Bab 2
Gerbang bambu berderit pelan saat dia mengulurkan tangan, hendak melangkah masuk ke dalam padepokan. Saya menolak membiarkan getaran yang memenuhi diri saya terekam di wajah, tetapi nyeri yang berdenyut di punggung seolah menuntut pengakuan atas nama yang baru saja diucapkan: Arya Sena.
“Jangan melangkah,” perintah saya. Suara saya lebih dingin dari udara Merapi yang beku. Saya harus memasang benteng yang tidak dapat ditembus.
Wanita itu—yang saya taksir berusia sekitar akhir dua puluhan, tetapi dengan kematangan yang melampaui usianya—menghentikan gerakannya. Ia memandang saya, alisnya yang tipis terangkat sedikit, ekspresi lelah dan frustrasi berpadu dengan wibawa.
“Tampaknya, rumor tentang Anda benar,” katanya, nada suaranya tajam seperti logam yang baru diasah. “Janggal, eksentrik, dan menolak kenyataan. Namun, saya telah menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk menemukan kebenaran yang tidak terjanggal oleh opini umum, Resi Danu.”
“Jika kebenaran yang Anda cari adalah ketenangan, Anda salah alamat, Nona,” balas saya. “Di sini, di Merapi, saya hanya punya waktu untuk diri sendiri dan artefak yang terkutuk. Saya bukan penerima tamu. Saya hanyalah Danu.”
“Anda salah,” potongnya, tanpa memedulikan kesopanan dasar. “Anda tidak punya waktu untuk diri sendiri. Dunia sedang roboh, dan kehancurannya akan membawa serta pondok kayu kecil ini jika Anda terus bersikeras mengenakan topeng pertapa sunyi.”
Dia melangkah lebih dekat, tetapi masih menghormati garis pagar bambu. Wajahnya begitu dekat dengan gerbang sehingga saya bisa melihat pancaran gigih di mata gelapnya.
“Saya Putri Laksmi,” katanya, formalitas yang berat menghiasi namanya. “Putri mahkota terakhir dari Keraton Jagatkarya. Dan keraton saya sedang sekarat, Resi.”
Jagatkarya. Nama itu—seperti halnya nama Arya Sena—menimbulkan resonansi aneh di dasar sumur jiwa saya. Itu adalah kerajaan purba, sebuah dinasti yang seharusnya telah menjadi mitos. Punggung saya terasa perih, mengingatkan saya bahwa semua mitos punya darah dan sisa dosa yang tertinggal.
“Jagatkarya,” ulang saya, pura-pura tidak terpengaruh. “Dinasti yang seharusnya telah meredup tiga ratus tahun lalu, jika riwayat sejarah itu benar. Saya seorang resi, Putri. Saya tidak tertarik pada intrik takhta yang sudah usang.”
“Intrik yang sudah usang inilah yang mengirimkan bayangan hitam, yang membuat panen gagal, yang membuat rakyat saya mati kedinginan meskipun matahari bersinar terik,” Putri Laksmi berkata, suaranya retak. Di balik kemegahan gaun safirnya, ada keputusasaan yang begitu dalam. “Ini bukan sekadar intrik politik. Ini kutukan, sebuah kutukan kuno yang ditanggung oleh setiap pewaris tahta, dan kini, itu menuntut pelunasan darah terakhir.”
Saya melihat keteguhan hati di wajahnya. Dia adalah pewaris yang gigih, rela mengesampingkan martabat kerajaan demi meminta pertolongan pada resi yang ia anggap aneh dan mungkin gila, yang tinggal di perbatasan mitos dan Merapi.
Dia tidak akan pergi. Sebuah pemikiran fatalis melintas. Kau tahu kau tidak bisa menolak penderitaan yang begitu murni, Danu.
Saya membuka gerbang bambu itu hanya sedikit, memberi izin seukuran bahu bagi dirinya untuk masuk. “Masuklah, Putri. Tetapi buang harapan bahwa saya adalah ‘Raja’ yang Anda cari.”
Putri Laksmi mengangguk kaku dan memasuki halaman pondok. Udara Merapi yang dingin seolah gentar menyambut kain sutra yang ia kenakan. Kami duduk di serambi kecil, aroma cendana dan minyak wangi yang tersisa dari ritual pagi tadi masih pekat.
“Baiklah. Beri tahu saya apa yang Keraton Jagatkarya inginkan dari seorang resi tanpa takhta, tanpa ambisi, dan tanpa ingatan sejarah yang jelas,” tantang saya, menuangkan teh hangat herbal yang pahit untuk menenangkan saraf.
Laksmi mencondongkan tubuh ke depan, mengabaikan cangkir tehnya. Intensitas matanya memaku saya, memaksa saya mengakui bahwa ketenangan saya hanyalah ilusi. “Keraton memerlukan kuncinya. Artefak yang dulu, sebelum kehancuran spiritual pertama, menyegel takdir dinasti kami.”
“Artefak apa?”
“Pusaka Peneduh Jagat,” bisiknya, seolah takut nama itu akan terdengar oleh roh jahat Merapi. “Dahulu kala, pusaka itu dikatakan menenangkan semua energi chaos di alam. Tetapi ia hilang. Hilang setelah Raja Arya Sena… ah, maaf, setelah Raja Arya Sena turun takhta atau terbunuh. Riwayat itu kabur.”
Saya menarik napas panjang, mencerna nama itu lagi. Pusaka Peneduh Jagat. Itu bukan sekadar keris atau tombak. Itu adalah sesuatu yang menuntut energi hidup dan spiritual untuk menyeimbangkannya.
“Saya mengenal banyak pusaka. Keris, tongkat, manik-manik purba. Tidak ada yang disebut Peneduh Jagat dalam inventaris saya,” saya menyangkal, meskipun suara hati saya mulai berteriak, mengingatkan pada aura pengkhianatan dari keris Sesa Dosa yang baru saya tenangkan.
Laksmi tersenyum tipis, senyum penuh penderitaan. “Tentu saja tidak. Itu sebabnya kami mencari Anda, Danu. Orang bijak dari leluhur saya—dan percayalah, mereka semua telah mencari jejak Anda selama ribuan tahun—percaya bahwa Pusaka itu bukan hanya artefak yang terbuat dari logam atau kayu.”
“Lalu?”
“Mereka percaya Pusaka itu terikat pada seseorang,” Laksmi menjelaskan. “Terikat pada jiwa yang paling berkuasa pada masanya. Jiwa yang melakukan pengkhianatan agung. Kami yakin, pusaka itu tidak dapat diakses tanpa petunjuk spiritual yang dimiliki oleh Reinkarnasi Raja Arya Sena.”
Rasa sakit di punggung saya berdenyut. Setiap kali nama Arya Sena disebut, itu seperti bilah tajam yang memutar residu luka yang tidak kunjung sembuh.
“Saya menolak takdir itu. Jika pun saya adalah yang Anda maksud, Putri, Danu bukanlah Arya Sena. Saya tidak tertarik menyelamatkan Keraton Anda. Saya sudah meninggalkan tahta ribuan tahun yang lalu, jika memang tahta itu milik saya,” ujar saya tegas. Ini adalah pertempuran batin yang saya perjuangkan setiap hari: kehendak bebas melawan ikatan karma.
“Anda tidak bisa meninggalkannya!” Laksmi kini berseru, memecah keheningan pegunungan. Dia meraih tanganku yang terletak di atas meja, gerakan spontan yang penuh desakan. Sentuhannya dingin, tetapi keyakinannya membakar. “Jika Anda menolaknya, Anda membiarkan Keraton hancur dan melepaskan energi chaos itu ke seluruh Nusantara. Bukankah seorang resi memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan alam?”
Saya merasakan getaran dalam diri saya—tarikan dan dorongan. Keengganan Danu, tetapi urgensi yang familiar dari Arya Sena. Arya Sena pasti sangat membenci Keraton itu, jika dia meninggalkannya. Tetapi sebagai Resi, saya membenci ketidakseimbangan.
Saya menarik tangan saya perlahan. “Jaga nada bicara Anda, Putri. Saya bisa mengirim Anda kembali ke ibukota Anda dengan lambaian tangan saja.”
