Bab 5
"Aku akan melakukan apa yang kamu inginkan. Bukankah kamu sangat menginginkan ini?" Rafasya mengangkat sudut bibirnya sebelah kanan. Dengan sangat keras digenggamnya benda berbentuk Buki tersebut.
"Enggak bang, jangan kuat-kuat sakit." Cinta meringis merasakan sakit ketika suaminya menggenggamnya dengan sangat kuat dan kasar.
"Jangan bohong, kau pasti sangat menyukai ini. Aku sangat tidak suka wanita munafik seperti kau. Jadi akui saja, bukankah kau begitu sangat menginginkan ini." Rafasya semakin menggenggam dengan sangat kuat.
"Abang, tolong lepasin." Cinta meringis.
"Apa gunanya kau, memakai pakaian yang begitu sangat menggoda seperti ini, bila tidak untuk menggoda dan merayu ku. Bukankah ini yang kau inginkan. Aku hanya ingin mencicipi barang ku. Aku ingin tahu, apa milik mu enak dan bisa membuat aku puas dan candu. " Rafasya menarik Mini dress istrinya ke atas. Dibukanya kain pelindung berbentuk segitiga berwarna hitam dengan sangat kasar. Tangannya sebelah kiri, berada di leher istrinya dan mencekiknya.
Cinta kesulitan bernapas, ketika Rafasya mencekik lehernya. "Tolong lepaskan" Cinta berusaha untuk berbicara, ketika pria itu semakin menguatkan jepitan di lehernya. Air matanya menetes merasakan takut yang luar biasa. Jepitan dilehernya semakin kuat hingga Cinta sudah tidak bisa bernafas. Wajahnya memerah dan lidah menjulur keluar.
Tidak ada rasa kasihan ataupun iba dihatinya, meskipun wajah istrinya sudah memerah dengan lidah yang menjulur keluar.
"Lepaskan." Kalimat itu diucapkannya tanpa suara. Cinta terus menarik tangan Rafasya agar terlepas dari lehernya. Namun usahanya sia-sia karena jepitan di lehernya semakin mengencang. Matanya terbuka lebih dan memerah. Tenaganya semakin melemah sehingga tidak lagi melakukan perlawanan. Cinta hanya bisa pasrah menerima takdirnya yang harus mati di tangan suaminya.
Rafasya terus saja menatap wajah istrinya yang sudah semakin merah. Setelah melepaskan celana yang berbentuk segitiga, ia merenggangkan tangannya dari leher istrinya. Saat ini pria itu terfokus dengan benda kepemilikan Cinta. Berulang kali ia menelan air ludahnya ketika menatap bentuk rupa yang begitu sangat Sempurna.
Cinta terbatuk-batuk ketika ketika tangan lebar dan besar itu telah terlepas dari lehernya. Jika terlambat sedikit saja Rafasya melepaskan lehernya, mungkin ia sudah mati. Dihirupnya oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga paru-paru yang sempat kosong. Ada rasa malu ketika melihat Rafasya menatap aset berharga miliknya. Ia mencoba menutup benda itu dengan tangannya. Namun pria itu menepis tangannya. "Abang mau apa?"
"Tentu saja ingin mengambil hakku sebagai suami." Rafasya tersenyum sinis.
"Aku ingin tahu apakah barang milikmu ini enak." Ditamparnya dengan Karas benda yang dimaksudnya.
"Aku tahu kau hanya wanita yang berhati busuk namun berpura-pura baik. Kau jalang, wanita murahan." Bibirnya berkata dengan sangat tajam sedangkan tangannya bekerja dengan sangat kasar.
Kata-kata yang dilontarkan oleh Rafasya begitu sangat menyakitkan. Apakah serendah ini pria itu memandangnya? Namun Cinta tidak mampu untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Lidahnya seakan keluh untuk berbicara.
Tanpa aba-aba Rafasya memasukkan barang kepemilikannya.
"Abang tolong pelan." Cinta kesakitan. Rasanya sungguh sangat sakit, bahkan pria itu mencoba untuk menerobos ketika kondisi miliknya tidak dalam keadaan siap.
Telinganya seakan tuli ketika mendengar ucapan istrinya. Rafasa hanya tersenyum sinis memandang wajah pucat sang istri. Dia tetap memaksa untuk masuk, namun berulang kali gagal.
"Abang sakit sekali tolong pelan." Cinta berkata dengan terbata-bata. Namun lagi-lagi ucapannya tidak didengarkan sama sekali.
Rafasa tetap memaksakan memasukkan barang miliknya yang berukuran besar. Berulang kali mencoba untuk menerobos, namun tetap gagal. Hingga pada akhirnya ia gram dan mendorong dengan keras. Suara tangisan dan jeritan yang terdengar secara bersamaan menjadi bukti bahwa dirinya sudah berhasil mengambil haknya sebagai suami. Ditatapnya wajah Cinta dengan tersenyum sinis. Meskipun tahu wanita itu masih dalam keadaan perawan, namun ia tidak mengatakan apa-apa. Tuduhannya yang mengatakan istrinya jalang, wanita murahan, ternyata tidak terbukti. Tidak ada raut bahagia di wajahnya ketika mengetahui bahwa dirinya orang pertama untuk istrinya.
Tubuhnya gemetar merasakan sakit yang luar biasa.
Rafasya tersenyum memandang istrinya. "Aku hanya ingin bermain-main dengan wanita yang sudah jadi istri ku. Aku sudah katakan kepada mu, bahwa aku tidak ingin menikah dengan mu, tapi kau tidak ingin membatalkan pernikahan ini." Dengan sangat kasar Rafasya bergerak memaju, mundur.
Cinta hanya diam saat mendengar ucapan suaminya. Air matanya menetes dengan sendirinya, merasakan perih dihatinya.
Rafasya memandang wajah cantik istrinya. Tatapan matanya tidak berpindah sedikitpun ketika melihat ciptaan tuhan yang begitu sangat sempurna di matanya. Namun pria itu begitu sangat egois dan tidak menerima kenyataan. Ia menyangkal hal tersebut dan hanya ingin melepaskan hasrat didalam tubuhnya. Tangannya kembali menggenggam benda yang tidak berukuran besar itu, namun cukup penuh digenggaman tangannya.
Cinta tidak menikmati apa yang diberikan suaminya. Dirinya hanya merasakan sakit yang luar biasa. Ia hanya diam dan membiarkan suaminya berbuat sesuka hati.
Entah apa yang terjadi pada dirinya. Ia begitu sangat tidak mengerti dengan rasa yang saat ini membuat hasratnya naik. Dia bukan jenis pria yang tidak pandai mengontrol hasratnya. Terbukti, selama 4 tahun berpacaran dengan Karin, ia mampu menjaga kekasihnya. Namun malam ini, mengapa tubuhnya terasa panas. Membuatnya tidak mampu menahannya, pada akhirnya Rafasa menggigit bagian puncak gunung istrinya dengan keras. Ia ingin melepaskan rasa sesak yang menjalar ke sekujur tubuh dan meluapkan rasa marah yang tertanam di dalam hatinya.
Suara jeritan kesakitan yang lolos di bibir istrinya, tidak dihiraukannya. "Kau suka." Rafasya semakin mempercepat temponya.
Cinta menggelengkan kepalanya. Ia ingin Rafasya segera mengakhiri permainan ini. Rasanya sungguh sangat sakit yang membuatnya tidak sanggup untuk bertahan.
"Kau bilang tidak suka?" Rafasya emosi dan menpar pipi istrinya dengan keras.
Wajah Cinta semakin memucat saat mendapatkan tamparan keras dari pria yang belum sampai satu hari menjadi suaminya.
"Katakan lagi, apa kau tidak suka?" Rafasya kembali menampar pipi istrinya hingga sudah bibir Cinta berdarah.
"Katakan, kau tuli." Ia memaksa dan semakin mempercepat gerakannya.
"Suka," jawab Cinta dengan suara yang sangat lemah.
"Apa tidak bisa kau mengeraskan suara mu?" Wajah tampannya sudah berubah menyeramkan seperti monster.
***
