Pustaka
Bahasa Indonesia

Permaisuri untuk sang Resi

61.0K · Ongoing
Call me Maa
48
Bab
2
View
9.0
Rating

Ringkasan

Cinta Abadi Sang Resi dan Sang Pewaris Keraton Seorang pria bernama Danu, yang hidup tenang sebagai seorang resi/ahli benda pusaka yang menarik diri di lereng gunung Merapi, selalu dihantui mimpi dan luka yang bukan miliknya. Ketika seorang Putri dari Keraton megah datang untuk mencari pusaka kuno yang dapat menyelamatkan dinasti yang sekarat, Danu mengetahui bahwa ia adalah reinkarnasi seorang Raja legendaris yang meninggalkan cinta sejatinya di kehidupan lampau demi kekuasaan, dan kini harus menghadapi karma yang menuntut pemenuhan cinta yang belum tuntas.

RomansaFantasiIstriDewasaPengembara WaktuTuan MudaZaman KunoactionDewa YunaniDrama

Bab 1

“Aku tidak mengenal ratapan ini,” bisik saya, memaksakan mata terbuka saat cahaya subuh menusuk pondok kayu di lereng Gunung Merapi. Dinginnya Merapi menampar kulit saya, tetapi kilatan pedang dan jerit panjang seorang wanita—bayangan dari mimpi yang tidak pernah berhenti selama tujuh tahun terakhir—membuat dada saya terasa terbakar, panas yang bukan berasal dari saya, namun tetap melekat.

Saya adalah Danu, seorang resi. Identitas ini saya pahat keras, bata demi bata, dari batu sunyi, penolakan total terhadap ingatan yang bukan milik saya, takdir yang saya putuskan untuk kubur. Di balik punggung, tepat di bawah bilah bahu kiri, rasa nyeri itu berdenyut lagi, seolah ada bilah tumpul yang perlahan berputar di dalam daging. Ini adalah residu, sisa dari luka yang telah mati namun enggan terhapus oleh waktu atau reinkarnasi.

“Kembali,” gumam saya, membenamkan wajah ke dalam mangkuk berisi air murni dan garam batu. “Tidur. Aku tidak punya masa lalu.”

Ketenangan yang saya miliki adalah palsu. Ketenangan itu rapuh seperti kaca, tetapi itulah satu-satunya benteng yang melindungi saya dari dunia luar dan diri saya sendiri. Pagi ini, seperti biasa, tugas pertama saya adalah meredakan emosi purba yang terperangkap dalam benda-benda pusaka. Padepokan saya bukan sekadar tempat berlindung, melainkan tempat pemurnian bagi dosa-dosa para leluhur yang diwariskan dalam wujud artefak tempaan besi dan emas.

Di atas meja ritual yang diselimuti asap wangi dari dupa cendana, tergeletak inti dari kegelisahan pagi ini: sebuah keris kuno, gagangnya diukir dalam rupa naga yang menelan ekornya sendiri. Keris itu dikenal sebagai "Sesa Dosa"—Sisa Dosa. Bukan bilahnya yang tajam, melainkan aura kesedihan dan pengkhianatan yang tak terperi yang dipancarkannya.

Saya menyentuh gagang kayu cendana keris itu. Sentuhan itu seperti kontak fisik dengan rasa bersalah yang berusia ribuan tahun.

“Kau kembali menantangku, hari ini,” ujar saya pada keris itu, suara saya rendah, teredam oleh kekhusyukan ritual. “Kau membawa terlalu banyak air mata yang seharusnya telah mengering.”

Melalui indra keenam, saya bisa melihat energi pusaka itu. Bukan energi yang kuat dalam arti magis destruktif, tetapi energi emosional yang menghancurkan. Energi itu terasa dingin dan tajam, sebuah memori abadi tentang momen saat sumpah dihancurkan. Rasanya persis seperti mimpi buruk yang membangunkan saya—kilatan pedang, janji yang diputus.

Saya mengambil minyak wijen suci yang sudah diracik dengan doa. Perlahan, saya mulai membersihkan bilah baja itu. Setiap usapan kain terasa seperti menguliti lapisan karma.

“Lepaskan aku,” sebuah bisikan parau—bukan suara yang terdengar di telinga, melainkan getaran dalam tulang belakang saya—mendesak. Ini adalah suara entitas kesedihan yang melekat pada Sesa Dosa. Entitas itu, seperti saya, enggan beranjak.

“Tidak akan ada kedamaian untukmu sampai aku menemukan kedamaianku,” balas saya. Kata-kata ini selalu saya gunakan, mantra yang saya gunakan untuk mengendalikan pusaka, tetapi juga untuk meyakinkan diri saya sendiri.

Tetapi benarkah kedamaianmu adalah tujuan kami? pertanyaan dari dalam keris menusuk. Atau kau hanya lari dari apa yang seharusnya kau terima?

Saya menguatkan genggaman, menolak getaran yang semakin kuat itu. Keris itu kini bergetar di tangan saya.

Dalam meditasi terdalam, saya melihat sekilas gambaran—bukan pedang yang ada di mimpi, melainkan tangan yang memegang keris ini, menusuk sesuatu yang lembut, tetapi demi mendapatkan sesuatu yang keras, berupa takhta. Saya melihat kilau mahkota di kegelapan.

Darah serasa naik ke tenggorokan saya. Jantung saya berdetak begitu keras, ritmenya kini mengikuti ritme karma yang dipancarkan oleh keris itu. Luka di punggung saya mulai terasa sakit, seolah keris Sesa Dosa telah menusuk tubuh saya melalui dimensi waktu.

Sensasinya tidak tertahankan; itu adalah nyeri mental dan spiritual yang begitu nyata.

Siapa kau, Danu? Resi penyendiri yang damai, atau pengecut yang melarikan diri dari takhtanya?

Saya menggeram. Ketenangan adalah benteng saya. Nafsu kekuasaan dan ambisi yang terpatri dalam keris itu adalah musuh yang harus saya jinakkan. Itu bukan saya. Saya bukan Raja Arya Sena yang namanya sering saya dengar dalam dongeng-dongeng kuno tentang pengkhianatan agung. Saya hanyalah Danu.

“Cukup,” ucap saya tajam, meniupkan mantra peredam pada bilah keris itu. Energi emosionalnya mundur sejenak, terkunci kembali di dalam baja tempaannya. Udara di sekeliling saya, yang sebelumnya terasa berat dan basah oleh keputusasaan, kini kembali tipis dan dingin.

Saya mengambil Keris Sesa Dosa itu dan meletakkannya kembali ke dalam kotaknya yang dilapisi kain beludru hitam. Ini hanyalah pembersihan parsial. Pusaka ini selalu menuntut pembersihan berulang. Itu adalah metafora bagi kehidupan saya: pekerjaan abadi yang tak pernah usai untuk menolak diri yang lama.

Saya membersihkan minyak di tangan, menarik napas panjang. Udara bersih pegunungan mengisi paru-paru saya, mengusir residu kesedihan dari pikiran. Selama ritual ini selesai, saya kembali menjadi Danu. Keseimbangan—betapa pun rapuhnya—telah kembali.

Tujuh tahun. Tujuh tahun hidup sunyi. Tujuh tahun membiarkan salju turun di hati, menjaga Merapi sebagai batas mutlak antara saya dan ingatan masa lalu. Tak seorang pun mencari saya di sini, di puncak bukit ini, tempat yang hanya dikenal oleh mereka yang putus asa atau tercerahkan.

Saya berdiri, punggung saya masih berdenyut sakit. Saya menyentuh bagian yang sakit, mencari bentuknya di bawah kain katun yang saya kenakan. Di sana, di bilah bahu kiri, terdapat lekukan kulit yang aneh. Itu bukan bekas luka yang dijahit, melainkan pola ukiran purba yang terkadang, seperti saat ini, terasa panas menyengat.

Residu. Saya mengingatkan diri sendiri. Saya harus membiarkannya. Saya tidak bisa membuang daging saya sendiri.

Tepat ketika pikiran saya kembali menemukan ketenangan yang diidamkan, sebuah suara memotong sunyi. Bukan suara angin yang biasa meraung, bukan pula suara binatang hutan. Ini adalah suara logam asing beradu dengan batu, diiringi deru sepatu kuda yang asing. Itu terlalu keras, terlalu mendesak untuk jalan setapak di Merapi yang jarang dijamah.

Ketenangan yang baru saja saya dapatkan terempas. Hati saya mencelos, rasa panas di punggung tiba-tiba meluap hingga ke leher.

Dunia luar. Dunia yang saya sangka telah mati untuk saya.

Saya melangkah keluar dari pondok kayu. Udara pagi masih diselimuti kabut tebal, membuat padepokan terasa seperti pulau di lautan awan. Saya berjalan cepat ke batas pagar, tempat gerbang bambu kokoh yang jarang dibuka. Siapa yang berani mengganggu batas sunyi saya?

Deru kuda itu semakin dekat, dan kabut seolah tersingkap secara dramatis. Di depan gerbang bambu saya, berhenti dua ekor kuda cokelat gelap yang basah oleh keringat dan embun, dan di sampingnya berdiri seorang pria berpakaian zirah ringan, tampak tegang dan lelah.

Namun, yang membuat saya terhenti, yang membuat napas saya tercekat, adalah sosok di antara mereka. Seorang wanita. Tinggi, dengan gaun berwarna biru safir yang tidak pantas berada di ketinggian Merapi yang dingin. Gaunnya berpotongan elegan, disematkan perhiasan yang bersinar lembut meskipun pagi masih gelap. Dia berdiri tegak, memancarkan aura wibawa yang bukan milik orang biasa. Dia memandang lurus ke arah pondok saya, seolah dia tidak mencari seorang resi, melainkan seorang raja.

Wajahnya familiar. Begitu familiar, seolah saya pernah melihatnya ribuan kali di dalam kehidupan ini atau sebelumnya.

Saya tahu siapa dia. Saya tahu dari cara dia berdiri, dari cahaya matanya yang gigih dan tegas, memanggil masa lalu yang mati-matian saya hindari. Tetapi apa yang ia inginkan?

Wanita itu mengambil satu langkah ke depan, mendekati gerbang bambu. Meskipun jauh, saya bisa merasakan intensitas tatapannya menembus kabut dan pagar sunyi saya.

Dia tidak berteriak atau memohon. Dia hanya menatap saya—menatap ke dalam mata saya dengan keyakinan yang menghancurkan semua penolakan yang selama ini saya pegang teguh.

Tiba-tiba, ia mengangkat tangan kirinya, gerakannya lambat dan disengaja. Di jari manisnya melingkar cincin emas dengan batu permata yang saya kenali sebagai warisan takhta kuno. Itu adalah segel kekuasaan yang dulu, ribuan tahun yang lalu, pernah saya pegang sendiri.

Dia berbicara. Suaranya rendah dan nyaring, penuh otoritas yang tak terhindarkan, merobek lapisan sunyi yang saya rajut bertahun-tahun.

“Saya tahu siapa Anda,” katanya, matanya berkilat menahan air mata sekaligus amarah. “Kami tidak datang mencari Resi. Kami mencari nama yang telah lama terkubur.”

Rasa sakit di punggung saya berdenyut. Kilasan pedang di mimpi berputar, tetapi kini wajah wanita yang meratap itu samar-samar mirip dengan wajah wanita di depan saya.

Dia memanggilku.

“Raja…” bisikan dari keris yang terbungkus beludru kembali terdengar di telinga spiritual saya, mencoba menarik napas saya dari lubang masa lalu.

Saya merasakan getaran tubuh, gemetar hebat bukan karena dingin Merapi, tetapi karena takut. Rasa takut karena saya tidak bisa lagi lari.

Sosok wanita megah itu terus menatap. Matanya, saya bersumpah, seolah memanggil nama yang telah saya kubur ribuan tahun lalu: “Arya Sena.”

Gerbang bambu berderit pelan saat dia mengulurkan tangan, hendak melangkah masuk ke dalam padepokan.