Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

Belum membaca isinya saja, Cinta sudah terkena serang jantungan. Tiba-tiba saja dadanya terasa sakit dan sulit untuk bernapas.

"Mau sampai kapan kau termenung." Rafasya jengah melihat ekspresi wajah istrinya.

Cinta diam dan memandang kertas di tangannya. Meskipun tidak tertarik untuk mengetahui isi dari kertas itu, namun tetap harus di bacanya.

Surat perjanjian nikah.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan akan bertanggung jawab dan menerima sanksi jika saya melanggar isi perjanjian yang sudah di sepakati. Saat ini saya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Saya melakukan ini semua dengan sadar dan tanpa ada paksaan.

Nama : Cinta Hanifah

Umur : 21 tahun

Status : mahasiswa

Tempat, tgl lahir : Yogjakarta, 25 Juli 2002.

Isi perjalanan sebagai berikut :

"Poin 1. Saya, Cinta Hanifah, tidak akan pernah menginjakkan kaki di perusahaan yang di pimpin suami saya, Rafasya Wijaya. Terkecuali jika di perintahkan." Cinta membaca dengan suara yang sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri.

"Ulang," pernah Rafasya.

Cinta diam memandang suaminya. Ingin bertanya, namun lidahnya terasa keluh.

"Ulang, agar kau paham dan ingat. Aku ingin kau mengingat isi perjanjian ini hingga kau mati. Apa kau mengerti." Pria itu tersenyum iblis memandang istrinya. Melihat wajah pucat dan tidak berdaya Cinta, membuatnya berada di atas angin dan sangat bahagia tentunya.

Layaknya manusia bodoh yang tidak bisa memikirkan apapun, Cinta membaca ulang poin pertama.

"Bagaimana, apa kau sudah mengingat dengan baik." Rafasya tersenyum mengejek.

Cinta hanya diam tanpa menjawab.

"Kau tuli, kau tidak dengar aku bertanya?" Rafasya berkata dengan kasar seakan tidak ada orang lain yang mendengar perkataannya dengan sang istri.

"Coba kau katakan isinya." Rafasya sedikit tersenyum.

"Saya tidak akan pernah menginjakkan kaki di perusahaan yang di pimpin suami, saya," jawab Cinta dengan bibir gemetar. Baru poin 1, tapi mengapa sudah sangat sakit yang dirasakannya.

"Lanjut!" Rafasya tersenyum.

"Poin 2. Saya, Cinta Hanifah, tidak akan pernah bertanya tentang urusan suami saya, Rafasya Wijaya. Baik urusan pekerjaan hingga urusan pribadi."

"Kau paham?" Tanya Rafasya.

Cinta hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Aku tidak ingin kau mengurusi apapun tentang urusanku. Aku mau pulang jam berapa, aku mau keluar dengan siapa, aku mau makan dengan siapa, semua urusanku. Kau tidak perlu ikut campur, kau paham." Meskipun isi poin kedua sudah jelas namun tetap saja Rafasya memperjelas maksud dan tujuannya, demi apa coba? Tentu saja untuk membuat mental istrinya semakin terpuruk.

"Iya," Jawab Cinta.

"Lanjut!" Perintah Rafasya.

"Poin 3. Saya, Cinta Hanifah, tidak berhak meminta hak sebagai istri, di atas tempat tidur." Cinta diam ketika membaca poin ke ketiga. Matanya panas, dada terasa sakit dan sesak. Namun Cinta kembali melanjutkan membaca poin selanjutnya.

"Kau paham isi poin ke 3? Aku yakin kau sudah paham, karena kau bukan wanita yang bodoh. Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tidak tertarik kepada mu, jadi jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan lebih, bahkan berharap aku akan menyentuh mu." Tanpa berperasaan, Rafasya berkata dengan tegas dan lugas.

Hinaan dan cacian, begitu sangat ringan keluar dari bibir pria yang berstatus suami tersebut. Semalam ia juga mengatakan hal yang sama, namun nyatanya Rafasya datang dan melakukan ritual malam pertamanya dengan sang istri, wanita yang sangat di bencinya. Meskipun apa yang terjadi tadi malam masih teringat jelas dalam ingatannya namun tetap saja tidak ada sesal di hatinya. Bahkan dia merasa puas, sudah membuat wanita itu menyesal karena menikah dengannya.

Wajah Cinta sudah sangat merah ketika mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Rafasya. Malu, terhina, dan bahkan sudah tidak memiliki harga diri lagi. Hanya ini yang menggambarkan dirinya saat ini. Bahkan untuk mengangkat kepala pun rasanya sudah tidak sanggup.

"Jika tidak tertarik kepadaku dan aku bukan selera mu, lalu apa yang kamu lakukan semalam? Bahkan kamu tidak mengizinkan aku beristirahat, walau hanya sebentar. Namun tetap saja tidak membuat dirimu puas. Bahkan ketika aku sudah tidak mampu untuk bergerak lagi karena tenaga yang sudah habis terkuras, hanya untuk melayani napsu binatang mu. Disaat aku pingsan, aku yakin kamu tetap melanjutkan tanpa mau berhenti. Apakah seperti itu yang dikatakan tidak napsu, tidak bergairah?" Cinta mengeluarkan apa yang ada di dalam pikirannya namun disayangkan, kalimat itu hanya diungkapkan di dalam hatinya saja tanpa berani untuk mengatakan kepada pria sombong yang sudah menjadi suaminya.

"Semalam aku menyentuh mu, karena itu kewajibanmu sebagai istriku. Apalagi orang tuaku menyanjung mu setinggi langit. Jadi wajar jika aku penasaran dan aku juga harus membuktikan perkataan mereka benar atau tidak. Namun untuk selanjutnya, kau jangan berharap aku akan melakukan hal tersebut. "Seakan mendengarkan jeritan hati istrinya Rafasya menjawab dengan enteng.

Tubuh Cinta semakin gemetar ketika mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya. Dengan bersusah payah wanita itu menahan Isak tangisnya agar tidak lolos, namun tetap saja tidak bisa. Menangis seperti ini, sungguh membuat Cinta semakin malu karena sudah memperlihatkan betapa lemahnya dia. Namun Cinta tetaplah wanita yang sama seperti yang lain. Wanita yang menangis ketika merasakan sakit. Jangan di tanya seperti apa hancur lebur hatinya.

"Maaf pak Rafasya, saya mengangkat telepon sebentar." Pria yang berstatus pengacara itu berkata ketika ponselnya berdering.

"Silakan," jawab Raffasya.

"Silakan dibaca dulu setiap poinnya mbak Cinta. Nanti jika ada yang tidak mengerti bisa ditanyakan." Pria itu kemudian pergi keluar dari kamar hotel untuk mengangkat telepon yang masuk. Padahal telepon itu bukanlah telepon penting namun dia lebih memilih untuk pergi meninggalkan kamar. Jujur saja dadanya terasa sakit dan juga sesak ketika melihat Rafasya memperlakukan istrinya dengan sangat buruk. Tanpa perasaan dan dengan sangat teganya menginjak-injak harga diri, wanita yang berasal dari tulang rusuknya sendiri.

"Aku menyesal mengambil pekerjaan ini namun mau bagaimana lagi aku tidak bisa menolak, dia klienku." Pria patuh baya itu tampak menyesal menjadi pengacara Rafasya.

Sedangkan Cinta yang berada di dalam kamar merasa sedikit lebih lega. Setidaknya apa yang dikatakan oleh suaminya hanya dirinya yang mendengar.

Lanjutkan Rafasya kembali memberikan perintah.

"Poin 4. Saya, Cinta Hanifah, tidak akan pernah menceritakan permasalahan rumah tangga saya, atau masalah pribadi saya kepada siapapun. Termasuk mertua, sahabat, media sosial, atau siapapun, tanpa terkecuali. Jika saya melakukannya, saya siap untuk ditalak."

Semakin membaca ke bawah, mengapa dadanya terasah semakin sesak saja. Air mata yang sejak tadi ditahan, akhirnya meluncur dengan sendirinya. Rasanya sungguh sangat sakit ketika membaca poin tersebut. Namun lagi-lagi Cinta tidak bisa menolak.

"Kau harus ingat dengan perjanjian ini, jika aku mengetahui kau melanggar perjanjian, maka aku akan langsung menjatuhkan talak kepada mu, apa kau mengerti?" Lagi-lagi Rafasya memberikan penekanan atas ucapannya.

"Iya," jawab Cinta.

"Apa kau tidak bisa membaca lebih cepat." Rafasya kesal saat melihat Cinta yang lama terdiam.

Cinta hanya diam tanpa menjawab pertanyaan suaminya. Namun ia tetap melanjutkan untuk membaca.

Poin 5. Saya, Cinta Hanifah tidak akan pernah menuntut hubungan layaknya pasangan suami-isteri pada umumnya. Termasuk makan bersama, jalan bersama, ataupun melakukan aktivitas bersama-sama.

Rafasya tersenyum penuh kemenangan ketika melihat awal dari penderita wanita yang baru dihalalkannya satu hari yang lalu. Menurutnya ini semua belum sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan Karin, wanita yang begitu sangat dicintainya.

Poin 6. Jika saya berjumpa dengan suami saya, Rafasya Wijay, diluar rumah, saya tidak berhak untuk menegur dan menyapa.

Cinta diam dan memandang wajah pria yang duduk di depannya. Poin ini memang terkesan bisa, namun sangat menyakitkan. Jangankan untuk mengaku sebagai istri, hanya sekedar menegur saja, tidak boleh? Kepala Cinta yang sudah pusing terasa semakin pusing. Namun tetap saja ia kembali membaca poin selanjutnya.

Cinta sudah tidak sanggup untuk melanjutkan membaca isi dari surat perjanjian tersebut. Dadanya sakit dan sesak. Matanya terasa panas, setelah membaca setiap kalimat yang wajib disetujuinya. Sedangkan isi poin yang harus disetujuinya sebanyak 25 poin.

"Apa Cinta boleh mengambil gambar dari isi surat perjanjian ini?" Bibirnya bergetar saat bertanya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel