Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Cinta berusaha untuk mengeraskan suaranya. Namun tetap saja suaranya tidak keluar. Tangan lebar Rafasya dengan keras menekan batang lehernya.

Rafasya melepaskan tangannya di leher istrinya ketika melihat kondisi wanita itu sudah semakin melemah.

Tidak ada kelembutan dan tidak ada rasa kasihan. Hatinya seakan mati. Yang ada hanya rasa bahagia dan senang saat mendengar jeritan dan suara tangis kesakitan wanita yang sangat di bencinya.

Entah sudah berapa kali dan sudah berapa jam ia melakukan penyatuan terhadap istrinya. Rafasya baru menghentikan permainannya ketika benar-benar merasa puas. Meskipun tahu ini merupakan pengalaman pertama untuk Cinta, namun pria itu tetap melakukannya dengan kasar dan tanpa ada rasa kasihan.

Dilihatnya Cinta yang sudah terkulai lemas dan tidak sadarkan diri. Wajahnya pucat, bibir putih dan kering. Di sudut bibir kiri dan kanan, ada sisa darah yang sudah mengering.

Tubuh wanita itu tampak menyedihkan. Kulitnya yang putih, meninggalkan jejak tangan yang merah keunguan dilehernya. Ditubuhnya sudah banyak jejak telapak tangan, bekas gigitan, dan bercak merah lainnya.

Rafasya tersenyum mengejek. "Wanita lemah dan bodoh. Hanya seperti ini saja sudah pingsan. Bagaimana mungkin kau bisa memuaskan aku, jika kau tidak bertenaga sama sekali."

Matanya memandang seprai yang menjadi alas tidur Cinta. Terdapat banyak bercak darah dan ia bisa melihat darah yang merembes dari celah paha istrinya. Itu artinya dia tidak melakukan ritual pertama mereka dengan cara yang benar. Namun tetap saja pria itu tidak memperdulikannya.

Tubuhnya yang lelah namun sudah terasa ringan karena sudah melepaskan apa yang membuat dirinya tersiksa. Rafasya mengirim pesan kepada pengacaranya. Setelah selesai mengirim pesan, baru ia tidur dengan lelap.

***

Raffasya Bagun dengan tubuh yang terasa segar. Apa yang dilakukannya semalam, masih teringat jelas olehnya. Bagaimana mungkin aku bisa berhasrat melihat dia. Dia istri ku, aku mau berbuat apa saja, itu hak Ku. Bahkan sekarang nyawanya milik ku," batinnya tanpa merasa bersalah.

Mengapa dia banyak mengeluarkan darah? Terbesit pertanyaan itu di pikirannya. Namun lagi-lagi Rafasya mematikan hatinya untuk tidak perduli dan tidak menghiraukan sama sekali. Apa yang telah terjadi tadi malam, terasa begitu sangat nikmat. Bahkan siang ini, ia masih ingin melakukan penyatuan hingga puas. Namun akal sehatnya sudah kembali dan terbayang wajah kekasihnya.

"Kau harus bersyukur, saat nanti aku menceraikan mu, kau tidak perlu malu karena masih perawan." Ada rasa bangga dihatinya ketika sudah mengambil haknya sebagai suami.

Ia beranjak dari tempat tidur dan langsung ke kamar mandi. Setelah selesai membersihkan tubuhnya. Pria itu, memakai pakaian dan bersiap-siap untuk pulang.

Cinta terbangun dengan tubuh yang lemas dan kepalanya juga terasa amat pusing. Dilihatnya Raffasa yang sudah berpakaian rapi.

"Bersiap-siaplah, kita akan pulang."

"I... iya," jawab Cinta yang terbata-bata. Ia sungguh sangat takut untuk menatap wajah suaminya. Bahkan sekarang tubuhnya gemetar saat kembali teringat apa yang terjadi semalam.

"Cepat!" Raffasa memberi perintah dengan sedikit membentak.

"Iya bang." Cinta melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dengan terburu-buru, ia turun dari atas tempat tidur. Kaki yang lemas, bagian inti yang sakit luar biasa, dan kepala yang teramat pusing, membuatnya terjatuh.

"Aduh." Cinta meringis menahan rasa sakit. Posisi jatuh tersungkur seperti ini, membuat kepala mendarat lebih dulu. Dipegangnya kepala yang terasa semakin pusing dan sakit.

Pria itu hanya bersikap biasa saja ketika melihat istrinya terjatuh dan tersungkur. Diambilnya ponsel yang terletak di atas nakas dan mengangkat panggilan telepon tanpa membantu istrinya untuk berdiri terlebih dahulu.

Setelah apa yang dilakukannya semalam, sudah bisa di pastikan bahwa wanita itu tidak akan mampu untuk berjalan. Bukan hanya 1 atau 2 kali, ia melakukan penyatuan hingga 5 kali dan hanya beristirahat kurang lebih 1 jam. Apa lagi melihat banyaknya darah yang berserakan di sprei, menandakan bahwa wanita itu mengalami kesakitan yang luar biasa. Darah yang keluar, tidak seperti darah wanita buka segel pada umumnya.

Cinta tahu, bahwa suaminya tidak akan membantunya. Ia berusaha untuk berdiri sendiri dan berjalan ke kamar mandi dengan kaki gemetar dan berpegangan pada dinding.

Tidak butuh waktu lama untuk membersihkan tubuhnya. Ia keluar dari kamar mandi setelah tubuhnya bersih dan segar.

Rafasa memandang Cinta yang keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk. Melihat ini saja, sudah membuatnya mau lagi. Tanpa berpikir panjang, ia mendekati istrinya.

"Abang mau apa?" Kaki Cinta gemetar melihat raut wajah suaminya. Dengan refleks kakinya mundur beberapa langkah ke belakang.

Rafasa tidak menjawab ia menjatuhkan handuk yang dipakai Cinta ke lantai dan mendorong tubuh lemah ke tempat tidur.

"Abang, tolong jangan sekarang. Cinta beneran sakit." Air matanya mengalir deras.

"Berani menolak tugas mu sebagai istri." Raffasa menampar pipi Cinta dengan keras.

Cinta diam merasakan pipinya yang sakit dan pedih. Telinganya mendengung dan sakit.

"Terserah aku mau kapan saja, itu hak aku." Raffasa hanya meludah milik Cinta dan memasukkan kepunyaan dengan paksa.

Cinta hanya diam dan memejamkan matanya. Rasa sakit ini, sungguh sangat luar biasa.

Hampir 1 jam melakukan penyatuan, ia akhirnya memuntahkan cairan di rahim istrinya.

"Cepat bersiap, aku tidak punya waktu lama menunggu mu." Raffasa melihat benda kepemilikan berwarna merah. Meskipun tidak banyak. Ia mengambil tisu dan membersihkannya. Setelah bersih ia kembali menyimpan benda kesayangannya.

Cinta hanya diam dan kembali memakai handuknya. Ia berjalan dengan sangat lambat, untuk masuk ke kamar mandi.

Setelah mandi ulang, Cinta keluar dari kamar mandi. Ia mengambil dress yang panjang semata kaki dan memakaikannya.

Cinta melihat pantulan dirinya dari cermin. Mata bengkak, bibir bengkak dan sudut bibir terluka. Bibirnya juga pucat. Agar wajahnya tidak terlihat menyedihkan, ia memakai lipstik.

Air mata kembali menetes saat mendengar obrolan Rafasya lewat panggilan video call. Hatinya sakit seperti sedang di remas. Bagaimana mungkin pria itu bisa berkata mesra dengan selingkuhannya di depan Cinta. Rasa sakit ini seakan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan dirinya tidak bisa menggambarkan rasa sakit dihatinya.

Rafasya menutup handphone setelah berbicara dengan kekasihnya. Tatapan matanya memandang ke arah Cinta yang masih duduk di depan meja rias.

Pria itu beranjak dari duduknya dan membuka pintu kamar hotel, saat orang yang di tunggunya sudah datang.

"Cinta, kesini." Rafael sudah duduk di kursi sofa yang berada di ruang tamu kamarnya. Kamar hotel ini memang memiliki, ruang makan dan ruang tamu

Cinta keluar dari dalam kamar dan memandang ke arah suaminya. Ia sungguh tidak tahu siapa yang datang saat ini. Seorang pria berjas dan membawa tas beserta map.

"Duduk!" Rafasya menunjukkan kursi sofa yang ada di depannya.

Dengan sangat patuh, ia duduk di tempat yang di tunjukan suaminya.

"Perkenalkan, saya Supriadi pengacara pak Rafasya." Pria berjas hitam itu memperkenalkan dirinya.

Cinta hanya diam dan tidak tahu apa yang saat ini direncanakan suaminya.

"Ini pak surat perjanjian yang pak Rafa minta dan bisa dibaca terlebih dulu." pengacara itu memberikan surat kepada Rafasya.

Rafasya mengambil surat itu dan kemudian membacanya hingga sampai poin terakhir.

"Kamu baca, dan kamu tandatangani bila sudah mengerti. Bila tidak mengerti, silahkan bertanya." Rafasya menyodorkan surat pernyataan yang sudah di ketik dan bermaterai.

Isi dari surat itu, belum diketahuinya, namun dadanya, sudah terasa sesak dan sakit.

"Cepat baca!" Rafasya mengeraskan suaranya.

Cinta mengambil surat di atas meja. Tangannya gemetar ketika membaca judul surat tersebut.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel