Bab 6 Khilaf
Dua jam berlalu, selama itu mereka menghabiskan waktu dengan menonton dan bersenda gurau. sesekali Miko bersikap nakal pada Mutia seperti diam-diam mencuri ciuman ketika Mutia sedang serius menonton dan juga menyentuh tempat-tempat di mana Mutia merasa geli, dileher dan ditalapak kakinya.
Dahulu berdua bersama Mutia seperti ini tidaklah mempengaruhinya, bahkan mereka sering bergelut, saat Miko menggelitiknya seperti tadi namun saat ini melihat wajah cantik itu tersenyum dan menyentuh kulitnya yang halus, terus terang membuat badai itu datang lagi.
Tidak, tidak boleh Mutia cewe baik-baik selama dia mengenalnya, belum pernah ada satu pun cowok yang menyentuhnya hanya dirinya satu-satunya tentunya selain agy dan papanya.
Jadi Miko tidak akan melewati batas...
Ketika ia berusaha mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh, namun tiba-tiba listrik mati.
"Yah mati lampu." ucap Mutia kecewa lantaran ia masih ingin menyaksikan tayangan di televisi tadi.
"Hm tunggu aja, siapa tau bentar lagi nyala."
Dua menit kemudian, lampu tak juga menyala. Mutia meraba-raba disekitar nya sehingga tanpa sengaja ia menyentuh Miko tepat dibagian sensitifnya.
Sejenak keheningan memberangus mereka.
"A-aku pulang aja deh ya." Mutia berdiri tapi Miko menariknya sehingga lagi-lagi Mutia terduduk dipangkuannya.
"Nanti saja." ujar Miko ditelinganya
Mutia bisa merasakan deru napas Miko yang sedikit bergetar.
"Tapi...."
Miko tau-tau berdiri lalu menarik tangan Mutia dan membawanya ke arah tangga
"Mau kemana?" tanya Mutia
Miko tidak menjawab, ia terus menggenggam jemari Mutia sampai mereka menaiki anak tangga, saat Mutia menginjak anak tangga yang salah mereka tertawa-tawa lantaran Mutia menarik celana Miko sampai melorot.
Setibanya didepan pintu kamar, tau-tau pintu disisi lain membuka, dengan gerakan cepat Miko menyembunyikan Mutia dipunggungnya.
"Kak Miko?" Hani muncul dengan senter hp, ia mengarahkan benda itu ke arah Miko selama dua detik.
"Iyaa."
"Mati lampu ya?"
"Iyaa."
"Yaaah."
"Tungguin aja paling sebentar lagi hidup."
"Okey deh." Hani menutup pintu bersama dengan hilangnya sumber cahaya dari ponselnya sehingga keadaan kembali gelap gulita.
Miko membuka pintu kamar lalu masuk diikuti Mutia, setelahnya Miko menutup pintu dan menguncinya
"Kok dikunci?" tanya Mutia keheranan
Miko menaruh telunjuknya dibibir Mutia, dari cahaya bulan yang masuk dan menerangi kamar, Miko bisa melihat wajah Mutia yang cantik, disentuh nya pipi itu dengan tangan dan ditariknya mendekat.
Mutia memejamkan mata ketika merasakan bibir Miko menciumnya sekali, lalu terjadi berulang kali, Mutia tidak mengerti namun sentuhan itu membuat nya mendamba. ciuman itu membawa mereka naik ke atas ranjang, tangan Miko pun kini sudah menjelajah kemana-mana dan Mutia membiarkan nya sampai hal itu terjadi.
"Boleh gak?" Miko berbisik dari balik sejumput rambut Mutia.
Gadis itu berusaha mengatur nafasnya lantaran terlalu sesak menahan berat tubuh Miko diatas nya, kabut seolah olah menyelimuti mata nya samar-samar ia mengangguk, diantara sinar bulan yang menerobos masuk dari celah jendela kamar yang terbuka sedikit, keduanya menyatu kan diri, mengatas namakan cinta dua anak manusia itu berbuat dosa.
Disisi lain agy sudah pulang dari manggungnya.
"Mutia? Dek?" Ucap agy mengetuk pintu kamar mutia beberapa kali namun orangnya tak juga muncul
"Kamu udah tidur ya? Abang bawakan martabak telur nih buat kamu."
Masih tidak ada respon barangkali sudah Tidur itu yang agy pikirkan.
"Yaudah taruh sini aja siapa tau nanti kebangun." ujar agy dan menggantungkan kresek putih itu ke kenop pintu kamar
Keesokan paginya
"Jangan nangis sayang." bujuk Miko pada Mutia yang menangis dibalik selimut
Miko melirik jam dinding yang menunjukkan jam 6 pagi, "kamu pulang ya kan mau sekolah."
Mutia menurunkan selimut lalu menatap Miko yang masih bertelanjang dada
Cowok itu tersenyum, "jangan nangis, pliss."
"Kamu sadar nggak semalam kita habis ngapain?", tanya Mutia disisa sisa tangisan nya
Miko mengangguk, "aku minta maaf ini semua salah aku."
Miko sungguh menyesalinya namun semua sudah terlambat ia sudah melewati batasan yang ada.
"Kalau aku hamil bagaimana?"
Miko menggeleng-gelengkan kepalanya "nggak bakal, kamu tenang aja."
Karena dia sudah pernah melakukan nya beberapa kali dengan gadis lain dan tidak satu pun yang hamil, namun Miko tidak mungkin mengatakan itu pada Mutia, itu adalah satu-satunya rahasia tentang dirinya yang tidak diketahui Mutia.
"Kamu janji ya nggak bakal ninggalin aku apapun yang terjadi."
Miko menggangguk cepat, "iya aku janji kan aku sayang kamu."
Paling tidak ada jaminan kalau-kalau terjadi sesuatu padanya dan Miko sudah berjanji tidak akan meninggalkannya.
"Kamu buruan ya mandinya aku tungguin." ucap Miko ketika keluar kamar
Pintu didepan kamar membuka dan menampilkan sosok Hani yang sudah siap dengan seragam sekolahnya.
Miko dan Mutia sama-sama terperanjat
"Loh kak Mutia?" ucap Hani yang kaget, melihat keberadaan Mutia yang ada dirumahnya.
Mutia merasakan suaranya hilang entah kemana demikian juga dengan Miko.
Bagaimana kalau Hani tahu....
"Kakak nginep sini ya tadi malam?", tanya Hani lalu mengamati Mutia dari atas sampai bawah
"I-iyaa." jawab Mutia gugup
"Oh kapan ya?, kok aku nggak tau."
"Tadi malam mungkin kamu sudah tidur." sambar Miko
Adiknya itu hanya mengangguk lalu menuruni anak tangga dan Miko menyusulnya ke bawah
"Han!" ucap Miko
"Iyaa?"
Miko menelan ludah kering nya lalu berkata, "Jangan bilang siapa-siapa ya, kalau malem tadi Mutia menginap disini."
Hani mengangguk, "iya."
Lalu Miko kembali ke lantai atas dibalik punggungnya hani menatapnya curiga namun beberapa saat kemudian ia mengedikkan bahu nya acuh tak acuh, toh dulu kakanya itu sering tidur bareng sama Mutia jadi hal itu sudah biasa.
Mutia bergeming saat menemukan sebuah kresek putih tergantung dipintu kamarnya, dia mulai menerka nerka apa isinya. dari bungkusnya seperti nya itu martabak telur yang biasa dia beli, Mutia mengambil dan memeriksa nya, dugaannya benar itu martabak kesukaannya yang sengaja dibelikan kakak untuk dirinya.
Mungkin agy sudah memanggil nya beberapa kali semalam tapi mutia tidak muncul karena saat itu ia sedang dirumah Miko.
Ah mengingat itu membuat perasaannya tak nyaman, dia lalu bergegas masuk kedalam kamar dan lekas-lekas mengambil handuk di kamar mandi, Mutia tercenung menatap pantulan dirinya di cermin, dia memiringkan kepala nya ke satu sisi sehingga bercak merah dilehernya terlihat jelas tanda yang sama yang dimiliki bunga, tanda yang diberikan Miko semalam saat mereka sedang...
Mutia memejamkan mata menepis jauh-jauh pikiran itu, namun hal itu tak urung membuat nya gelisah, sehabis mandi mutia meraih seragam sekolah nya dibalik pintu kamar.
Setelah seragam putih abu-abu itu melekat ditubuhnya ia kontan terduduk lemas di depan meja riasnya lalu menangis tersedu-sedu.
Tak pantas!
Sungguh tidak pantas!
Memalukan!
Menjijikkan!
Mutia menangis sambil memeluk diri nya sendiri dan ia mulai meracau tak jelas, "ma pa maafin Mutia."
"Mutia melanggar kepercayaan mama dan papa."
"Mutia sudah melewati batas."
Rasa kesal sedih merasa bersalah seakan akan menggoroti dirinya, Mutia mendapati dirinya seolah berada di tempat gelap penuh dengan ketakutan.
Masa depannya!
Mimpi-mimpinya!
Nama baik orang tuanya!
Nama baik sekolahnya!
Nama baik dirinya sendiri!
Semua dipertaruhkan akibat perbuatannya.
Bodoh, dasar bodoh seandainya saja waktu bisa berputar kembali Mutia pasti tidak akan membiarkan itu tejadi.
Bersambung...
