar Echa tanpa jeda.

"Panjang ceritanya, Cha. Nanti saja aku cerita kalau kita ketemu," tutur Jingga menenangkan sahabatnya.

"Kapan kita ketemu? Nanti, ya!" ajak Echa setengah memaksa.

"Ehm, nanti ... suamiku mengajak jalan," timpal Jingga malu-malu.

"Ya, ampun!" seru Echa nyaring. "Kalau begitu kenalkan sekalian!" cetusnya antusias.

"A-aku tidak janji. Suamiku agak susah, ehm ...." Jingga tergagap. Dia tak sanggup menjelaskan pada Echa tentang pernikahan pura-puranya.

"Pokoknya aku tidak mau tahu! Nanti sore kutelepon lagi!" putus Echa seraya mengakhiri telepon.

Jingga menarik napas panjang. Sekarang dia harus memikirkan bagaimana caranya mengajak Ganendra untuk berkenalan dengan Echa.

Di saat dia berpikir keras itulah, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.

Jingga langsung melompat dari tempat tidur dan membuka pintu lebar-lebar. "Bu Darni? Ada apa?" tanya Jingga keheranan.

"Maaf, Nyonya. Pak Anggada ingin bertemu. Apakah boleh?" tanya Darni ragu-ragu.

"Ketemu saya?" Jingga menunjuk dirinya sendiri. "Untuk apa?"

"Katanya kalau tidak salah, mau memperbaiki hp," jawab Darni.

"Oh, itu ...." Jingga berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Ya, sudah, Bu. Di mana dia?"

"Pak Anggada menunggu di ruang tamu, Nyonya," jawab wanita paruh baya itu.

Tanpa membuang waktu, Jingga pun bergegas menemui Anggada. Pria bersetelan rapi tersebut tengah asyik memainkan ponsel dan tak menyadari kehadiran dirinya di sana.

"Ehm!" Jingga berdehem sedikit nyaring ketika laki-laki dengan ketampanan khas Indonesia itu masih juga belum melihat ke arahnya.

"Oh, Mbak!" Anggada langsung berdiri dan menghampiri Jingga. "Mana hp-nya? Mari saya antar ke toko servis," tawarnya.

'Oh, tidak usah. Masih bisa dipakai, kok." Jingga malu-malu menunjukkan ponselnya yang diikat menggunakan karet gelang.

"Astaga ...." Anggada mengulum bibir menahan tawa. "Ini sudah parah, Mbak. Harus dioperasi dengan segera," ujarnya seraya mengambil ponsel Jingga dan membolak-balik benda pipih itu.

"Tidak usah. Masih bisa dipakai, kok," tolak Jingga.

"Jangan! Saya harus bertanggung jawab, karena saya yang mengakibatkan hp Mbak rusak," desak Anggada.

"Kalau hp saya dibawa, lantas saya pakai apa?" tanya Jingga lugu.

"Mbak bisa ikut bersama saya. Kita bisa menunggu sampai hp mbak selesai diservis," bujuk Anggada.

"Tapi ... saya belum izin ...."

"Bu Darni? Tidak apa-apa. Dia sudah saya beritahu, kok," potong Anggada.

"Bu Darni?" Jingga menautkan alis tak mengerti.

"Iya. Bukankah Bu Darni kepala asisten rumah tangga di sini? Saya sudah meminta izin padanya. Mbak tidak perlu khawatir," timpal Anggada.

"Tunggu, tunggu! Apa hubungannya Bu Darni dengan saya? Apa Pak Ganendra yang menyuruh?" Jingga semakin bingung dengan maksud Anggada.

"Bu Darni atasan mbak, kan?" terka Anggada.

"Atasan?" ulang Jingga. "Oh, jadi anda mengira saya pembantu di sini?" desisnya pelan.

"Ehm, maaf. Anda asisten rumah tangga, bukan?" Anggada mulai bimbang. Dia memindai Jingga dari pucuk kepala hingga kaki.

Gadis itu masih memakai pakaian yang sama seperti kemarin, T-shirt oversize dan celana boxer, karena Jingga memang tak membawa baju ganti selembar pun saat Ganendra membawanya. "Sa-saya ...." Jingga ragu-ragu hendak menyebut bahwa dirinya adalah nyonya di rumah megah ini.

"Jangan khawatir, Mbak. Sebentar saja, kok. Saya yakin Bu Darni pasti mengerti," bujuk Anggada lagi.

"Tidak usah, sungguh. Saya ikhlaskan hp saya rusak." Jingga bermaksud untuk meraih ponsel yang dipegang Anggada. Namun, pria itu sigap menghindar. Jingga hanya mampu menangkap angin, sementara ponselnya masih tetap berada di tangan Anggada.

"Tolonglah, jangan buat saya tidak bisa tidur karena rasa bersalah. Ayo, ikut. Janji tidak sampai sejam," desak Anggada.

"Jingga tidak akan ke mana-mana!" Sebuah suara menggelegar, tiba-tiba menyela pembicaraan kedua orang itu. Jingga dan Anggada serempak menoleh ke arah suara.

"Pak Ganendra?" gumam Jingga dengan mata membulat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel